Saat air mata Amora menetes detik berikutnya Giandra menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. Dia mengusap punggung mungil Amora dengan penuh perhatian. "Maaf," katanya dengan lirih."Aku benci padamu karena kamu adalah keluarga mereka!""Maaf.""Selamanya Aku tidak akan memaafkan mereka yang menghinaku!""Maaf."Amora tidak lagi mengatakan apapun dan sekarang hanya tinggal Isak tangisnya yang menderu."Aku berjanji kepadamu untuk membalaskan setiap amarah dan luka yang ada di dadamu. Semua penghinaan ini, semua cacian dan apa yang membuat kamu menderita sampai sekarang, aku akan membantumu untuk membalaskannya." Giandra berkata dengan sungguh-sungguh, tatapannya yang dingin dan penuh intimidasi itu adalah bentuk keseriusannya."Tapi mereka adalah keluargamu.""Sudah kubilang, aku hanya menyandang nama belakang mereka saja. Kamu tahu sendiri kalau aku sudah lama hidup dengan berpikir bahwa aku hanyalah satu-satunya Dwipangga yang tersisa di dunia ini."Bab 64Pertarungan EmosiSa
"Harusnya kamu ngaca! Apa kamu belum sadar juga setelah bertahun-tahun lamanya?!" Tangan Giandra menunjuk ke Amora, sementara tatapan itu masih menjurus kepada adiknya. "Apa yang sudah kamu lakukan kepada Amora, dan apa yang kalian lakukan dengan semua penghinaan itu! Apa belum cukup juga hah?!" Amora yang hendak melerai kini terdiam membeku. Dia tidak pernah melihat Giandra semarah ini, terlebih sekarang yang sedang dilawan oleh dokter itu adalah mantan suaminya. ini situasi yang sangat buruk, tetapi dia sendiri bingung harus melakukan apa. "Kau memilah wanita murahan itu?! Memangnya kau tahu apa tentang kami hah?! Hidupmu selama ini dalam pelarian dan seolah-olah menjadi orang yang paling benar dan mengabaikan keluarganya seperti keluarga penjahat!" Rehan berkata dengan emosi yang berapi-api. "Ini dia masalahmu dan ibumu pada seru kalian tidak pernah sadar dengan kesalahan kalian sendiri dan selalu melihat kelemahan orang lain untuk dijadikan pelampiasan! Sampai kapan kamu harus b
Bohong. Kalimat terakhir yang diungkapkan oleh Amora itu akan sangat sulit bagi dirinya untuk diwujudkan. Rasa benci dan dendam sudah begitu mengakar dalam dirinya terhadap keluarga Dwipangga.Baru saja Rehan membuka mulutnya, Giandra lebih dulu berbicara, "apa yang kamu tunggu? Pergi dari hadapan kami sekarang.""Kenapa aku yang harus pergi? Agar kalian bisa bermesraan lagi seperti tadi?" balas Rehan sinis.Amora mendesak frustrasi. Rehan benar-benar dungu. Sulit sekali untuk membuat lelaki itu percaya dengan ucapannya.Giandra juga merasakan hal yang sama dia benar-benar muak dengan sikap adiknya yang tidak pernah dewasa. Karena itulah, dia lebih memilih untuk menarik tangan Amora dan membawanya pergi dari tempat itu menghilang dari hadapan Rehan.Melihat itu tentu saja membuat Rehan merasa jengkel. Terlebih sudut bibirnya yang mulai menunjukkan memar dan darah semakin menyulut emosinya."Mereka berdua benar-benar kurang ajar! Biasa aja apa yang akan aku lakukan kepada kalian!"Sete
Sedari tadi dirinya memang hanya berdiri setelah melangkah beberapa kali dari pintu. Terdiam seperti orang bodoh melihat kesenangan orang lain dan tanpa sadar ada perasaan iri ketika melihat mantan sahabatnya itu bercanda ria dengan sang putra.Olivia yang sekarang memang terlihat lebih bahagia dari 5 tahun yang lalu dan tentu saja hal itu didapatkan dengan kehadiran seorang putra manis bernama Oliver. Tanpa disadari hal itu membuat Amora berandai-andai. Jika saja dulu bayinya selamat pasti akan berusia sama seperti Oliver dan memiliki sisi imut dan menggemaskan seperti anak itu."Apa yang kamu lakukan di sana?" Teguran itu berasal dari Sofia.Amora mengerjapkan matanya, dalam hati dia memaki diri sendiri lantaran bersikap bodoh di hadapan keluarga Dwipangga."Oh maaf mengganggu waktunya sebentar saya datang untuk memeriksa pasien." Dia Menuju ke ranjang Erlangga.Sofia memasang ekspresi masam ketika Amora mendekat ke arah suaminya. Sofia dan anggota keluarga yang lain sedang duduk
