Terlepas dari apakah ini sandiwara babak baru atau bukan, aku menuruti permintaan Mama untuk bermalam. Sudah, aku sudah memberi tahu kalau kami tidak akan tinggal di rumahnya lagi, melainkan di Rumah Cinta. Walaupun awalnya terlihat terkejut dan keberatan tetapi akhirnya, Mama merestui. Terpenting kami benar-benar tinggal di sana dan tidak pergi-pergi lagi. Itu saja. Semua itu komitmen yang tidak berat bagiku. Jadi, mulai sekarang aku akan menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Anggap saja ini adalah perjuangan sekaligus pengorbanan untuk Tulip - Olive. Harus bisa. Aku harus bisa menyingkarkan segala rasa takut, sakit atau apa pun itu demi kebahagian mereka di masa depan. "Mirah!" panggil Mama dari balik pintu kamar si Twins. "Bisa kita bicara sebentar?" "Ya, Mama, sebentar." aku harus memastikan kalau Tulip - Olive sudah lelap tidurnya. Supaya tidak mudah terjaga dan kami bisa berbicara dengan leluasa. "Ya, Mama?" tanggapku hangat sambil membukakan pintu. "Bagaimana?""Kita bicara d
Demi kebaikan bersama, aku menerima Suster Maryati, pilihan Mama untuk bekerja di rumah. Lagi pula, kriterianya sesuai kok, dengan yang selama ini aku targetkan. Berpenampilan menarik, ramah, bersahabat dan yang paling penting aku merasa dia orangnya tulus. Tulip - Olive saja langsung nempel seperti perangko. Ya, semoga saja selain semua kriteria di atas, Suster Maryati juga jujur dan bertanggung jawab. Nah, itu yang paling inti, bukan?Dan, inilah kisah hari pertama Suster Maryati bekerja di rumah, menyusul Dinda yang datang satu malam sebelumnya. Bagaimana dengan Mama? Wah, dia heboh seheboh-hebohnya dengan alasan memberikan training. Sumpah, hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Suster Maryati sabar dan betah. Ya, kalau aku jadi dia sih, lebih baik batal. "Suster, kalau memandikan si Twins, wajib pakai air hangat-hangat kuku." Mama memulai segala kehohannya sambil terus-menerus melekatkan pandangan pada Suster Maryati. "Jangan kurang atau lebih dari itu. Kalau bisa, usahakan, mandi
Benar, Mama kembali datang ke rumah keesokan harinya tanpa satu kotak kecil paket pun di tangannya. Bahkan, makan pagi atau camilan untuk Tulip - Olive pun tidak. Bukan berharap, tetapi semakin aneh saja rasanya. Baru kali ini Mama datang dengan tangan kosong dan mungkin kenyataan itulah yang membuatnya terlihat kikuk. Anyway, percuma saja aku tinggal di Rumah Cinta kalau setiap hari Mama datang."Lho, Mirah, kamu belum berangkat ke butik?" selain aneh, Mama juga terlihat kecewa. Satu-satunya hal yang meyakinkan hatiku bahwa benar, Mama menyembunyikan udang di balik batu. "Sudah jam sepuluh ini, kan? Berarti Hasya yang mimpin briving?"Sudah tiga hari ini aku kembali terjun ke butik. Terpaksa, supaya Mama tidak terus-menerus mendesak dengan kata-kata yang terkadang sentimentil. "Mirah kamu ke butik, lah. Biar jangan diam saja di rumah. Tulip sama Olive kan, sudah ada Suster Maryati?" "Mirah, kamu tahu kan, Mama sudah nggak mampu lagi? Oh, andai saja Mama masih sekuat dulu, Mama ngga
Mendengar Dinda berteriak seperti itu, sontak aku berjalan cepat kembali ke ruang tamu. Dalam hal ini aku masih bisa bersabar meskipun sempat naik spaning juga. "Ada apa sih, Din? Jangan teriak-teriak ah, Tulip - Olive masih tidur! Kasihan kan, kalau terbangun? Saya belum mandi, masa sudah langsung ngasih nenen, sih? Mana masih keringatan begini, lagi?" "Maaf, Bu." katanya polos dengan perasaan bersalah tersirat di bola matanya. "Ini, yang dari Dokter Nafsin isinya gaun pesta." Deng, dong!Gaun pesta, maksudnya? Wah, semakin tidak beres laki-laki yang satu itu, harus segera dibereskan."Tolong kamu kirim kembali ke alamatnya ya, Din. Segera, hari ini juga. Gimanapun caranya, saya nggak mau tahu." rasa marah dalam dadaku sudah benar-benar memuncak sekarang. Sudah seperti lahar yang muncrat-muncrat di mulut gunung Merapi. "Ini, ongkos kirimnya. Ingat ya, Din, harus hari ini juga kamu kirim balik!""Tapi, Bu, di sini nggak ada alamat pengirimnya." Dinda terlihat sangat takut tapi lali
