Drama. Drama. Drama.Tak pernah kubayangkan sedikit pun kalau menikah dengan Mas Arfen berarti terperangkap ke dalam sebuah drama tanpa naskah. Misterius, penuh kejutan dan sulit untuk membedakan mana pemeran utama dan mana pemeran pengganti. Penuh dengan konflik dan intrik. Yang terakhir, baru saja kualami dan benar-benar menguras emosi. Sudah begitu, sampai detik ini Mama masih tak percaya, kalau kasus Naufal mabuk di rumah pekan lalu itu benar-benar bencana. Dia pikir, aku sengaja mengundang Naufal dan mabuk bersama. Pesta minuman keras. Gila, kan? Jangankan mabuk, menyentuh botolnya saja belum pernah. Jangan sampai! Sepahit dan serumit apa pun hidup ini, aku tak mau merusak diri sendiri. Unfaedah sekali.OK, back to konflik dan intrik yang aku maksudkan tadi. Siapkan sekotak tisu atau sapu tangan, karena kalian pasti ikut berlinang air mata. Bayangkanlah!Jam sepuluh malam. Aku baru saja selesai menidurkan Tulip - Olive di kamar ketika tiba-tiba Mourin datang bersama seorang pr
Aku tidak peduli dan terus berjalan meninggalkan rumah. Bukankah ini kemauan Mama? Seharusnya Mama tahu, kalau dia mengusir aku, berarti dia juga mengusir Tulip - Olive. Kami satu kesatuan yang tak terpisahkan."Mirah!" Mama berteriak memanggil, "Mirah, jangan nekat kamu!" Secepat mungkin aku berjalan ke mobil. Membuka pintu, memindahkan Tulip - Olive ke baby car seat. Detik berikutnya, membantu Dinda memasukkan koper-koper kami ke dalam bagasi. Tak ada lagi yang aku pikirkan sekarang, kecuali pergi. Sedikit menyesal juga kenapa dulu itu aku bisa termakan bujuk rayu Mama untuk pulang. Seharusnya aku tetap di luar sana kan, membangun kehidupan sendiri? Oh, jika tidak sedang dalam keadaan genting, aku pasti sudah marah pada diri sendiri. "Pak Raka, tolong hentikan pelacur itu!" titah Mama jumawa masih dengan nada bicara halilintarnya. "Bawa cucu-cucu saja kembali, Pak Raka! Saya nggak sudi mereka diasuh oleh pelacur itu!"Wow, sadis nian Mama! Tidak tahu bagaimana masalah yang seben
Lembut, teduh sekaligus hangat, Mas Arfen memandangku. Waktu berkunjung masih tujuh menit lagi. Masih cukup untuk aku memberi tahu semua yang terjadi. "Nggak apa-apa, kalau aku kasih tahu kamu Mas?" inilah pertanyaan yang akhirnya kulontarkan. "Aku takut menambah beban kamu di sini." "Ya, nggak apa-apa dong, Sayang." Mas Arfen meyakinkan dengan memperdalam pandangan, menyelami bola mataku. "Sayang, kamu harus tahu, kamu nggak pernah membebani aku. Sungguh. Kamu hebat banget, Sayang. Sempurna. Kamu bisa menghandle semuanya dengan baik. Padahal sudah ada Tulip - Olive, lho. Aku bangga sama kamu, Sayang."Oh, sialnya aku langsung meleleh mendengar semua yang dikatakan Mas Arfen. Saking melelehnya, sampai-sampai jantungku berdegup kencang sekali. Wah, genderang mau perang pun tidak ada apa-apanya, serius."Kamu nggak marah kan, Mas?" "Marah, kenapa?""Ya, kalau tahu masalah yang sebenarnya." "Nggak, dong. Kamu jujur saja aku sudah senang, Sayang.""Beneran kamu nggak akan marah, Mas?
