Suster Maryati, Mama dan Mourin sudah menunggu di teras sewaktu aku pulang. Meskipun sudah menduga sejak masih di butik tadi tetapi tetap saja aku terkejut. Semakin bingung dengan Mama, terus terang. Lupakanlah soal Mourin, dia memang tak tahu malu. Terlalu murahan dan nekat untuk membuatku berpikir, merenung, menyesal, kecewa, marah dan lain sebagainya. Tika berguna sama sekali, bukan?"Mama …!" senatural mungkin aku menyapa, mengulurkan tangan, menyalaminya. "Maaf, Mirah baru bisa pulang.""Oh, ya nggak apa-apa, kamu kan memang harus kerja keras!" Mama menatapku super tajam dan dalam. "Ingat Mirah, nggak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan, ke toilet umum pun kita harus keluar duit. Kalau kamu lemah, malas-malasan bagaimana nasib cucu-cucu Mama nanti?"Wow, aku pikir yang tadi di saluran telepon itu tadi, bukan Mama yang asli. Kupikir itu tadi ledakan emosi sesaat karena aku tidak membolehkan dia membawa Tulip - Olive jalan-jalan. Tetapi ternyata, Mama memang sedang memunculkan kea
Kejutan super!Mama datang, diantar Pak Raka---driver setianya---pada saat aku melepaskan kepulangan Suster Maryati di teras. Sejujur-jujurnya kuakui, merasa lucu, karena Mama datang tanpa Mbak Sri. Selama ini Mama attached dengan dia, bagaimana bisa ke sini seorang diri? "Mama …?" sedikit kikuk, aku menyapa. "Tumben nggak sana Mbak Sri, Mama?"Mama tak menjawab. Turun dari mobil dengan ekspresi wajah mirip ikan piranha kelaparan. Jadi, aku menarik langkah mundur, memberi jalan masuk ke dalam rumah. "Mbak Sri ke mana, Pak Raka?" alih-alih menyusul Mama ke dalam, aku bertanya padanya. Serius, penasaran dengan tidak adanya Mbak Sri di samping Mama. "Lagi sibuk banget, ya?"Dengan suara rendah, Pak Raka memberi tahu kalau ternyata Mbak Sri dipecat. Wow, benar-benar mengagumkan! Mama memecat Mbak Sri, seseorang yang sangat Mas Arfen sayangi? Mas Arfen pernah mengatakan kepadaku, Mbak Sri sudah sama seperti Mama dalam hidupnya. Pertanyaannya adalah ada masalah apa? Oh, jangan-jangan, Mam
Bagaimana awalnya bencana itu datang menggulung, aku tidak terlalu ingat. Hari masih pagi---jam enam kurang lima belas menit---gerimis pun masih merintik dan tiba-tiba bel pintu berdering nyaring. Karena Dinda masih sibuk dengan pekerjaan di dapur, aku yang berlari ke depan membuka pintu. Takutnya itu Mama, bisa-bisa marah kalau terlambat sedikit saja, seperti biasa. "Naufal?" aku benar-benar terpekik oleh karenanya. Tidak menyangka sama sekali dia akan bertamu sepagi ini. "Ngapain kamu pagi-pagi ke sini? Ganggu orang saja!"Anehnya, Naufal hanya diam, tersenyum tipis dan miring. Melekatkan pandangan. Satu-satunya hal yang membuatku tersadar kalau dia dalam keadaan tak waras atau minimal tak sadarkan diri adalah penampilannya yang acak-acakan. Lebih dari berantakan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dia bahkan tidak mengancingkan kemeja sehingga memperlihatkan bagian dada yang berbulu tipis. Jelas, aku bergidik ngeri sekaligus menyesal, kenapa harus membukakan pintu untuknya tadi?
