Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin
Mourin, tentu saja sudah menunggu di teras rumah sewaktu kami pulang. Jangan tanyakan lagi bagaimana ekspresi wajahnya. Lebih menyeramkan dari pada Vampire, percayalah! "Hai, Mourin, sudah lama?" Mas Arfen mengerling sayang kepadaku. "Maaf banget ya, kami ada acara mendadak tadi."Mourin semakin memberengut, membuang muka. Bersedekap, menggoyang-goyangkan kaki pertanda sudah tidak sabar lagi menunggu. "Ya sudah, Mas, kalau mau pulang sekarang?" aku menjauh dari Mas Arfen, berdiri di samping Mourin. "Emh, atau kalian mau masuk dulu sebentar? Aku bisa buatkan minuman hangat, mumpung tadi beli martabak te---""Oh, nggak. Terima kasih." Mourin menyambar tawaranku, mematah-matahkan sampai remuk. "Yuk, Mas, kita pulang? Aku sudah siapkan makan malam untuk kita di rumah. Sayang banget kan, kalau sampai terlewatkan begitu saja hanya gara-gara …?""Ya, sebentar ya, aku masuk dulu? Yuk, Sayang?" Mas Arfen menarik tanganku masuk ke ruang tamu. Sebenarnya tidak enak sekali dengan Mourin tetapi
Kami masih di supermarket sewaktu Mama menelepon minta ditemani minum teh. Sudah ada Mourin sih, tetapi nggak sreg, katanya. Terus terang inilah yang kadang-kadang aku pusingkan. Bukan berarti tidak senang hati menemani Mama atau bagaimana, lho. Ya, aku kan, harus mengurus rumah dan anak-anak juga? Bingung deh, dengan Mama! "Maaf, Mama, ini Mirah baru belanja kebutuhan bulanan di supermarket. Sebentar lagi pulang." aku memilih untuk berterus terang. Semenjak Mas Arfen menikah dengan Mourin satu bulan yang lalu, aku membuat resolusi menjadi menantu. Sedikit lucu sih, sebenarnya tetapi harus. Agar apa? Bisa tersenyum manis terus untuk orang-orang terdekat yang aki sayangi. "Mama mau dibelikan apa, Ma?""Oh, iya?" Mama terdengar senang lagi di sini. "Mau dong, Mirah, Mama dibelikan bakpia kukus isi kacang ijo, kacang merah sama keju. Emh, terus kalau kamu nggak repot banget, sekalian belikan Mama serabi, ya?"Waduh, semangat sekali Mama, manja sekali dengan menantu yang tak diharapkan i
Mas Arfen bersikukuh mengajak aku ke rumah Harum tetapi Mama tidak membolehkan. Sesuai dengan rencana awal, Beliau minta ditemani minum teh. Lagi pula, aku memang tidak bisa membantu apa-apa kan nanti, di sana? Jangankan membantu Harum melahirkan, membayangkan dia menjerit-jerit kesakitan saja sudah ill feel berat. Ya ampun, mentalku kan terbangun untuk menjadi guru PAUD bukan bidan! "Sudah, Arfen, berangkat sana sama Mourin!" ujar Mama tegas, penuh wibawa. "Mirah biar di sini sama Mama. Mama juga sudah kangen banget sama Tulip - Olive, pingin main bareng mereka." Di sini aku hanya bisa diam. Memandang Mama dan Mas Arfen bergantian, mencoba untuk memahami maksud mereka. Mungkin Mas Arfen ingin menunjukkan kepada Harum dan Mourin, bahwa aku tetap bersetia menjadi isterinya? Ya, walaupun aku tak sekuat itu, sih. Kalau Mama, dia sudah wanti-wanti tadi, supaya aku menemani Beliau minum teh. Itulah mengapa, minta dibelikan bakpia dan serabi, makanan favoritnya."Mas, aku di sini saja ya,
