Dengan berat hati, akhirnya aku mengikuti perkataan Mas Arfen, memenuhi permintaan Mama. Anggap saja ini sebagai bonus karena Mas Arfen sudah baik budi, baik hati selama di rumah. Bonus juga untuk Mama karena---walaupun belum mencair di hadapan Mourin---tetapi setidaknya tidak menolak kehadirannya. Bukankah semua kebaikan pantas untuk mendapatkan apresiasi?"Kita mau ke pantai mana, Arfen?" penuh semangat petualang, Mama bertanya saat sudah duduk di mobil, di samping Mas Arfen. "Mirah, makasih ya, sudah ngajak Mama jalan-jalan?" "Ke pantai Parangtritis, Mama." Mas Arfen menjawab dengan suara standar untuk Mama. "Iya, sama-sama, Mama." kataku kemudian, sambil mengangsurkan ubi ungu rebus kepadanya. "Mirah juga senang kok, kita jalan-jalan bareng. Sekali-kali, Mama, buat refreshing. Mumpung Mas Arfen sempat juga. Dimakan, Mama, ubinya. Mama yang merebus tadi."Mama menerima kotak makan berisi ubi ungu rebus dariku, tertawa ringan tetapi lalu menangis, tidak tahu mengapa. Mungkin terh
Tidak. Aku tidak lantas tersanjung, walaupun Mas Arfen memuji sampai setinggi puncak langit. Bukan juga aku mau mengatakan kalau semua itu gombal. Tahu kan, maksudku? Mas Arfen pasti sedang dalam proyek mengambil hati terdalamku. Supaya aku tetap love, care dan asyik saat bermain di atas trampolin. Eh, maksudku, tempat tidur. Iya, kam? "Ah, kamu bisa saja, Mas?" akhirnya aku berkilah. "Perasaan aku biasa saja sih, Mas. Kamunya saja kali yang berlebihan. Mana ada di dunia ini manusia yang sempurna, Mas? No body is perfect!"Bukannya mundur atau bagaimana, Mas Arfen malah beringsut turun dari tempat tidur, berjalan mendekatiku. Saat ini mimik wajahnya terlihat seperti seseorang yang berada di bawah tekanan alias stressed. Kesedihan sangat kentara dalam sorot matanya. "Aku tahu, Sayang, tak ada kita yang sempurna. Emh, ya, sudah. Nggak perlu dibahas lagi, Sayang. Aku juga minta maaf ya, karena gagal mengendalikan Mourin tadi."Aku mengangguk mantap. Memejamkan mata rapat-rapat, menghela
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin
Mourin, tentu saja sudah menunggu di teras rumah sewaktu kami pulang. Jangan tanyakan lagi bagaimana ekspresi wajahnya. Lebih menyeramkan dari pada Vampire, percayalah! "Hai, Mourin, sudah lama?" Mas Arfen mengerling sayang kepadaku. "Maaf banget ya, kami ada acara mendadak tadi."Mourin semakin memberengut, membuang muka. Bersedekap, menggoyang-goyangkan kaki pertanda sudah tidak sabar lagi menunggu. "Ya sudah, Mas, kalau mau pulang sekarang?" aku menjauh dari Mas Arfen, berdiri di samping Mourin. "Emh, atau kalian mau masuk dulu sebentar? Aku bisa buatkan minuman hangat, mumpung tadi beli martabak te---""Oh, nggak. Terima kasih." Mourin menyambar tawaranku, mematah-matahkan sampai remuk. "Yuk, Mas, kita pulang? Aku sudah siapkan makan malam untuk kita di rumah. Sayang banget kan, kalau sampai terlewatkan begitu saja hanya gara-gara …?""Ya, sebentar ya, aku masuk dulu? Yuk, Sayang?" Mas Arfen menarik tanganku masuk ke ruang tamu. Sebenarnya tidak enak sekali dengan Mourin tetapi
Kami masih di supermarket sewaktu Mama menelepon minta ditemani minum teh. Sudah ada Mourin sih, tetapi nggak sreg, katanya. Terus terang inilah yang kadang-kadang aku pusingkan. Bukan berarti tidak senang hati menemani Mama atau bagaimana, lho. Ya, aku kan, harus mengurus rumah dan anak-anak juga? Bingung deh, dengan Mama! "Maaf, Mama, ini Mirah baru belanja kebutuhan bulanan di supermarket. Sebentar lagi pulang." aku memilih untuk berterus terang. Semenjak Mas Arfen menikah dengan Mourin satu bulan yang lalu, aku membuat resolusi menjadi menantu. Sedikit lucu sih, sebenarnya tetapi harus. Agar apa? Bisa tersenyum manis terus untuk orang-orang terdekat yang aki sayangi. "Mama mau dibelikan apa, Ma?""Oh, iya?" Mama terdengar senang lagi di sini. "Mau dong, Mirah, Mama dibelikan bakpia kukus isi kacang ijo, kacang merah sama keju. Emh, terus kalau kamu nggak repot banget, sekalian belikan Mama serabi, ya?"Waduh, semangat sekali Mama, manja sekali dengan menantu yang tak diharapkan i
Mas Arfen bersikukuh mengajak aku ke rumah Harum tetapi Mama tidak membolehkan. Sesuai dengan rencana awal, Beliau minta ditemani minum teh. Lagi pula, aku memang tidak bisa membantu apa-apa kan nanti, di sana? Jangankan membantu Harum melahirkan, membayangkan dia menjerit-jerit kesakitan saja sudah ill feel berat. Ya ampun, mentalku kan terbangun untuk menjadi guru PAUD bukan bidan! "Sudah, Arfen, berangkat sana sama Mourin!" ujar Mama tegas, penuh wibawa. "Mirah biar di sini sama Mama. Mama juga sudah kangen banget sama Tulip - Olive, pingin main bareng mereka." Di sini aku hanya bisa diam. Memandang Mama dan Mas Arfen bergantian, mencoba untuk memahami maksud mereka. Mungkin Mas Arfen ingin menunjukkan kepada Harum dan Mourin, bahwa aku tetap bersetia menjadi isterinya? Ya, walaupun aku tak sekuat itu, sih. Kalau Mama, dia sudah wanti-wanti tadi, supaya aku menemani Beliau minum teh. Itulah mengapa, minta dibelikan bakpia dan serabi, makanan favoritnya."Mas, aku di sini saja ya,
Waktu gilirku sekarang, sampai dua hari ke depan. Sayang, Mas Arfen pulang dalam keadaan demam---sampai menggigil---flu dan batuk. Maksudku, bisa dipastikan family time yang sudah kurancang sejak kemarin tertunda dengan sempurna. Bagaimana lagi? Sakit juga termasuk musibah yang tak bisa dielak, bukan? Sabar, sabar!Langsung saja, tanpa memanjang-manjangkan pikir dan angan, aku membawanya ke dokter. Kalau menuruti Mas Arfen, ya, tidak perlu. Katanya hanya perlu istirahat sebentar, nanti juga sembuh. Tetapi aku bukan anak kecil yang mudah dibohongi, tentu saja. Suhu tubuhnya saja sampai tiga puluh sembilan derajat, kok. Hidung juga mampu parah. Belum lagi batuknya, sampai terjungkal-jungkal Mas Arfen oleh karenanya."Aku buatkan sop ayam sebentar ya, Mas Arfen?" Kami baru saja sampai di rumah dari rumah sakit. Aku mengantarkan Mas Arfen ke kamar, biar bisa langsung istirahat, sambil menunggu sop matang. Soal kerinduan terhadap Tulip - Olive ya biar ditahan dulu. Kasihan mereka, bisa-bi