"Aku belum selesai bicara. Ini hanya sudut pandang saja." Kedua tangannya terlipat di dada lalu menaikkan dagu sambil memandang rendah Amora."Terlepas dari kecerdasan otak seseorang mereka yang hanya mengandalkan kemampuan akademi saja akan sulit bertahan di dunia yang penuh dengan persaingan dan selalu bergantung pada kekuasaan. Aku yakin kamu tidak akan lama bertahan di dunia seperti ini."Amora pikir Setelah 5 tahun bebas dari keluarga Dwipangga maka kehidupan selanjutnya adalah tentang ketenangan dan kebebasan ternyata penghinaan itu datang kembali hanya sekarang yang berbeda adalah posisinya."Apakah tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan dari menghinaku? Apakah hidupku semenarik itu untuk kalian usik dan hina setiap hari?!""Apa katamu?!" Sofia mau buang nafas kasar kemudian beralih menatap menantu, anak dan cucunya.Satu tangan menunjuk tempat di depan wajah Amora."Lihat! Kalian lihat sendiri kan inilah alasan kenapa anak yatim piatu yang tidak pernah dididik oleh orang tu
Setelah memesan, dia lebih memilih untuk duduk di depan meja bar tender alih-alih bergabung di tengah sekumpulan manusia yang sedang menikmati alunan musik disco dengan tarian yang heboh."Aku pikir kamu tidak akan ke sini lagi Setelah sekian lama Amora."Pelayan itu adalah salah satu kenalan Amora di kota ini. Seperti yang dikatakan oleh pria jatuh tertinggi dengan rambut blonde itu, Amora sudah lama tidak menghabiskan malamnya di tempat seperti ini."Banyak hal yang terjadi di luar rencana. Ketika hal buruk sedang menimpa diri seseorang alkohol adalah yang terbaik sebagai jalan tercepat untuk melupakan." Amora membalasnya dengan suara rendah, hampir tertutup oleh alunan musik yang sangat keras di sana."Kamu terlihat sangat kacau," komentar lelaki itu."Ya. Aku sedang tidak ingin terlihat baik saja." Karena selama ini yang dia lakukan hanyalah menutupi rasa sakit yang dia rasakan. Malam ini dia akan melepas semua beban, meski hanya seperkian saja.Bagi Amora, beban itu hanya akan be
"Tok tok tok dokter Giandra! Buka pintunya tanda seru anak magang ingin bertamu!" Dia bertingkah seperti anak kecil yang sedang mengajak temannya untuk bermain. Beberapa kali dia membenturkan kepalanya ke daun pintu yang masih tertutup dengan mata yang terpejam.Pintu itu mendadak terbuka dari dalam hal tersebut membuat Amora hilang keseimbangan. Diandra yang sudah bersiap untuk menopang tubuh wanita itu mendapat serangan mendadak.Amora seolah-olah sengaja menjatuhkan diri kepelukan Giandra dan memeluk tubuh akar lelaki itu dengan sangat."Kamu mabuk?" Giandra mencium aroma alkohol yang menyengat."Aku sangat benci keluargamu, Bagaimana bisa mereka merendahkan ku seperti ini!" Masih di posisi yang sama, Amora berteriak dan sesekali menangis histeris.Karena takut hal itu dapat mengambil perhatian banyak orang akhirnya Giandra membawa masuk Amora dan membiarkan wanita itu melakukan apa saja yang dia mau."Aku ingin keluarga Dwipangga hancur! Sehancur-hancurnya!" Amora masih meracau sa
Amora terpaku melihat mantan suaminya pagi-pagi di apartemen Giandra.“Kamu ... apa yang kamu lakukan di sini?!” Suara Rehan terdengar terkejut. Matanya menyipit melihat Amora hanya mengenakan kameja putih yang kebesaran milik seorang pria di tubuhnya yang mungil. Hanya dengan melihat penampilannya saja membuat pikiran Rehan berkeliaran.Dia menatap Giandra dan Amora dengan tatapan tidak percaya.“Apa yang sebenarnya kalian lakukan?!” Dia kemudian melirik Amora dengan tatapan marah dan merendahkan.“Mengapa dia ada di sini dan mengenakan kemejamu?!” serunya pada Giandra sambil menunjuk Amora.Giandra membalas dengan acuh tak acuh sambil merangkul pinggang Amora dengan mesra.“Di ada di sini atau tidak, bukan urusan kamu.”Balasan Giandra justru memicu amarah Rehan dan sikap mesra yang ditunjukkan dua orang di depannya membuat lelaki itu semakin marah.“Apa kamu tahu siapa dia?!”“Ya, aku tahu. Lalu kenapa?” balas Giandra menantang.Rehan ingin membalasnya dengan marah lalu teringat Am