Share

Hati yang Luka

Sementara itu Amora di dalam kamar mencoba mati-matian menahan air saat memasukkan pakaian-pakaian penting Rehan ke dalam tas.

Jangan menangis, batinnya berbisik.

Mengapa rumah tangganya harus berakhir seperti ini?

Apa belum cukup pengorbanannya menahan hinaan Ibu mertua dan ketidakpedulian Rehan, suaminya mulai terang-terangan menunjukkan perhatiannya sama Olivia pada orang lain.

Bibir Amora bergetar. Dia menggigit bibir bawahnya keras menahan dirinya agar tidak menangis terus melanjutkan pekerjaan memasukkan pakaian Rehan ke dalam tas.

Namun tak bisa dicegah air matanya mengalir di pipi jatuh di atas kemeja Rehan.

Dadanya sungguh sesak. Amora mencengkeram erat kemeja Rehan membiarkan air matanya mengalir.

Sakit di hatinya sungguh tak tertahankan.

Amora mencengkeram erat dadanya di mana sumber rasa sakitnya.

Tok, tok, tok.

Amora tersentak dan dengan cepat menghapus air matanya.

“Siapa?” tanyanya. Suaranya serak.

Pintu kamar terbuka dan sosok wanita cantik muncul sambil tersenyum manis.

“Aku tadinya berpikir kenapa kamu lama kemasi baju Rehan, ternyata lagi nangis.”

Wajah Amora berubah.

“Rahmi, aku nggak suruh kamu masuk. Beraninya kamu masuk ke kamarku!”

“Ops, sorry Bu,” ujarnya dengan ekspresi pura-pura hormat.

“Aku nggak sabar karena nunggu kamu lama kemasi baju Rehan. Tolong cepat kemasi bajunya, Rehan sedang nunggu di rumah sakit.”

Amora mengatupkan bibirnya dengan ekspresi dingin.

“Rehan? Begitu cara kamu panggil suami aku dan juga bosmu? Sangat nggak sopan! Kamu itu bawahannya bukan temannya!”

Rahmi mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi kesal ditegur Amora.

“Maaf Bu. Aku kebiasaan. Lagi pula Rehan juga nggak keberatan kok aku panggil dia dengan namanya karena aku dan Rehan kenalan lama. Rehan nggak wajibkan aku panggil dia dengan sebutan Pak atau pun Tuan,” ujarnya melirik Amora dengan senyum provokatif.

“Jika kamu keberatan dengan panggilanku pada Rehan, kamu bisa protes sama Rehan.”

Amora mengepalkan tangannya mencoba sabar.

“Rahmi, kamu pikir aku nggak tau kamu suka sama suami aku?” desisnya dingin.

Dia sudah lama tahu bahwa sekretaris Rehan menyukai suaminya. Rahmi juga merupakan teman kuliah Rehan, karena itu hubungannya dengan Rehan bukan hanya sekedar bos dan karyawan.

Tetapi Rahmi selalu menghasut perselisihan rumah tangganya dengan Rehan dan mengeluhkan Amora yang selalu menelepon ke kantor pada, dia bahkan selalu mencegah Amora setiap kali dia berkunjung ke kantor Rehan pada awal pernikahan mereka yang membuat Amora tak pernah menyukai wanita itu.

Rahmi mengangkat sebelah alisnya lalu tersenyum congkak. Tidak ada ekspresi hormat atau sopan pada istri bos di wajahnya.

“Iya, kenapa kalau aku suka sama Rehan?” Dia berjalan mendekati Amora sambil menyilangkan tangannya berhenti di depannya.

“Daripada aku, kamu sebagai istrinya sama sekali nggak dipedulikan.” Dia melirik Amora dari atas ke bawah dengan ekspresi kasihan dan ejekan.

“Aku sangat kasihan sama kamu. Rehan nggak pulang sampai berhari-hari dan tinggal di rumah sakit demi Olivia. Sebagai wanita yang suka pada orang yang sama, di antara kita berdua, siapa yang paling sakit hati?”

Amora tidak menjawab.

Senyum di wajah Rahmi mengembang.

“Kamu pasti sudah tahu bahwa Olivia sudah sadar. Coba tebak apa yang dilakukan Rehan selanjutnya?” Mata Rahmi berkilat penuh ejekan.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan berbisik di samping telinga Amora.

“Nggak lama lagi dia akan membuangmu,” desisnya.

“Liam sudah meninggal, Olivia berstatus janda. Yang paling bahagia di sini adalah Rehan.”

Amora mengepalkan tangannya dengan ekspresi tegar.

