Tak ada yang lebih melegakan dari pada hari ini, sungguh. Terlebih Mas Arfen tidak mempermasalahkan apa pun denganku. Bukankah itu hal yang paling penting? Sehebat apa pun Mama mengguncang jiwa Mas Arfen, aku yakin itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Mas Arfen bukan tipikal anak mama lagi sekarang. Sudah berani menentukan sikap sendiri.Ya, semoga itu hujan hanya isapan jempol belaka!"Bella …!" setengah panik aku mengetuk pintu depan. Rumah kontrakan Bella terlihat sepi, kosong. Semua jendela tertutup rapat. Jangan-jangan …? "Bella, Dinda!"Berapa lama sih, perjalanan dari rumah tahanan ke sini? Satu setengah jam, kan? Tadi juga kami masih komunikasi, waktu aku mau pulang. Masa, dalam waktu satu setengah jam, mereka sudah langsung lenyap begitu saja, sih? Ugh, Bella memang benar-benar absurd!Dinda juga, mengapa tidak memberi kabar? Ya Tuhan! Bella tidak membawa smartphone-nya? Itu, ada di dalam rumah. Memangnya sejak kapan sih, Bella bisa terpisah dari smartphone-nya? Tut, tut,
Dug!Sungguh, sekeras itu jantungku berdegup. Menyakitkan, menyesakkan. Membanjirkan keringat dingin di sekujur tubuh. Bagaimana tidak? Baru saja Brilliant memberi tahu kalau Rumah Cinta sepi alias kosong melompong. Kemungkinan besar, Mama tidak membawa Tulip - Olive, Dinda dan Bella ke sana. Aneh juga sih rasanya, kalau Mama membawa mereka ke sana. Pertama, Mama jelas tak memiliki kunci rumahnya. Ke dua, konyol sekali bukan, kalau sampai Mama menyekap atau menyandera mereka di sana? Ke tiga, jika benar Mama merencanakan penculikan ini, seharusnya menjauhkan diri dari apa pun yang aku tahu. Bukan begitu? Ya, karena aku akan mudah menemukan mereka. "Aduh!" pekikku menahan sakit di dada. "Jadi, gimana dong, Brill?""Kamu tenang saja dulu, biar aku sama Rafael ke rumah mama mertua kamu. Oke, serahkan semuanya sama kami. Mendingan kamu makan, atau minum teh lemon hangat deh, biar tenang. Kalau pergi mandi berendam air hangat atau apa, gitu? Pokoknya doakan kami saja. Oke, Bestie?"Antar
Lupakanlah Anyelir, sahabat baik Bella yang sibuk membahas soal pernikahan dan cerita seputar ranjang! Ya Tuhan, mengapa dia tidak langsung menikah saja, sih? Seharusnya dia tahu kan, hal-hal seperti itu terlalu tabu untuk dibicarakan secara terbuka dan detail? Ya, masa, aku harus menceritakan tentang ranjang cintaku bersama Mas Arfen? Kalau itu sih, no way. Nehi, nehi!Next, aku akan lebih serius dan fokus pada pencarian Tulip - Olive, Dinda dan Bella. Bukannya tadi tidak serius dan fokus sih, tetapi bagaimana lagi? Anyelir selalu memaksa. As you know lah! "Brill, kalian sudah sampai mana?" aku langsung bertanya begitu dia mengangkat teleponku. "Kok, lama banget, sih? Aku sudah hampir mati berdiri, nih!""Sssttt, Mir, tenang. Kami sedang membuntuti Mourin. Dia bergerak ke arah alamat yang kamu share ke aku tadi."Ha, apa?"Oh, ya?""Iya. Serius. Ini kami baru mau memastikan, siapa saja yang ada di mobilnya.""Oke. Eh, Rafael sudah sama kamu, kan?" kecemasanku kembali meninggi sekara
Aku terkejut dan juga bingung. Takut, sehingga untuk sekadar terpekik pun sudah tak mampu lagi. Hanya diam, memandangi layar smartphone, berharap ada yang bersuara lagi. Ya, meskipun belum tahu, apa yang harus aku lakukan? Oh, dibawa ke mana Tulip - Olive, kenapa suara tangisannya tak terdengar lagi? Aku tidak tahu. Blank. Rasanya seperti kiamat. "Mirah tolong kami, selamatkan ka---!"Ya Tuhan!Nyatanya ini bukan mimpi. Penculikan dan penyanderaan ini bukan cerita fiksi. Dari suaranya, Mama terdengar sangat ketakutan. Sialnya, laki-laki asing yang dekilnya maksimal itu justru mematikan telepon. Aku jelas kehilangan harapan besar untuk segera tahu di mana keberadaan mereka. Tadi, sekian detik yang lalu, jangankan bertanya sedangkan masih bisa bernafas secara sadar saja sudah luar biasa. Ini, masalah ini, jauh lebih besar dari pada banjir rob tujuh lautan sekaligus. Sungguh."Hahahaha, hahahaha …!" tanpa perasaan sedikit pun laki-laki jahta itu malah tertawa terpingkal-pingkal, terjun
