Pagi-pagi sekali, Mbak Sri menelepon, mengabari kalau Mama mau datang ke rumah lagi hari ini. Lucunya, Mama berencana mengajak Mourin. Padahal sudah berjanji bahwa Beliau tidak akan berhubungan dengannya lagi jika aku mau benar-benar pulang ke Jogja. Artinya? Mama masih dalam permainannya. Wah, sepertinya hari ini akan menjadi episode paling seru dan menegangkan!"Oke, Mbak Sri." kataku sambil berusaha menenangkan diri. Mencari solusi. Masalah ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. "Mbak Sri bisa bantu Mirah, kan? Sebisa mungkin jangan sampai Mama pergi ke luar rumah. Oke, nggak apa-apa ke luar rumah, terpenting nggak ke rumah kami."Mbak Sri terdiam hingga beberapa saat lamanya. "Gimana, Mbak Sri?" aku terus memohon, setengah memaksa. "Bisa kan, bantu Mirah?""Saya bingung, Non Mirah. Gimana caranya? Ibu pasti marah kalau nggak diikuti kemauannya. Saya takut, Non, bukan berarti nggak mau bantu Non Mirah."Please, Mbak Sri. Mirah mohon." aku takkan pernah menyerah. "Tolong Mirah M
"Mirah, Mama bawa si Twins jalan-jalan sebentar, ya?" nada suara Mama terdengar seperti harimau mengaum saat menelepon. Sebenarnya aku baru saja sampai di butik dan harus segera masuk ke aula, memimpin briving. Bagaimana lagi, mustahil mengabaikan panggilannya. Bisa-bisa terjadi perang dingin secara nyata. "Kamu kenapa sih, jadi pelit begini? Biasanya kan, nggak apa-apa Mama bawa mereka ke mana saja? Memangnya salah ya, kalau Mama membahagiakan cucu-cucu Mama?"Sudah kuduga, Suster Maryati pasti gagal total menghadapi Mama. Buktinya, sampai mengamuk seperti ini di telepon. Padahal sebelumnya dia juga sudah wanti-wanti jangan sampai aku terlambat datang di butik. Membingungkan sekali! Wah, jangan-jangan benar, ini adalah tekanan model baru? Bukan hanya sekuel dari sandiwaranya yang dulu, maksudku. Mama pasti sedang menguntai dusta! "Semalam Tulip - Olive rewel, Mama. Mungkin karena kecapekan. Makanya Mirah minta tolong sama Suster, hari ini di rumah saja dulu. Istirahat." "Oh, jadi k
Suster Maryati, Mama dan Mourin sudah menunggu di teras sewaktu aku pulang. Meskipun sudah menduga sejak masih di butik tadi tetapi tetap saja aku terkejut. Semakin bingung dengan Mama, terus terang. Lupakanlah soal Mourin, dia memang tak tahu malu. Terlalu murahan dan nekat untuk membuatku berpikir, merenung, menyesal, kecewa, marah dan lain sebagainya. Tika berguna sama sekali, bukan?"Mama …!" senatural mungkin aku menyapa, mengulurkan tangan, menyalaminya. "Maaf, Mirah baru bisa pulang.""Oh, ya nggak apa-apa, kamu kan memang harus kerja keras!" Mama menatapku super tajam dan dalam. "Ingat Mirah, nggak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan, ke toilet umum pun kita harus keluar duit. Kalau kamu lemah, malas-malasan bagaimana nasib cucu-cucu Mama nanti?"Wow, aku pikir yang tadi di saluran telepon itu tadi, bukan Mama yang asli. Kupikir itu tadi ledakan emosi sesaat karena aku tidak membolehkan dia membawa Tulip - Olive jalan-jalan. Tetapi ternyata, Mama memang sedang memunculkan kea
Kejutan super!Mama datang, diantar Pak Raka---driver setianya---pada saat aku melepaskan kepulangan Suster Maryati di teras. Sejujur-jujurnya kuakui, merasa lucu, karena Mama datang tanpa Mbak Sri. Selama ini Mama attached dengan dia, bagaimana bisa ke sini seorang diri? "Mama …?" sedikit kikuk, aku menyapa. "Tumben nggak sana Mbak Sri, Mama?"Mama tak menjawab. Turun dari mobil dengan ekspresi wajah mirip ikan piranha kelaparan. Jadi, aku menarik langkah mundur, memberi jalan masuk ke dalam rumah. "Mbak Sri ke mana, Pak Raka?" alih-alih menyusul Mama ke dalam, aku bertanya padanya. Serius, penasaran dengan tidak adanya Mbak Sri di samping Mama. "Lagi sibuk banget, ya?"Dengan suara rendah, Pak Raka memberi tahu kalau ternyata Mbak Sri dipecat. Wow, benar-benar mengagumkan! Mama memecat Mbak Sri, seseorang yang sangat Mas Arfen sayangi? Mas Arfen pernah mengatakan kepadaku, Mbak Sri sudah sama seperti Mama dalam hidupnya. Pertanyaannya adalah ada masalah apa? Oh, jangan-jangan, Mam
Bagaimana awalnya bencana itu datang menggulung, aku tidak terlalu ingat. Hari masih pagi---jam enam kurang lima belas menit---gerimis pun masih merintik dan tiba-tiba bel pintu berdering nyaring. Karena Dinda masih sibuk dengan pekerjaan di dapur, aku yang berlari ke depan membuka pintu. Takutnya itu Mama, bisa-bisa marah kalau terlambat sedikit saja, seperti biasa. "Naufal?" aku benar-benar terpekik oleh karenanya. Tidak menyangka sama sekali dia akan bertamu sepagi ini. "Ngapain kamu pagi-pagi ke sini? Ganggu orang saja!"Anehnya, Naufal hanya diam, tersenyum tipis dan miring. Melekatkan pandangan. Satu-satunya hal yang membuatku tersadar kalau dia dalam keadaan tak waras atau minimal tak sadarkan diri adalah penampilannya yang acak-acakan. Lebih dari berantakan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dia bahkan tidak mengancingkan kemeja sehingga memperlihatkan bagian dada yang berbulu tipis. Jelas, aku bergidik ngeri sekaligus menyesal, kenapa harus membukakan pintu untuknya tadi?