Rahmi menarik kepalanya dan menatap Amora dengan ekspresi pura-pura prihatin.

“Biar kuberitahu, Rehan sudah lama suka sama Olivia. Karena Liam, dia nggak bisa dapetin Olivia. Sekarang Liam sudah pergi, Rehan akan mengambil kesempatan dapatkan hati Olivia. Coba tebak, berapa lama lagi kamu akan jadi istrinya?” Dia menghela napas sambil melirik perut Amora.

“Dia nggak butuh kamu maupun anak di perutmu, apalagi seorang anak perempuan. Di hatinya cuma ada Olivia.” Dia melirik Amora, puas melihat wajahnya berubah pucat dan terpukul.

Dia memasang wajah pura-pura kasihan.

“Aku cuma sekadar suka sama Rehan. Tapi bagaimana dengan kamu, istrinya? Kamu nggak seperti Olivia yang punya keluarga kaya, kamu sebaliknya yatim piatu nggak punya siapa-siapa tempat untuk bergantung selain pada Rehan. Jika Rehan sampai ceraikan kamu demi Olivia, siapa yang bisa tanggung hidup kamu dan anakmu? Dengan anak perempuan yang kamu kandung, keluarga Dwipangga nggak mau nerima anak itu, apalagi Rehan.”

Amora tidak menjawab dan mengalihkan pandangannya dari Rahmi.

“Apa pun masalah aku, bukan urusan kamu. Silakan keluar dari kamarku,” katanya menunjuk pintu kamarnya.

Rahmi mencibir sinis dalam hati pada ketegaran yang diperlihatkan Amora. Dia mengambil tas pakaian di atas tempat tidur dan melirik Amora untuk terakhir kalinya.

“Olivia nggak sebaik yang kamu duga atau menganggap kamu sebagai temannya. Jika tidak, begitu bangun dari koma, bukannya suruh Rehan pulang pada istrinya, Olivia justru menahan suami kamu di sisinya untuk merawatnya. Dia menggunakan alasan depresi agar Rehan lebih kasihan sama dia.”

“Pikirkan sendiri, apa kamu masih percaya Olivia nggak bakal ambil suami kamu?”

Setelah mengatakan itu dia meninggalkan Amora di kamarnya dengan membawa tas berisi pakaian ganti Rehan.

Amora merosot duduk di pinggir tempat tidur.

Setiap kata-kata Rahmi terngiang-ngiang dalam kepalanya.

Dia ingin mempercayai Olivia. Tak peduli bagaimana Rehan menyukai Olivia, orang yang cintai temannya adalah Liam.

Dia mencengkeram dadanya yang sesak erat sambil menarik napas dalam-dalam mendongak ke atas menahan air mata yang tergenang di matanya.

 ‘Olivia nggak sebaik yang kamu duga atau menganggap kamu sebagai temannya. Jika tidak, begitu bangun dari koma, Olivia justru menahan suami kamu di sisinya untuk merawatnya bukannya suruh Rehan pulang pada istrinya. Dia menggunakan alasan depresi agar Rehan lebih kasihan sama dia.’

Kata-kata Rahmi dengan jahat terngiang-ngiang dalam kepalanya.

‘Pikirkan sendiri, apa kamu masih percaya Olivia nggak bakal ambil suami kamu’.

“Akh!”

Perutnya tiba-tiba sakit.

Amora memegang perutnya panik. Tangannya gemetar mengambil ponsel di atas meja. Dengan wajah pucat dia menekan nomor Rehan.

Dia menunggu selama beberapa saat panggilannya tidak terjawab. Dia memanggil nomor Rehan sekali lagi sambil menggigit bibir bawahnya.

“Ada apa?”

Amora gembira Rehan menjawab panggilannya.

“Re ... Rehan tolong .... perutku sangat sakit,” rintihnya.

“Aku takut ... anak kita—“

“Jika kamu sakit suruh Bibi bawa kamu ke rumah sakit. Aku sibuk!”

Panggilan berakhir.

Amora memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya. Perutnya sangat sakit, pada saat yang sama di sakit hatinya semakin membengkak.

“Bibi! Tolong!” Dia berteriak memanggil pembantu rumah.

Wajah Amora pucat. Di dengan rasa sakitnya, matanya yang buram oleh air mata memandang potret pernikahannya dengan Rehan di dinding kamar.

Air mata mengalir di pipinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kamu pantas dihina krn g bisa keluar dari jiwa miskin dan rebdah dirimu. jgn terlalu menagungkan cinta mu krn kamu dinikahi dg sebab teroaksa.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status