Bagaimanapun juga, permasalahan ini adalah urusan pribadi yang seharusnya tidak dibawa-bawa karena pekerjaan tetapi siapa yang peduli akan hal itu? Sofia tidak pandang bulu jika sudah menyangkut tentang kebencian terhadapnya.Amora masih tergolong baru di rumah sakit ini, sehingga akan sangat buruk citranya jika sampai terjadi masalah yang bahkan membawa hukum. Dia tidak marah sama menyesal karena sudah menjawab atau melawan ucapan Sofia kepadanya tadi, tetapi dia juga harus mengambil langkah agar rumah sakit ini tidak mengalami masalah."Tidak bisa semudah itu Nyonya. Mau bagaimanapun Amora tetap saja memiliki hak hak untuk menangani pasien." Dokter William terlihat kewalahan."Jadi, kalian akan lebih memilih membiarkan pasien VIP ini mencari rumah sakit lain? Itu bisa membuat nama baik rumah sakit ini menjadi buruk." Sofia tersenyum mengejek ketika melihat ekspresi wajah dokter William yang mendadak berubah."Baiklah kalau begitu," jawab Amora. "Saya akan mengundurkan diri dan mengi
Giandra melirik Amora yang saat ini hanya terdiam, tetapi kepala wanita itu masih tegak. Ada senyum samar yang tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang berada di sana."Tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa seorang yatim piatu tidak bisa menjadi dokter beasiswa bisa didapatkan dengan berbagai cara yang tentu saja tanpa harus melanggar aturan hukum yang berlaku. Dan lagi menjadi dokter tidak semudah hanya dengan memalsukan dokumen pendidikan.” Giandra kembali menatap ibunya."Dia juga berkompeten dengan gelarnya sebagai dokter seperti yang anda tahu bahwa rumah sakit ini adalah yang terbaik tidak mudah untuk masuk ke sini, kecuali mendapatkan rekomendasi dari yang sudah berpengalaman dan tentu saja dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh orang tersebut," lanjut Giandra menjelaskan.Sofia bungkam, diamnya menunjukkan betapa dia tidak menyangka bahwa putranya akan lebih membela Amora dibanding dirinya. Terlebih hal itu menunjukkan betapa sempit pemikiran Sofia yang berada di k
Rehan yang sejak tadi diam saja akhirnya bersuara, "kamu berani membentak ibumu sendiri?! Sudah gila ya?! Berani membela orang lain dan mengabaikan ibumu?!" Dia tak merasa tidak terima karena Sofia dibentak-bentak oleh saudara sulungnya."Sudah kubilang di sini adalah rumah sakit. Dan saya adalah penanggung jawab dari tenaga medis yang bertugas untuk melayani pasien yang ada di dalam ruangan itu. Lagi pula, seharusnya yang lebih tua yang jauh lebih paham, bagaimana harus bersikap dan memposisikan diri di situasi." Giandra menyindir Sofia."Kamu ini benar-benar enggak tahu diri ya! Dia adalah ibu kamu!""Dia ibuku atau bukan, kalau sikapnya salah apakah aku harus tetap membelanya seperti yang kamu lakukan sekarang? Bukankah itu yang dilakukan oleh orang yang tidak berpendidikan?" Giandra melempar kembali ejekan yang Sofia berikan kepada Amora. "Aku yakin keluarga Dwipangga tidak ada yang yatim piatu, tetapi kenapa mereka bersikap seolah-olah tidak pernah dididik? Mereka yang memiliki k
Namun, dia tidak bisa melakukan apapun terlebih saat ini dia sedang berhadapan dengan putra sulungnya. Sofia tidak mungkin tidak tahu bahwa rumah sakit ini memang yang terbaik terlebih jajaran tenaga medis yang berada di dalamnya juga bukan orang biasa.Jika Sofia menganggap remeh Amora, tidak ada bedanya dia juga melakukan hal yang sama untuk Giandra dan semua dokter hebat yang ada di rumah sakit ini.Sementara itu, Giandra yang merasa sudah selesai dengan tugasnya hendak berbalik pergi.Setelah menunggu beberapa saat Amora dan beberapa dokter lainnya keluar dari ruangan pasien. Dia kembali bertatap muka dengan Sofia dan mantan suaminya. Namun, kali ini dia tidak lebih dari 3 detik saat bersitatap dengan mereka dan melanjutkan langkahnya."Dasar wanita licik! Dia pasti senang karena sudah mendapat pembelaan dari Giandra!" Sofia kembali menggerutu setelah kepergian Amora.Sementara itu, Amora masih mendengar sayup-sayup apa yang dikatakan oleh mantan Ibu mertuanya, tetapi dia tidak me
