Time flies so fast!Enam bulan sudah berlalu dari sejak kelahiran Baby Twins, Tulip dan Olive. Aku sudah kembali ke rumah Mama karena semenjak kakinya patah, Mama jadi sering sakit-sakitan. Benar, ada Mbak Sri tetapi yang lebih berhak untuk merawat Mama kan, aku? Selain itu, Mommy sudah menikah lagi dengan cinta monyetnya dulu, Om Damar dan ikut pindah ke Belanda. Om Danar bekerja di Kedutaan Besar Indonesia yang ada di sana. Sejujurnya aku lebih dari syok, tahu Mama menyimpan rahasia itu. Bayangkanlah! Ternyata mereka berpacaran lagi seratus hari setelah Daddy meninggal dunia. Gila tidak, sih? Bagiku seratus hari itu waktu yang sangat singkat. Tanah kuburan Daddy pun masih basah. Ya, tetapi aku bisa apa? Waktu aku konfirmasi, Mommy mengatakan kalau dia dan Om Damar sudah berkomitmen, hanya akan menikah kalau aku sudah menikah. "Walaupun pernikahan Mirah berantakan seperti ini, Mommy?" secara tidak langsung aku mengajukan protes waktu itu. "Memangnya Mommy tega meninggalkan Mirah
OK, fine!Lupakanlah Naufal dengan segala usaha kerasnya untuk terus mendekati aku. Halo, dia harus tahu kalau aku bukan tipe wanita yang mudah berpaling. Tidak juga mudah silau terhadap melimpah ruahnya materi. Lagi pula, Mas Arfen dan aku masih berstatus suami isteri, kok. Bisa-bisanya dia berusaha sampai segencar itu? Memangnya lupa, siapakah Mirah Delima? Tidak mudah untuk mencintai!"Ya, Mbak, ya!" kataku sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tanpa permisi.Mbak Sri memberi tahu kalau Harum dan Papa sudah berangkat dari rumah mereka. Artinya aku harus segera pulang. "Maaf ya, Mbak Hasya, saya harus segera pulang." Mbak Hasya masih di ruang kerjaku waktu Mbak Sri menelepon. Sisi keberuntungannya adalah kami sudah selesai membuat resolusi. Tinggal mengetik saja nanti malam atau besok pagi, kalau Tulip - Olive sudah tidur atau anteng disambi. "Baik, Bu Mirah, silahkan. Hati-hati di jalan.""Oke, Mbak Hasya. Oh ya, semua masuk kan, hari ini?"Mbak Hasya mengangguk dengan wajah sum
Mama memanggilku ke ruang keluarga. Beliau baru saja selesai mandi dan masih mengenakan bath jas. Berkalung handuk merah bata polos. Tersenyum super manis saat aku datang. "Ya, Mama, Mama memanggil Mirah?" Mama mengangguk, mendahului duduk di sofa. Bingung, sedikit takut aku duduk di depannya. Memandang dalam diam, berusaha untuk tetap berpikir positif. Berdoa juga, semoga kedatangan Harum dan Papa tadi tidak meninggalkan masalah apa pun. Aku tidak pernah mengira, kalau di antara Mama dan Papa masih ada masalah yang harus diselesaikan. "Kamu dengar pembicaraan Mama sama Papa tadi?"Seketika naluri kejujuran dalam diriku berseru, "Iya, dengar, Mama!" Tetapi di sisi yang lain aku takut. Bagaimana kalau Mama tersinggung atau salah paham? Ah, tetapi bukankah kejujuran adalah hal yang paling utama dalam hidup ini? Katakanlah yang yang sejujurnya, walaupun pahit. Bukan begitu?"Dengar, Mama tapi samar." Itu yang sesungguhnya. Tidak ada yang aku kurangi, tidak ada juga yang aku tambahi.
