Share

12. DUA PULUH MENIT!

"Regi..."

Belum sempat Sandra berkata-kata, Regi sudah lebih dulu mengunci bibir Sandra kembali, dengan menjalin ciuman.

Sementara tangan Regi yang memegang pisau kini merayap di balik punggung Sandra.

Tubuh Sandra membeku saat merasakan ujung pisau itu seperti meraba kulitnya hingga terdengar suara sesuatu yang dirobek.

Ternyata, Regi hanya ingin membuka tank top itu dengan caranya sendiri, yakni memutuskan tali temali rumit tank top yang dikenakan Sandra menggunakan pisau dapur tersebut.

Dan cara Regi itu sukses membuat Sandra sempat didera rasa takut.

Tapi kini, wanita itu mulai kembali rileks ketika Regi sudah melempar pisau tadi ke lantai dan menggendong tubuh Sandra yang sudah setengah polos itu menuju kamar.

Regi melepas pakaian atasnya dengan tergesa sebelum akhirnya dia kembali mencumbu Sandra yang sudah pasrah menunggu Regi memenuhi tubuhnya dengan kenikmatan.

"Are you still a virgin, Baby?" Bisik Regi ketika tubuh keduanya sudah sama-sama dalam keadaan polos.

Gelengan kepala Sandra, cukup membuat Regi yakin untuk menuntaskan segalanya malam ini juga.

Setidaknya, Regi tak akan terlalu merasa bersalah sudah meniduri Sandra, karena wanita itu yang ternyata sudah tidak suci.

"Apa aman kita melakukannya di sini, San?" Regi kembali bertanya saat dia sudah mengambil ancang-ancang untuk melakukan penyatuan.

Sandra mendesah tertahan. "Lakukan Regi... Ce-pat...hh..." Ucapnya menahan gairah yang sudah hampir mencapai ubun-ubun.

Saat itu, Regi hendak melakukan penyatuan itu, dengan pikirannya yang terfokus pada bayangan Tazkia dengan jeritan sang istri saat merintih di bawah kuasanya.

Di dalam ruangan pribadinya itu...

"Mas... Berhenti Mas... Ampun Mas... Cukup... Berhenti... sakit..."

Fantasi Regi semakin dalam ketika dia kini mampu melihat bayangan tubuh Tazkia yang tergolek lemah tak berdaya di atas ranjang berseprai putih dengan bercak-bercak darah di sekitarnya.

Tazkia dengan wajah pucatnya.

Tatapan sayunya.

Dan tubuh telanjangnya yang sudah penuh dengan luka.

"Ahhh... Sakit, Regi!"

Kedua bola mata Regi terbuka melepas inti tubuhnya dari Sandra begitu didengarnya Sandra menjerit.

Dengan keringat yang mengucur deras di keningnya, Regi menggeleng dan menjauh dari Sandra.

Memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai dan mengenakannya dengan tergesa.

"Ma-maaf, Regi. Aku nggak bermaksud merusak semuanya, cuma tadi..." Sandra jadi merasa bersalah. Berpikir, Regi hilang mood akibat teriakannya tadi.

Bahkan saat Sandra belum selesai berpakaian, Regi sudah lebih dulu pergi dari kontrakan itu, tanpa lelaki itu mengucapkan sepatah kata pun.

Sial! Bego banget sih lo San!

Ngapain juga tadi pake teriak begitu?

Ngerusak momen penting aja!

Gerutu Sandra yang menyesali kebodohannya sendiri.

Hanya saja, tadi itu, dia memang benar-benar kesakitan karena Regi yang terlalu keras menjambak rambutnya.

*****

Operasi di rumah sakit masih berlangsung.

Tazkia, Mira dan kedua orang tuanya terus berharap-harap cemas bahwa operasi Radith bisa berjalan dengan baik.

Saat itu, Tazkia baru saja selesai menunaikan shalat Isya di Musholla rumah sakit, dia hendak mengambil kaca di dalam tasnya ketika dia menemukan selembar cek di dalam tas yang memang sudah cukup lama tidak dia pakai itu.

"Astaghfirullah, inikan cek pemberian Dokter Fadli, kok aku bisa lupa sih kasih ke Mas Regi? Mana udah lama banget lagi?" Gerutu Tazkia berujar sendirian.

Kebiasaannya berganti tas memang membuat Tazkia jadi sering melupakan barang-barang penting miliknya yang sebenarnya masih ada, tapi dipikir hilang karena tak bisa dia temukan. Sementara untuk mencari satu persatu dari setiap tas koleksinya, rasanya tidak mungkin karena jumlahnya memang cukup banyak.

Saat itu, Tazkia pun memasukkan lembaran cek itu ke dalam selipan dompetnya agar dia tak lupa lagi untuk memberikannya pada sang suami.

Tazkia baru saja selesai membenahi posisi hijabnya ketika ponselnya tiba-tiba saja berdering.

Saat dia melihatnya, ternyata itu adalah pesan dari sang suami yang memintanya untuk segera pulang.

Tazki pun dengan cepat menekan tombol dial untuk menghubungi Regi.

"Hallo, Assalamualaikum, Mas?"

"Ya, waalaikum salam," suara Regi terdengar dingin.

"Kamu udah sampe di rumah?" Tanya Tazkia lagi.