Waktu gilirku sekarang, sampai dua hari ke depan. Sayang, Mas Arfen pulang dalam keadaan demam---sampai menggigil---flu dan batuk. Maksudku, bisa dipastikan family time yang sudah kurancang sejak kemarin tertunda dengan sempurna. Bagaimana lagi? Sakit juga termasuk musibah yang tak bisa dielak, bukan? Sabar, sabar!Langsung saja, tanpa memanjang-manjangkan pikir dan angan, aku membawanya ke dokter. Kalau menuruti Mas Arfen, ya, tidak perlu. Katanya hanya perlu istirahat sebentar, nanti juga sembuh. Tetapi aku bukan anak kecil yang mudah dibohongi, tentu saja. Suhu tubuhnya saja sampai tiga puluh sembilan derajat, kok. Hidung juga mampu parah. Belum lagi batuknya, sampai terjungkal-jungkal Mas Arfen oleh karenanya."Aku buatkan sop ayam sebentar ya, Mas Arfen?" Kami baru saja sampai di rumah dari rumah sakit. Aku mengantarkan Mas Arfen ke kamar, biar bisa langsung istirahat, sambil menunggu sop matang. Soal kerinduan terhadap Tulip - Olive ya biar ditahan dulu. Kasihan mereka, bisa-bi
Mama belum pulang, kata Mbak Sri. Jadi, aku menunggu di teras sambil chatting dengan Mbak Hasya. 4 Little Stars juga. Aku jelas membutuhkan mereka di saat-saat genting seperti ini. Ya Tuhan! Sadarkah Mama bahwa apa yang Beliau lakukan ini sangat berbahaya? Dokter Nafsin. Wah, Mama pasti tidak tahu kalau orang ini punya mimpi yang sangat besar terhadap Mas Arfen dan aku. Apakah itu? Menghancurkan rumah tangga kami. "Sabar, Non Mirah, sabar!" Mbak Sri menepuk-nepuk sayang pundakku setelah meletakkan satu cangkir lemon tea untukku di meja. "Bicarakan semuanya baik-baik, ya, jangan ribut?"Sebagai sopan santun aku mengangguk, mengulas senyum tipis."Palingan sebentar lagi Ibu pulang, Non Mirah." "Ya, Mbak. Tapi sebenarnya Mirah tuh bingung lho, Mbak. Sedih, prihatin juga. Kok bisa, Mama bersikap sejahat ini sama Mirah? Muak, Mbak, muak. Dari dulu, itu-itu saja masalahnya. Ya, kalau memang nggak mau ngasih butik itu ke Mirah, Mirah juga nggak apa-apa, kok. Nggak dikasih apa-apa juga, ng
Aku hanya ingin kamu tahu, Mas. Aku bertahan di sini, di posisi serba salah ini demi keutuhan rumah tangga kita. Demi masa depan anak-anak kita, demi Tuhan. Tapi kenapa kamu selalu salah paham? Selalu mudah untuk menjatuhkan tuduhan, sama seperti Mama dan keluarga kamu, semuanya. Apa salahku, Mas? Berusaha untuk terus bertahan bahkan ketika kita berada di titik terendah seperti sekarang ini? Berusaha untuk sabar menghadapi setiap cobaan, ujian dan segala yang terjadi selama ini? Berusaha untuk diam bungkam dan membisu bahkan ketika diinjak-injak, dijambak dan diludahi? Baik, baik, Mas. Maafkan aku, jika suatu saat nanti menjadi rapuh atau bahkan terjatuh. Aku doakan semoga saat itu pun kamu tetap bahagia. "Ya, semua memang salahku, Mas." gemetar karena menahan rasa sakit yang luar biasa di hati, aku memberikan respon. "Aku minta maaf." Sunyi, sepi hingga beberapa saat lamanya. Baik Mama, Mas Arfen dan aku tak ada seorang pun yang bersuara seakan-akan larut dalam pikiran masing-mas