Saat ini Amora sudah berada di rooftop. Di sebuah bangku panjang dia duduk sambil menatap hamparan langit dan landscape kota Singapura yang tampak gedung-gedung pencakar langit."Aku tidak tahu kalau kamu harus bersusah payah naik tangga untuk sampai ke sini." Tanpa aba-aba, Giandra menyeletuk. "Apa gunanya ada lift?"Amora terperanjat karena suara khas dari lelaki itu. Dia menoleh ke sumber suara dan mendapati Giandra berdiri sambil melipat tangan di depan dada. "Kenapa dokter ada di sini?"Giandra menghela panjang kemudian menurunkan tangan seraya melangkahkan kaki mendekat ke arah wanita itu. "Kenapa harus menyendiri di tempat seperti ini hanya untuk bersedih karena masalah tadi?"Amora berdecih sinis kemudian melengos. "Kalau dokter hanya berniat untuk mengejek saya seperti yang dilakukan oleh keluarga Dwipangga yang lainnya lebih baik hentikan. Suasana hati saya sedang buruk jadi daripada saya mengamuk kepada dokter mending dokter pergi saja."Giandra tampak terkejut, dia tidak m
Saat air mata Amora menetes detik berikutnya Giandra menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. Dia mengusap punggung mungil Amora dengan penuh perhatian. "Maaf," katanya dengan lirih."Aku benci padamu karena kamu adalah keluarga mereka!""Maaf.""Selamanya Aku tidak akan memaafkan mereka yang menghinaku!""Maaf."Amora tidak lagi mengatakan apapun dan sekarang hanya tinggal Isak tangisnya yang menderu."Aku berjanji kepadamu untuk membalaskan setiap amarah dan luka yang ada di dadamu. Semua penghinaan ini, semua cacian dan apa yang membuat kamu menderita sampai sekarang, aku akan membantumu untuk membalaskannya." Giandra berkata dengan sungguh-sungguh, tatapannya yang dingin dan penuh intimidasi itu adalah bentuk keseriusannya."Tapi mereka adalah keluargamu.""Sudah kubilang, aku hanya menyandang nama belakang mereka saja. Kamu tahu sendiri kalau aku sudah lama hidup dengan berpikir bahwa aku hanyalah satu-satunya Dwipangga yang tersisa di dunia ini."Bab 64Pertarungan EmosiSa
"Harusnya kamu ngaca! Apa kamu belum sadar juga setelah bertahun-tahun lamanya?!" Tangan Giandra menunjuk ke Amora, sementara tatapan itu masih menjurus kepada adiknya. "Apa yang sudah kamu lakukan kepada Amora, dan apa yang kalian lakukan dengan semua penghinaan itu! Apa belum cukup juga hah?!" Amora yang hendak melerai kini terdiam membeku. Dia tidak pernah melihat Giandra semarah ini, terlebih sekarang yang sedang dilawan oleh dokter itu adalah mantan suaminya. ini situasi yang sangat buruk, tetapi dia sendiri bingung harus melakukan apa. "Kau memilah wanita murahan itu?! Memangnya kau tahu apa tentang kami hah?! Hidupmu selama ini dalam pelarian dan seolah-olah menjadi orang yang paling benar dan mengabaikan keluarganya seperti keluarga penjahat!" Rehan berkata dengan emosi yang berapi-api. "Ini dia masalahmu dan ibumu pada seru kalian tidak pernah sadar dengan kesalahan kalian sendiri dan selalu melihat kelemahan orang lain untuk dijadikan pelampiasan! Sampai kapan kamu harus b
Bohong. Kalimat terakhir yang diungkapkan oleh Amora itu akan sangat sulit bagi dirinya untuk diwujudkan. Rasa benci dan dendam sudah begitu mengakar dalam dirinya terhadap keluarga Dwipangga.Baru saja Rehan membuka mulutnya, Giandra lebih dulu berbicara, "apa yang kamu tunggu? Pergi dari hadapan kami sekarang.""Kenapa aku yang harus pergi? Agar kalian bisa bermesraan lagi seperti tadi?" balas Rehan sinis.Amora mendesak frustrasi. Rehan benar-benar dungu. Sulit sekali untuk membuat lelaki itu percaya dengan ucapannya.Giandra juga merasakan hal yang sama dia benar-benar muak dengan sikap adiknya yang tidak pernah dewasa. Karena itulah, dia lebih memilih untuk menarik tangan Amora dan membawanya pergi dari tempat itu menghilang dari hadapan Rehan.Melihat itu tentu saja membuat Rehan merasa jengkel. Terlebih sudut bibirnya yang mulai menunjukkan memar dan darah semakin menyulut emosinya."Mereka berdua benar-benar kurang ajar! Biasa aja apa yang akan aku lakukan kepada kalian!"Sete