Regi menimang-nimang sebuah benda di tangannya dan menjawab "Ya,".

"Terus kenapa kamu suruh aku pulang? Memangnya ada apa? Operasi Radith belum selesai,"

"Penting aku atau Radith?" Tanya Regi lagi masih dengan suaranya yang terkesan dingin.

Tazkia bingung menjawabnya. Karena tak ingin berdebat, akhirnya Tazkia pun memutuskan untuk menuruti perintah Regi.

"Yaudah aku pulang sekarang,"

"Dua puluh menit!" Ucap Regi cepat sebelum Tazkia memutus sambungan telepon mereka.

"Apa? Dua puluh menit gimana maksudnya?" Tazkia merasa bingung.

"Aku beri kamu waktu dua puluh menit untuk sampai di rumah, lewat dari itu, kamu tau kan apa konsekuensinya! Hitungan di mulai dari sekarang!"

Klik!

Sambungan telepon itu terputus.

"Halo Mas? Mas Regi? Halo?"

Tahu bahwa ada yang tidak beres dengan sikap Regi malam ini yang mulai memperlihatkan sisi gelap sang suami, Tazkia tak ingin melakukan kesalahan hingga akhirnya, dia pun bergegas keluar dari musholla dan berlari keluar area rumah sakit untuk mencari ojek.

Hidup dan matinya kini hanya berada di dua puluh menit terhitung sejak Regi menutup teleponnya tadi. Itu artinya, Tazkia kini hanya memiliki waktu kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke kediamannya, itulah sebabnya dia memutuskan untuk menaiki ojek ketimbang memanggil lebih dulu supir pribadinya yang entah sedang berada di mana sekarang.

Seorang tukang ojek online yang kebetulan sedang mangkal di depan rumah sakit menjadi sasaran Tazkia yang langsung menduduki boncengan motor dan meminta si supir ojek mengantarnya pulang.

"Pak, cepet anterin saya pulang Pak, ngebut sedikit nggak apa-apa," ucap Tazkia saat itu, bahkan tanpa dia memesan lebih dulu di layanan aplikasi ojek online sebagaimana prosedur yang seharusnya.

Tazkia benar-benar tak memiliki waktu lagi.

Untungnya, si supir ojek itu tidak rese dengan memperpanjang masalah dan bertanya ini itu. Alhasil, Tazkia bisa sedikit bernapas lega sekarang.

"Agak cepet lagi, Pak jalannya. Daerah Menteng Pak. Perumahan Akasia," beritahu Tazkia saat itu.

Karena si supir ojek yang mengenakan helm, jadilah Tazkia tak bisa menangkap wajah si supir dengan jelas, tapi dari postur tubuhnya, tampaknya dia masih cukup muda, entahlah. Tak ada waktu memikirkan hal itu.

Tazkia fokus pada jalanan, berharap dirinya tidak terlambat.

Sat itu, Tazkia memang terus menerus meminta si supir ojek untuk lebih cepat lagi berkendara, Tazkia yang sebenarnya sudah lama tak pernah naik motor jelas merasa takut hingga terpaksa berpegangan kuat-kuat di pinggang sang tukang ojek, dengan posisi setengah memeluk.

Pikirannya yang penuh membuat Tazkia tak mampu berpikir jernih.

Begitu sampai di depan pintu gerbang rumahnya, Tazkia mengambil selembar uang seratus ribuan dari dompetnya dan memberikannya begitu saja pada si tukang ojek tanpa mengambil kembalian.

Wanita itu sudah lebih dulu berlari ke arah pintu gerbang dan memasukinya.

Sementara si tukang ojek itu masih tercenung di depan pintu gerbang, menatap selembar uang seratus ribuan di tangannya.

Dia membuka helm, dan memperlihatkan wajah tampannya pada dunia.

Di mana ternyata, tukang ojek tersebut adalah Dokter Fadli.

Fadli menaruh helmnya di stang motor setelah dia menepikan motornya. Lelaki itu memutuskan untuk berdiam sejenak di depan kediaman Tazkia, siapa tau, Tazkia akan keluar lagi karena dia berniat untuk mengembalikan sisa uang Tazkia tadi.

Saat itu, Fadli baru saja memesan kopi di warung rokok ujung jalan dan kembali ke tempat dia memparkirkan kendaraannya yang tak jauh dari pintu gerbang kediaman Tazkia.

Ketika dia tiba-tiba mendengar samar suara jeritan dari dalam rumah yang dia yakini bahwa itu adalah suara jeritan Tazkia!

Entah kenapa, perasaan Fadli mendadak cemas.

Berkali-kali menoleh, Fadli berharap apa yang dia pikirkan tidak benar, sayangnya dia tak ingin terus menduga-duga dengan berdiam diri saja.

Saat itu, dengan sangat terpaksa, Fadli pun berjalan ke arah pintu gerbang dan kebetulan, dilihatnya pintu gerbang tidak terkunci sementara seorang satpam yang berjaga tampak pulas tertidur di pos jaganya.

Sebuah kesempatan emas yang tak akan Fadli lewatkan.

Langkah kaki lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu kian cepat ketika suara jeritan yang tertangkap indranya semakin intens terdengar dari arah rumah.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Jamini
masih penasarn dgn ceritanya
goodnovel comment avatar
Abgary
dilanjutkan ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status