Aku pikir benar, Mama terlalu baik untuk disakiti. Tetapi ternyata pemikiran itu salah. Salah besar. Jadi, aku baru saja pulang menjenguk Mas Arfen. Tidak lama, karena Tulip - Olive aku tinggal di rumah. Mbak Sri dengan senang hati menjaga mereka. Nah, sesampainya di teras, aku langsung melepas sepatu dan meletakkan di rak besi samping pintu seperti biasa. Karena sepi aku langsung berjalan ke kamar Tulip - Olive melewati ruang tamu, ruang keluarga, ruang kerja Mama. Belum juga sampai di kamar Tulip - Olive, langkahku terhenti oleh karena mendengar sesuatu yang sangat menyakitkan dari ruang kerja Mama. "Tapi, kenapa Tante malah ngasih butik itu ke Mirah?" jelas, aku mendengar Mourin bertanya dengan sedingin itu pada Mama. Dia sudah bebas satu bulan yang lalu, karena mampu membayar denda, katanya. Aku tidak tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya. "Nggak salah tuh, Tante?" "Sssttt … Itu hanya trik, Mourin. Kamu tahu sendiri kan, gimana dia? Bodoh-bodoh cerdas. Ya, begitulah poko
"Mir!" Bella melepas sweater peach tersayang. Menggantungkan di gantungan baju. Duduk di salah satu Zabutton yang mengelilingi meja bundar di seberang tempat tidur. Menyentuh kelopak bunga mawar yang ada di dalam vas, memastikan apakah itu mawar hidup atau hiasan, katanya. "Berat banget ya, masalahnya?" Reflek, aku mengangguk. Tulip masih menyusu dengan lahapnya sementara itu Olive sudah lelap dalam tidurnya. Tulip memang lebih sering menyusu di malam hari dari pada Olive. "Mau cerita sama aku? Ya, siapa tahu kan, aku bisa bantu?" Aku diam karena didera konflik di rongga dada. Ini masalah keluarga, haruskah aku bercerita? Maksudku, di dalam masalah ini ada Mama juga. Bukan tentang aku dan Mas Arfen semata-mata. "Mir!" "Hemh?" "Serius, kamu mau pindah ke Jakarta?" Mengangguk. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Bella menengadah, memandangku lurus, tajam dan dalam. "Itu rumah Daddy kamu, kan?" "Iya, rumah Daddy." Bella menggeleng-gelengkan kepala lemah. "Lha, terus kamu
Begitu terkejutnya aku, sehingga tak mampu berkata-kata. Sedikit pun tidak. Bahkan, aku yakin, sudah menjelma menjadi patung kayu. Setelah hampir tujuh bulan lamanya, siapa sangka akan bertemu dengan Dokter Nafsin lagi? Selama ini aku selalu berusaha untuk menghindar, lho, sungguh. Bukan apa-apa! Aku hanya malu, sangat malu setiap kali teringat bagaimana dulu dia berulang kali mengecup keningku. Bukan hanya itu, dia juga mencium pipi yang aku sama sekali tidak tahu dengan alasan apa. Benar, dia dokter kandungan yang menolong persalinanku, tetapi apakah harus seperti itu? Karena empati? Apa itu tidak kebablasan namanya? OK, fine. Waktu itu aku dalam kondisi tak berdaya, kesakitan luar biasa sehingga tidak terlalu memperdulikan hal itu tetapi setelahnya? Aku perempuan baik-baik. "Dok---Dokter Nafsin!" lega sekali rasanya, karena akhirnya bisa menjadi manusia kembali. Lebih tepatnya manusia normal dan sehat. "Apa kabar, Bu Mirah?" Dokter Nafsin terus memandangku lurus, tajam dan
Ya Tuhan! Untung kesadaran dalam diriku dalam kondisi utuh, sempurna. Jiwaku pun tidak dalam keadaan terguncang atau semacamnya. Jika tidak? Aku yakin, menampar wajahnya bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. "Bu Mirah … Maaf, kalau saya sudah menyinggung perasaan Bu Mirah. Saya hanya ingin tahu bagaimana keadaan Dokter Arfen, kok. Emg, sedih juga rasanya, mengingat Beliau adalah dokter spesialis kandungan yang sangat profesional. Sebenarnya Beliau juga senior saya." Dokter Nafsin menyambung percakapannya yang sama sekali tak kurespon tadi. "Ya, begitulah, Bu Mirah." Tetapi aku tidak peduli sama sekali dengan semua itu. Seprofesional apa pun Mas Arfen, tetap saja dia sudah melakukan sebuah kesalahan fatal yang membuatnya harus mengunduh hukuman. Terlepas dari apakah benar itu skandal Mourin atau bukan? Saksi, bukti, data dan fakta semuanya mengukuhkan bahwa itu murni maalpraktek. "Siapa nama anaknya?" gila, dengan nakalnya Dokter Nafsin menyerongkan badan menghadap kepadaku, meman
Oh, jadi, Mama bukan hanya jahat tetapi juga pengecut? Untuk apa dia memberi tahu Mommy kalau aku di sini? Oh, jelas, Mama bukan hanya jahat dan pengecut tetapi juga lancang yang berarti suka ikut campur urusan hidup orang lain. Oh, bukan, bukan! Demi hubungan baiknya dengan Mas Arfen dia sampai menempuh jalan yang tak seharusnya. Hubungan seperti apa itu namanya? Hubungan yang saling menekan, saling menindih?Gila!"Maaf, Mom, aku tergesa-gesa kemarin. Jadi, belum sempat memberi kabar ke Mommy." kepalang tanggung, aku mengakui saja kalau benar, sekarang ini kami ada di rumah Daddy. Lagi pula dari awal aku juga tidak punya niat untuk membohongi Mommy atau semacamnya, kok. Untuk apa? Satu lagi, aku bukan tipe orang yang suka berbohong. "Oh, oke. Ya, nggak apa-apa sih, Mirah. Mommy hanya kaget saja. Kamu kenapa, ada masalah apa?" suara Momny sudah kembali normal sekarang, walaupun aku masih bisa merasakan kekhawatiran. "Kamu yakin, keluar dari rumah Mbak Menur, Mirah?"Reflek, aku meng