"Anda belum menjawab pertanyaan saya, Dokter Nafsin?" desakku sambil menyembunyikan kantong plastik pembawa bencana itu di balik punggung. "Bagaimana Anda bisa tahu alamat rumah ini?" Dokter Nafsin berdeham. Merapikan poni cepaknya yang mirip Oppa Korea. "Begitu menyadari ada benda asing di tas ransel, saya segera menghubungi Ibu Rahayu dan meminta alamat lengkap Bu Mirah."Ha, apa?Jadi, apakah semua masalah dalam hidupku harus secara otomatis terhubung dengan Mommy? Termasuk masalah panty liner yang entah bagaimana bisa tersesat ke dalam tas Dokter Nafsin? Wah, wah, wah! Sepertinya aku harus ekstra hati-hari setelah ini. Tidak boleh lengah sedikit pun. Titik."Baik, baik." "Ya, begitulah, Bu Mirah. Saya yakin Tuhan memang memberi jalan kepada saya untuk lebih dekat dengan Bu Mirah. Buktinya, hal yang mustahil terjadi dalam pikiran saya pun, terwujud secara nyata. Ya, itu, berkat barang Bu Mirah yang nyasar ke tas sa---""Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, Dokter Nafsin. De
Oh, ya?Benarkah aku egois? Dengan semua yang kuperjuangkan dari sejak hari pertama menjadi isteri Mas Arfen? Wow, amazing tralala!Jadi, menurut pendapat Mama, aku egois kalau menuntut perceraian dari Mas Arfen. Dia masih di penjara, menderita, sedangkan aku malah sibuk minta berpisah. Seharusnya aku terus bertahan, mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk Mas Arfen. Lain halnya nanti kalau dia sudah bebas.Wah, ingin sekali rasanya menimpuk Mama dengan teko berisi teh panas buatan Bibi. Berbicara memang jauh lebih mudah dari pada menjalani, siapa pun itu orangnya. Memangnya Mama mau jadi aku, berada di posisiku, sebentar saja?Tidak, bukan?"Mirah, tolong dengarkan Mama, ya?" Mama menepuk-nepuk pundakku. "Kamu mau ya, pulang ke Jogja? Selain demi Arfen, Tulip dan Olive, tolong kamu juga pikirkan butik batik kamu. Mama kan, sudah kasih itu buat kamu, nggak akan ada satu pun yang berubah, Mirah. Apalagi sampai mencabut dari kamu dan mengganti namanya, Mama nggak punya hati untuk b
Sadar. Sepenuhnya aku sadar kalau ini adalah titik terpenting dalam hidupku. Jadi, aku tidak boleh mengedepankan ego dan memilih jalan yang hanya baik untukku. Harus baik untuk semua, aku dan Mas Arfen. Soal Mama, Mommy apalagi Om Damar aku tidak terlalu memikirkan. Mereka kan, bukan keluarga intiku lagi? Sudah orang lain lah, dalam urusan rumah tanggaku bersama Mas Arfen.Bukan begitu? Satu lagi, aku tidak mau menjadi anak catur lagi atau apa pun itu istilahnya dalam hidup Mama. Mengapa harus memikirkan orang yang hanya memanfaatkan aku? Oke, fine. Aku tidak akan berlama-lama di rumah Daddy. Karena sama saja, tidak akan tenang. Mama sudah tahu. Dia bisa nekat setiap hari ke sini, pulang pergi Jogja - Jakarta hanya demi menyempurnakan sandiwaranya. Aduh, itu pasti menyakitkan sekali, bukan? Bagaimana kalau di salah satu tangannya tersimpan seteguk racun? Jujur ya jujur, aku juga masih bingung harus bagaimana, tinggal di mana? Tetapi jelas bukan di Belanda, di rumah Om Damar. Buk
Benar. Mama benar-benar datang bersama Mbak Sri. Bukan hanya mereka, Papa dan Harum juga ikut datang. Bagus, bagus. Dengan begitu akan semakin banyak orang tahu di mana aku tinggal dan Mommy pasti puas. Jelas dia tidak menyadari, resiko apa yang akan dituai oleh anak bungsunya ini, sungguh. Lihatlah, dia malah cipika cipiki dengan Mama dan Harum. Wow, padahal Harum juga pernah menjadi wanita gelap Mas Arfen, lho. Jauh sebelum Mourin masuk ke dalam kehidupannya. Aku jadi heran lho, serius. Sebenarnya Mommy itu manusia atau Malaikat, sih?"Mirah, apa kabar?" dasar, muka tembok! Dengan santainya Mama menyalami, memeluk dan menciumi pipiku. "Gimana, Tulip - Olive, lancar kan MPASI nya? Kata Bibi sudah mulai aktif merayap, ya? Wah, Mama jadi penasaran pingin lihat. Pasti lucu banget, imut-imut. Ah, nanti Mama mau buat banyak video, ah. Buat ditonton di rumah sambil minum teh. Pasti tambah seger ya kan, Mbak Sri?"Mbak Sri mengangguk hormat. Aku diam, hanya tersenyum tipis, sebentar. Mama