Pagi-pagi sekali, Mbak Sri menelepon, mengabari kalau Mama mau datang ke rumah lagi hari ini. Lucunya, Mama berencana mengajak Mourin. Padahal sudah berjanji bahwa Beliau tidak akan berhubungan dengannya lagi jika aku mau benar-benar pulang ke Jogja. Artinya? Mama masih dalam permainannya. Wah, sepertinya hari ini akan menjadi episode paling seru dan menegangkan!"Oke, Mbak Sri." kataku sambil berusaha menenangkan diri. Mencari solusi. Masalah ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. "Mbak Sri bisa bantu Mirah, kan? Sebisa mungkin jangan sampai Mama pergi ke luar rumah. Oke, nggak apa-apa ke luar rumah, terpenting nggak ke rumah kami."Mbak Sri terdiam hingga beberapa saat lamanya. "Gimana, Mbak Sri?" aku terus memohon, setengah memaksa. "Bisa kan, bantu Mirah?""Saya bingung, Non Mirah. Gimana caranya? Ibu pasti marah kalau nggak diikuti kemauannya. Saya takut, Non, bukan berarti nggak mau bantu Non Mirah."Please, Mbak Sri. Mirah mohon." aku takkan pernah menyerah. "Tolong Mirah M
"Mirah, Mama bawa si Twins jalan-jalan sebentar, ya?" nada suara Mama terdengar seperti harimau mengaum saat menelepon. Sebenarnya aku baru saja sampai di butik dan harus segera masuk ke aula, memimpin briving. Bagaimana lagi, mustahil mengabaikan panggilannya. Bisa-bisa terjadi perang dingin secara nyata. "Kamu kenapa sih, jadi pelit begini? Biasanya kan, nggak apa-apa Mama bawa mereka ke mana saja? Memangnya salah ya, kalau Mama membahagiakan cucu-cucu Mama?"Sudah kuduga, Suster Maryati pasti gagal total menghadapi Mama. Buktinya, sampai mengamuk seperti ini di telepon. Padahal sebelumnya dia juga sudah wanti-wanti jangan sampai aku terlambat datang di butik. Membingungkan sekali! Wah, jangan-jangan benar, ini adalah tekanan model baru? Bukan hanya sekuel dari sandiwaranya yang dulu, maksudku. Mama pasti sedang menguntai dusta! "Semalam Tulip - Olive rewel, Mama. Mungkin karena kecapekan. Makanya Mirah minta tolong sama Suster, hari ini di rumah saja dulu. Istirahat." "Oh, jadi k
Suster Maryati, Mama dan Mourin sudah menunggu di teras sewaktu aku pulang. Meskipun sudah menduga sejak masih di butik tadi tetapi tetap saja aku terkejut. Semakin bingung dengan Mama, terus terang. Lupakanlah soal Mourin, dia memang tak tahu malu. Terlalu murahan dan nekat untuk membuatku berpikir, merenung, menyesal, kecewa, marah dan lain sebagainya. Tika berguna sama sekali, bukan?"Mama …!" senatural mungkin aku menyapa, mengulurkan tangan, menyalaminya. "Maaf, Mirah baru bisa pulang.""Oh, ya nggak apa-apa, kamu kan memang harus kerja keras!" Mama menatapku super tajam dan dalam. "Ingat Mirah, nggak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan, ke toilet umum pun kita harus keluar duit. Kalau kamu lemah, malas-malasan bagaimana nasib cucu-cucu Mama nanti?"Wow, aku pikir yang tadi di saluran telepon itu tadi, bukan Mama yang asli. Kupikir itu tadi ledakan emosi sesaat karena aku tidak membolehkan dia membawa Tulip - Olive jalan-jalan. Tetapi ternyata, Mama memang sedang memunculkan kea
Kejutan super!Mama datang, diantar Pak Raka---driver setianya---pada saat aku melepaskan kepulangan Suster Maryati di teras. Sejujur-jujurnya kuakui, merasa lucu, karena Mama datang tanpa Mbak Sri. Selama ini Mama attached dengan dia, bagaimana bisa ke sini seorang diri? "Mama …?" sedikit kikuk, aku menyapa. "Tumben nggak sana Mbak Sri, Mama?"Mama tak menjawab. Turun dari mobil dengan ekspresi wajah mirip ikan piranha kelaparan. Jadi, aku menarik langkah mundur, memberi jalan masuk ke dalam rumah. "Mbak Sri ke mana, Pak Raka?" alih-alih menyusul Mama ke dalam, aku bertanya padanya. Serius, penasaran dengan tidak adanya Mbak Sri di samping Mama. "Lagi sibuk banget, ya?"Dengan suara rendah, Pak Raka memberi tahu kalau ternyata Mbak Sri dipecat. Wow, benar-benar mengagumkan! Mama memecat Mbak Sri, seseorang yang sangat Mas Arfen sayangi? Mas Arfen pernah mengatakan kepadaku, Mbak Sri sudah sama seperti Mama dalam hidupnya. Pertanyaannya adalah ada masalah apa? Oh, jangan-jangan, Mam