Drama. Drama. Drama.Tak pernah kubayangkan sedikit pun kalau menikah dengan Mas Arfen berarti terperangkap ke dalam sebuah drama tanpa naskah. Misterius, penuh kejutan dan sulit untuk membedakan mana pemeran utama dan mana pemeran pengganti. Penuh dengan konflik dan intrik. Yang terakhir, baru saja kualami dan benar-benar menguras emosi. Sudah begitu, sampai detik ini Mama masih tak percaya, kalau kasus Naufal mabuk di rumah pekan lalu itu benar-benar bencana. Dia pikir, aku sengaja mengundang Naufal dan mabuk bersama. Pesta minuman keras. Gila, kan? Jangankan mabuk, menyentuh botolnya saja belum pernah. Jangan sampai! Sepahit dan serumit apa pun hidup ini, aku tak mau merusak diri sendiri. Unfaedah sekali.OK, back to konflik dan intrik yang aku maksudkan tadi. Siapkan sekotak tisu atau sapu tangan, karena kalian pasti ikut berlinang air mata. Bayangkanlah!Jam sepuluh malam. Aku baru saja selesai menidurkan Tulip - Olive di kamar ketika tiba-tiba Mourin datang bersama seorang pr
Aku tidak peduli dan terus berjalan meninggalkan rumah. Bukankah ini kemauan Mama? Seharusnya Mama tahu, kalau dia mengusir aku, berarti dia juga mengusir Tulip - Olive. Kami satu kesatuan yang tak terpisahkan."Mirah!" Mama berteriak memanggil, "Mirah, jangan nekat kamu!" Secepat mungkin aku berjalan ke mobil. Membuka pintu, memindahkan Tulip - Olive ke baby car seat. Detik berikutnya, membantu Dinda memasukkan koper-koper kami ke dalam bagasi. Tak ada lagi yang aku pikirkan sekarang, kecuali pergi. Sedikit menyesal juga kenapa dulu itu aku bisa termakan bujuk rayu Mama untuk pulang. Seharusnya aku tetap di luar sana kan, membangun kehidupan sendiri? Oh, jika tidak sedang dalam keadaan genting, aku pasti sudah marah pada diri sendiri. "Pak Raka, tolong hentikan pelacur itu!" titah Mama jumawa masih dengan nada bicara halilintarnya. "Bawa cucu-cucu saja kembali, Pak Raka! Saya nggak sudi mereka diasuh oleh pelacur itu!"Wow, sadis nian Mama! Tidak tahu bagaimana masalah yang seben
Lembut, teduh sekaligus hangat, Mas Arfen memandangku. Waktu berkunjung masih tujuh menit lagi. Masih cukup untuk aku memberi tahu semua yang terjadi. "Nggak apa-apa, kalau aku kasih tahu kamu Mas?" inilah pertanyaan yang akhirnya kulontarkan. "Aku takut menambah beban kamu di sini." "Ya, nggak apa-apa dong, Sayang." Mas Arfen meyakinkan dengan memperdalam pandangan, menyelami bola mataku. "Sayang, kamu harus tahu, kamu nggak pernah membebani aku. Sungguh. Kamu hebat banget, Sayang. Sempurna. Kamu bisa menghandle semuanya dengan baik. Padahal sudah ada Tulip - Olive, lho. Aku bangga sama kamu, Sayang."Oh, sialnya aku langsung meleleh mendengar semua yang dikatakan Mas Arfen. Saking melelehnya, sampai-sampai jantungku berdegup kencang sekali. Wah, genderang mau perang pun tidak ada apa-apanya, serius."Kamu nggak marah kan, Mas?" "Marah, kenapa?""Ya, kalau tahu masalah yang sebenarnya." "Nggak, dong. Kamu jujur saja aku sudah senang, Sayang.""Beneran kamu nggak akan marah, Mas?