Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
"Sudah, nggak usah cuci piring, Mirah!" cegah Mama dengan wajah lebih masam dari bulir-bulir jeruk lemon matang. "Sini, biar Mama saja yang cuci, nanti kuku kamu rusak!" ketusnya sambil menyikut lenganku. Si Mbak sedang mudik, jadi kami harus membereskan semua pekerjaan rumah sendiri untuk beberapa hari ini. Sebenarnya aku sudah berniat untuk mengerjakan semuanya, sungguh. Jangankan mencuci piring, membersihkan kamar mandi pun sudah aku niatkan. Ah, tapi sepertinya Mama tidak percaya padaku? Entahlah, hanya Tuhan Yang Tahu. "Kok, malah bengong?" tegur Mama dengan suara super keras sampai-sampai degup jantungku meningkat pesat. "Nggak dengar tadi Mama bilang apa? Cantik-cantik kok, budek?"Seumur hidup, baru kali ini aku mendapatkan sikap seperti ini. Kasar, ketus, dingin. Menyakitkan. Apakah ini yang dimaksud dengan ujian menantu baru? Mungkin. Aku nggak tahu. Rasanya nyeri sekali. "Emh, iya, Mama. Maaf …?" syukurlah, akhirnya aku bisa menjadi manusia kembali. Bisa berbicara dengan
"Saya terima nikah dan kawinnya Mirah Delima binti Cahaya Mulia dengan mas kawin tersebut di atas tunai!" Lagi dan lagi, aku memutar video saat Mas Arfen melakukan ijab qabul. Mengikrarkan janji suci, sehidup semati. Masih terasa sakralnya walaupun sudah hampir dua minggu berlalu. Sungguh dan mungkin akan terus terasa sakral sampai tetes darah penghabisan. "Bagaimana, para saksi, sah?""Sah, sah, sah …!" Dalam video itu Mas Arfen menyeka air mata dengan sapu tangan biru laut polos. Wajah tampannya terlihat pucat, berkeringat namun sorot mata elang memancarkan rona kebahagiaan yang begitu besar. Detik berikutnya, bangkit dari tempat duduk lalu bersujud di lantai gedung LOVE, tempat istimewa pilihan kami. Ah, tak terasa air mata haruku menetes lagi. Berjatuhan. Romantis sekali suasana di dalam video pernikahan kami. So sweet, beautiful. Lihat, lihatlah betapa lembutnya ketika Mas Arfen memandangku. Terutama saat menyentuhkan kecupan di kening. Lembut sekali, menenteramkan. "Hem! Ti
"Sebenarnya kan, Mas, aku belum makan malam tadi." kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Sedikit menyesal tetapi segera teratasi oleh perasaan lega. Setidaknya aku sudah berkata jujur pada Mas Arfen."Ha, serius, Sayang?" Aku mengangguk, membiarkan Mas Arfen mengubek-ubek mataku dengan pandangan penuh selidiknya. Sungguh, tidak tega melihat dia menjadi kebingungan seperti ini namun bagaimana lagi? Aku hanya tidak mau memercikkan kebohongan dalam perjalanan bahtera rumah tangga kami. "Emh, aduh … Maafkan Mama ya, Sayang?" Lagi, aku mengangguk. Tersenyum getir. Dalam hati berteriak keras-keras, "Mama jahat sama Mirah!""Eh, ayo, Sayang!" Mas Arfen menarik tanganku ke luar kamar. "Kamu harus makan sekarang, aku nggak mau kamu sakit. Ya ampun, Mama …?"Pertama, aku memang sangat lapar dan ke dua, tidak mungkin menyia-nyiakan perhatian tulus Mas Arfen. Jadi, aku mengikutinya ke ruang makan. Membuka kulkas, mengeluarkan kotak makan berisi ikan nila bakar. "Sini, biar aku yan
"Ya ampun, Mirah!" pekik Mama sambil menatap sedih pecahan piring di samping meja makan. Aku tak sengaja menyenggol hingga terjatuh saat membereskan tadi. "Kerja gitu saja nggak becus? Heran Mama, apa sih yang buat Arfen tergila-gila sama kamu? Cantik dan pintar dandan saja nggak cukup, Sayang. Sebagai seorang istri kamu juga harus pintar ngurus rumah, paham? Terutama jika kamu masih numpang hidup di rumah mama mertua. Oke? Arfen, Arfen! Apa sih yang sudah merasuki dia sampai harus menikah sama kamu yang ternyata wow … Nggak jelas!"Lagi dan lagi, aku hanya bisa mendunduk dalam-dalam, menahan marah. Sakit sekali rasanya tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Jangankan membela diri, mengangkat wajah barang satu inci pun aku tak berani. Aku yakin, kalau Mama sudah marah, iblis sekalipun pasti ketakutan. Braaak!Mama memukul meja keras-keras, memaksaku berbicara, mungkin. "Ma---Maaf, Mama. Mirah nggak sengaja." "Nggak sengaja?" Mama menandak, keras sekali. "Mirah, Mirah! Di sini kan, ada M