Drama. Drama. Drama.Tak pernah kubayangkan sedikit pun kalau menikah dengan Mas Arfen berarti terperangkap ke dalam sebuah drama tanpa naskah. Misterius, penuh kejutan dan sulit untuk membedakan mana pemeran utama dan mana pemeran pengganti. Penuh dengan konflik dan intrik. Yang terakhir, baru saja kualami dan benar-benar menguras emosi. Sudah begitu, sampai detik ini Mama masih tak percaya, kalau kasus Naufal mabuk di rumah pekan lalu itu benar-benar bencana. Dia pikir, aku sengaja mengundang Naufal dan mabuk bersama. Pesta minuman keras. Gila, kan? Jangankan mabuk, menyentuh botolnya saja belum pernah. Jangan sampai! Sepahit dan serumit apa pun hidup ini, aku tak mau merusak diri sendiri. Unfaedah sekali.OK, back to konflik dan intrik yang aku maksudkan tadi. Siapkan sekotak tisu atau sapu tangan, karena kalian pasti ikut berlinang air mata. Bayangkanlah!Jam sepuluh malam. Aku baru saja selesai menidurkan Tulip - Olive di kamar ketika tiba-tiba Mourin datang bersama seorang pr
Aku tidak peduli dan terus berjalan meninggalkan rumah. Bukankah ini kemauan Mama? Seharusnya Mama tahu, kalau dia mengusir aku, berarti dia juga mengusir Tulip - Olive. Kami satu kesatuan yang tak terpisahkan."Mirah!" Mama berteriak memanggil, "Mirah, jangan nekat kamu!" Secepat mungkin aku berjalan ke mobil. Membuka pintu, memindahkan Tulip - Olive ke baby car seat. Detik berikutnya, membantu Dinda memasukkan koper-koper kami ke dalam bagasi. Tak ada lagi yang aku pikirkan sekarang, kecuali pergi. Sedikit menyesal juga kenapa dulu itu aku bisa termakan bujuk rayu Mama untuk pulang. Seharusnya aku tetap di luar sana kan, membangun kehidupan sendiri? Oh, jika tidak sedang dalam keadaan genting, aku pasti sudah marah pada diri sendiri. "Pak Raka, tolong hentikan pelacur itu!" titah Mama jumawa masih dengan nada bicara halilintarnya. "Bawa cucu-cucu saja kembali, Pak Raka! Saya nggak sudi mereka diasuh oleh pelacur itu!"Wow, sadis nian Mama! Tidak tahu bagaimana masalah yang seben
Lembut, teduh sekaligus hangat, Mas Arfen memandangku. Waktu berkunjung masih tujuh menit lagi. Masih cukup untuk aku memberi tahu semua yang terjadi. "Nggak apa-apa, kalau aku kasih tahu kamu Mas?" inilah pertanyaan yang akhirnya kulontarkan. "Aku takut menambah beban kamu di sini." "Ya, nggak apa-apa dong, Sayang." Mas Arfen meyakinkan dengan memperdalam pandangan, menyelami bola mataku. "Sayang, kamu harus tahu, kamu nggak pernah membebani aku. Sungguh. Kamu hebat banget, Sayang. Sempurna. Kamu bisa menghandle semuanya dengan baik. Padahal sudah ada Tulip - Olive, lho. Aku bangga sama kamu, Sayang."Oh, sialnya aku langsung meleleh mendengar semua yang dikatakan Mas Arfen. Saking melelehnya, sampai-sampai jantungku berdegup kencang sekali. Wah, genderang mau perang pun tidak ada apa-apanya, serius."Kamu nggak marah kan, Mas?" "Marah, kenapa?""Ya, kalau tahu masalah yang sebenarnya." "Nggak, dong. Kamu jujur saja aku sudah senang, Sayang.""Beneran kamu nggak akan marah, Mas?
Tak ada yang lebih melegakan dari pada hari ini, sungguh. Terlebih Mas Arfen tidak mempermasalahkan apa pun denganku. Bukankah itu hal yang paling penting? Sehebat apa pun Mama mengguncang jiwa Mas Arfen, aku yakin itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Mas Arfen bukan tipikal anak mama lagi sekarang. Sudah berani menentukan sikap sendiri.Ya, semoga itu hujan hanya isapan jempol belaka!"Bella …!" setengah panik aku mengetuk pintu depan. Rumah kontrakan Bella terlihat sepi, kosong. Semua jendela tertutup rapat. Jangan-jangan …? "Bella, Dinda!"Berapa lama sih, perjalanan dari rumah tahanan ke sini? Satu setengah jam, kan? Tadi juga kami masih komunikasi, waktu aku mau pulang. Masa, dalam waktu satu setengah jam, mereka sudah langsung lenyap begitu saja, sih? Ugh, Bella memang benar-benar absurd!Dinda juga, mengapa tidak memberi kabar? Ya Tuhan! Bella tidak membawa smartphone-nya? Itu, ada di dalam rumah. Memangnya sejak kapan sih, Bella bisa terpisah dari smartphone-nya? Tut, tut,
Dug!Sungguh, sekeras itu jantungku berdegup. Menyakitkan, menyesakkan. Membanjirkan keringat dingin di sekujur tubuh. Bagaimana tidak? Baru saja Brilliant memberi tahu kalau Rumah Cinta sepi alias kosong melompong. Kemungkinan besar, Mama tidak membawa Tulip - Olive, Dinda dan Bella ke sana. Aneh juga sih rasanya, kalau Mama membawa mereka ke sana. Pertama, Mama jelas tak memiliki kunci rumahnya. Ke dua, konyol sekali bukan, kalau sampai Mama menyekap atau menyandera mereka di sana? Ke tiga, jika benar Mama merencanakan penculikan ini, seharusnya menjauhkan diri dari apa pun yang aku tahu. Bukan begitu? Ya, karena aku akan mudah menemukan mereka. "Aduh!" pekikku menahan sakit di dada. "Jadi, gimana dong, Brill?""Kamu tenang saja dulu, biar aku sama Rafael ke rumah mama mertua kamu. Oke, serahkan semuanya sama kami. Mendingan kamu makan, atau minum teh lemon hangat deh, biar tenang. Kalau pergi mandi berendam air hangat atau apa, gitu? Pokoknya doakan kami saja. Oke, Bestie?"Antar