Tak ada yang lebih melegakan dari pada hari ini, sungguh. Terlebih Mas Arfen tidak mempermasalahkan apa pun denganku. Bukankah itu hal yang paling penting? Sehebat apa pun Mama mengguncang jiwa Mas Arfen, aku yakin itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Mas Arfen bukan tipikal anak mama lagi sekarang. Sudah berani menentukan sikap sendiri.Ya, semoga itu hujan hanya isapan jempol belaka!"Bella …!" setengah panik aku mengetuk pintu depan. Rumah kontrakan Bella terlihat sepi, kosong. Semua jendela tertutup rapat. Jangan-jangan …? "Bella, Dinda!"Berapa lama sih, perjalanan dari rumah tahanan ke sini? Satu setengah jam, kan? Tadi juga kami masih komunikasi, waktu aku mau pulang. Masa, dalam waktu satu setengah jam, mereka sudah langsung lenyap begitu saja, sih? Ugh, Bella memang benar-benar absurd!Dinda juga, mengapa tidak memberi kabar? Ya Tuhan! Bella tidak membawa smartphone-nya? Itu, ada di dalam rumah. Memangnya sejak kapan sih, Bella bisa terpisah dari smartphone-nya? Tut, tut,
Dug!Sungguh, sekeras itu jantungku berdegup. Menyakitkan, menyesakkan. Membanjirkan keringat dingin di sekujur tubuh. Bagaimana tidak? Baru saja Brilliant memberi tahu kalau Rumah Cinta sepi alias kosong melompong. Kemungkinan besar, Mama tidak membawa Tulip - Olive, Dinda dan Bella ke sana. Aneh juga sih rasanya, kalau Mama membawa mereka ke sana. Pertama, Mama jelas tak memiliki kunci rumahnya. Ke dua, konyol sekali bukan, kalau sampai Mama menyekap atau menyandera mereka di sana? Ke tiga, jika benar Mama merencanakan penculikan ini, seharusnya menjauhkan diri dari apa pun yang aku tahu. Bukan begitu? Ya, karena aku akan mudah menemukan mereka. "Aduh!" pekikku menahan sakit di dada. "Jadi, gimana dong, Brill?""Kamu tenang saja dulu, biar aku sama Rafael ke rumah mama mertua kamu. Oke, serahkan semuanya sama kami. Mendingan kamu makan, atau minum teh lemon hangat deh, biar tenang. Kalau pergi mandi berendam air hangat atau apa, gitu? Pokoknya doakan kami saja. Oke, Bestie?"Antar
Lupakanlah Anyelir, sahabat baik Bella yang sibuk membahas soal pernikahan dan cerita seputar ranjang! Ya Tuhan, mengapa dia tidak langsung menikah saja, sih? Seharusnya dia tahu kan, hal-hal seperti itu terlalu tabu untuk dibicarakan secara terbuka dan detail? Ya, masa, aku harus menceritakan tentang ranjang cintaku bersama Mas Arfen? Kalau itu sih, no way. Nehi, nehi!Next, aku akan lebih serius dan fokus pada pencarian Tulip - Olive, Dinda dan Bella. Bukannya tadi tidak serius dan fokus sih, tetapi bagaimana lagi? Anyelir selalu memaksa. As you know lah! "Brill, kalian sudah sampai mana?" aku langsung bertanya begitu dia mengangkat teleponku. "Kok, lama banget, sih? Aku sudah hampir mati berdiri, nih!""Sssttt, Mir, tenang. Kami sedang membuntuti Mourin. Dia bergerak ke arah alamat yang kamu share ke aku tadi."Ha, apa?"Oh, ya?""Iya. Serius. Ini kami baru mau memastikan, siapa saja yang ada di mobilnya.""Oke. Eh, Rafael sudah sama kamu, kan?" kecemasanku kembali meninggi sekara
Aku terkejut dan juga bingung. Takut, sehingga untuk sekadar terpekik pun sudah tak mampu lagi. Hanya diam, memandangi layar smartphone, berharap ada yang bersuara lagi. Ya, meskipun belum tahu, apa yang harus aku lakukan? Oh, dibawa ke mana Tulip - Olive, kenapa suara tangisannya tak terdengar lagi? Aku tidak tahu. Blank. Rasanya seperti kiamat. "Mirah tolong kami, selamatkan ka---!"Ya Tuhan!Nyatanya ini bukan mimpi. Penculikan dan penyanderaan ini bukan cerita fiksi. Dari suaranya, Mama terdengar sangat ketakutan. Sialnya, laki-laki asing yang dekilnya maksimal itu justru mematikan telepon. Aku jelas kehilangan harapan besar untuk segera tahu di mana keberadaan mereka. Tadi, sekian detik yang lalu, jangankan bertanya sedangkan masih bisa bernafas secara sadar saja sudah luar biasa. Ini, masalah ini, jauh lebih besar dari pada banjir rob tujuh lautan sekaligus. Sungguh."Hahahaha, hahahaha …!" tanpa perasaan sedikit pun laki-laki jahta itu malah tertawa terpingkal-pingkal, terjun
Aku tidak tahu harus semakin sedih atau sedikit bahagia. Tepat di saat si Laki-laki asing membelokkan mobilnya ke jalan kecil, Mommy menelepon. Jelas aku memilih mengejar mobil sport putih itu tanpa sedikit pun niat untuk mengabaikannya. Ini super genting, telepon Mommy bisa nanti lagi."Anyelir, ini bukan jalan buntu, kan?" "Bukan deh, kayaknya, Mir. Aku belum pernah ke sini, sih, tapi kok kayaknya pelosok banget tempatnya?"Aku menoleh ke kanan dan ke kiri lalu dalam hati membenarkan ucapan Anyelir. Ini benar-benar daerah terpencil. Sebentar, sebentar. Aku mewajibkan diri mengaktifkan aplikasi peta dan kompas. Jangan sampai tersesat. Itu namanya tak beda jauh dengan menyerahkan diri kepada buaya kelaparan."Dayakan, Wonogiri …!" aku menunjuk ke smartphone, Anyelir melongok ke sana. "Gila, gila!""Banget!" timpal Anyelir sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Dia baru saja selesai memasang kutek. Aduh, mimpi apa ya aku dua malam yang lalu? Bisa-bisanya dipertemukan dengan Anyelir yang