Semua orang heboh mengurus masalah hidupku dan itu justru membuat semakin rungsing, tentu saja. Rasanya seperti diteror senjata api setiap hari. Oh, bukan hanya itu. Panah berapi, sumpit dan entah apa lagi, pokoknya semuanya bersifat mematikan. Menghancurkan. Tahu. Aku tahu kok, mereka sangat menyayangi aku. Tak ingin melihatku sakit, jatuh atau apa pun itu karena gagal menjalani kehidupan rumah tangga bersama Mas Arfen. Tetapi masalahnya adalah perhatian dan kepedulian mereka itulah yang justru membuatku tak berdaya. Rasanya otak ini sudah benar-benar macet, total. "Arfen nggak mau pisah sama kamu, Mirah Zeyenk." Bella yang pertama memberikan penjelasan. "Katanya, lebih baik mati dari pada harus pisah sama kamu." "Iya." Rafael menimpali dengan mimik wajah super serius. "Dia juga bilang, kalau memang kamu kita pisah dari dia, tolong bunuh dia saja. Serius, sumpah. Dia bilang gitu sama kami, Mirah.' Ugh!Mengapa jadi ribet seperti ini sih, masalahnya? Biasa kan, kalau dia mengeluar
Akhirnya aku mengajak Tulip - Olive menepi sejenak dari hiruk pikuk dunia. Kemarin pagi, berangkatlah kami bertiga ke sini, Bali. Sebenarnya Bibi sangat keberatan, memohon-mohon supaya kami tetap di Jakarta. Dia bahkan bersedia melayani kami dua puluh empat jam full, asal aku membatalkan penepian.Aduh, maaf ya, kalau bahasaku jadi menye-menye begini. Bagaimana lagi? Orang-orang terdekat semakin sibuk---super sibuk---mengurusi masalahku dengan Mas Arfen. Mommy, Mama, Om Damar, Bibi, 4 Little Stars---Bella, Brilliant dan Rafael---semua sama saja. Tak ada bedanya sama sekali. Tidak seorang pun mau melihat dari sisiku, sungguh. Aku, seorang isteri yang lebih dari menderita dan tersisa akibat semua perbuatan jahat Mas Arfen.Halo, adakah yang seberuntung diriku di dunia fana ini?"Mirah, aduh, Mama khawatir banget sama kalian!" ungkap Mama dengan nada suara seperti orang yang hampir tersambar petir. Beliau baru saja menelepon dan aku, jujur, terpaksa mengangkatnya. Bukan apa-apa, kasiha
Sekian dan terima kasih. Ingin sekali mengatakan itu pada Mama, di saluran telepon yang tak begitu bagus tadi malam, tetapi urung. Jangankan berucap, sedangkan berpikir saja rasanya sudah tak mampu lagi. Tak berdaya, sungguh. Bingung, bingung dan bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Untuk yang ke sekian kalinya, Mama sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Tekanan darahnya membubung tinggi, mengakibatkan terjadinya penyimpanan pembuluh darah jantung. Sekarang, di rawat intensif di sana. Bagaimana bisa Mama menghubungi aku? Suster yang menelepon, Mama tinggal berbicara saja. Katanya sih, seperti itu. Semoga ini bukan rangkaian dari seluruh sandiwara yang menjadi maha karyanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pulang, tidak. Tidak, pulang. Kembali, tidak. Tidak, kembali. Berpisah, tidak. Tidak, berpisah. Aduh, pening!Oke, fine. Aku tahu, masalah seperti ini pasti sering terjadi di luar sana, bukan? Maksudku, ketika seseorang sudah menentukan pilihan terbaik, akan ada halanga
"Kamu beneran janji, nggak akan pernah ninggalin aku kan, Sayang?" pertanyaan Mas Arfen di hari pernikahan kami dulu, terngiang kembali di telingaku. Menyentuhkan perasaan sakit yang spesial di hati, sekaligus menakutkan kebahagiaan di atasnya. "Aku tahu, aku tak sempurna, Sayang. Banyak kekurangan dan kelemahan tapi aku cinta banget sama kamu, Sayang. Aku nggak mau kehilangan kamu dalam bentuk apa pun karena jika itu terjadi aku nggak akan sanggup. Lebih baik kehilangan nyawaku sendiri, Sayang, dari pada kehilangan kamu. Karena kamu adalah segala-galanya bagiku.""Iya, Mas. Aku janji. Kalau bicara tentang kesempurnaan, Mas Arfen, aku juga tidak sempurna." kataku sambil menyelami bola mata elangnya. "Kamu juga janji ya, Mas, jangan pernah ninggalin aku. Apa pun yang terjadi."Mas Arfen merengkuhku ke dalam pelukan. Lembut, hangat dan erat. Sangat erat, sampai-sampai aku bisa merasakan kuatnya detak jantung Mas Arfen. Mendengar dan merasakan, untuk lebih tepatnya. Sungguh, saat itu ak