Aku tidak tahu harus semakin sedih atau sedikit bahagia. Tepat di saat si Laki-laki asing membelokkan mobilnya ke jalan kecil, Mommy menelepon. Jelas aku memilih mengejar mobil sport putih itu tanpa sedikit pun niat untuk mengabaikannya. Ini super genting, telepon Mommy bisa nanti lagi."Anyelir, ini bukan jalan buntu, kan?" "Bukan deh, kayaknya, Mir. Aku belum pernah ke sini, sih, tapi kok kayaknya pelosok banget tempatnya?"Aku menoleh ke kanan dan ke kiri lalu dalam hati membenarkan ucapan Anyelir. Ini benar-benar daerah terpencil. Sebentar, sebentar. Aku mewajibkan diri mengaktifkan aplikasi peta dan kompas. Jangan sampai tersesat. Itu namanya tak beda jauh dengan menyerahkan diri kepada buaya kelaparan."Dayakan, Wonogiri …!" aku menunjuk ke smartphone, Anyelir melongok ke sana. "Gila, gila!""Banget!" timpal Anyelir sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Dia baru saja selesai memasang kutek. Aduh, mimpi apa ya aku dua malam yang lalu? Bisa-bisanya dipertemukan dengan Anyelir yang
Sudah. Aku sudah mengambil keputusan terbaik. Ya, mungkin akan ada hati yang terluka tetapi bagaimana lagi? Bahkan, jika kemungkinan itu adalah aku, aku rela. Terpenting Tulip - Olive, Mama dan semua orang yang aku sayangi selamat. Setelah aku pikir-pikir dalam hitungan sepuluh sampai satu, lebih baik mengalah. Toh, mengalah bukan berarti kalah, bukan?Jadi, di sinilah aku pagi ini, rumah tahanan. Selain menyerahkan Mas Arfen kepadanya, Mourin juga tak mau Mas Arfen tahu kalau ini adalah sebuah paksaan. Jika tidak, sampai kapan pun juga, takkan pernah mengembalikan Tulip - Olive. Dia bisa saja melepaskan Mama, Bella, Dinda, Brilliant dan Rafael tetapi tidak dengan Tulip - Olive. Bayangkanlah!Itu, kalau seperti yang Mourin perbuat itu lebih kejam dari bajak laut tidak, sih? Merampok suami orang! "Hai, Sayang?" Mas Arfen duduk menjajariku sementara itu petugas memeriksa kantong belanjaan yang kuletakkan di meja dengan sigap dan teliti. "Hai, Mas." setabah mungkin aku membalas sapaan
Dengan sesungging senyum tulus, Anyelir meletakkan satu per satu steak yang dia pesan untuk kami makan malam di meja. Bella terlihat kurang bersemangat sejak tadi tetapi akhirnya makan juga. Sesekali mengalihkan pandangan kepadaku, mengungkapkan kesedihan. Sejujur-jujurnya, kalau menuruti kata hati, aku juga tak mau makan malam hari ini. Mungkin sampai besok. Lusa, minggu depan atau bahkan bulan depan tetapi selalu, Tulip - Olive yang membuat bersemangat. Mereka masih menyusu. Jadi, aku harus tetap makan dengan teratur dan sehat. "Kamu mau milkshake yang apa, Mir, vanilla atau coklat?" Anyelir memberiku satu pilihan sambil menuangkan milkshake-milkshake favorit kami ke dalam gelas kaca. "Bella yang vanilla, kan?" Bella mengangguk mantap. "Yups, aku kan, bayi Mama forever. Kalau mimik susu nggak boleh yang cokelat. Biar tetap gimbul-gimbul menggemaskan.""Oke." Anyelir menyahut singkat, lalu menuangkan milkshake bagian Bella. "Selamat menikmati.""Makasih, Anyelir." kami menjawab h
Time flies so fast! Tahu-tahu sudah hari Kamis. Hari H-1 pernikahan Mas Arfen dengan Mourin. Ingin sekali rasanya berteriak sekuat-kuatnya sampai seluruh perasaan menjadi lega, tetapi sayang, ini bukan pantai. Ini Rumah Cinta dan aku tak mau mengisinya dengan teriakan, jeritan, tangisan, kemarahan atau apa pun itu yang bersifat negatif. Aku, sudah berkomitmen untuk mengisi Rumah Cinta ini dengan yang baik-baik. Menghiasi dengan senyum, keceriaan dan tawa riang. Jujur ya jujur, masih tak percaya rasanya, seperti mimpi bahwa besok pagi jam sepuluh Mas Arfen akan melangsungkan pernikahan dengan Mourin. Akhirnya Mas Arfen tumbang juga, tak berdaya. Karena apa? Semenjak peristiwa terkunci di kamar mandi itu Mama jatuh sakit. Sekarang saja masih dirawat di hospital. Belum pernah sampai selama itu Mama dirawat, baru kali ini. Mungkin karena rasa takut yang terus-menerus mencekam. Nah, aku yakin, Mas Arfen sangat terpukul hingga akhirnya menyanggupi permintaanku. Tidak, aku tidak memberi t