Dia sangat cemas Amora mendengar semua kata-kata yang dia ucapkan pada Randika.“Olivia, aku tidak menyangka kamu adalah perempuan yang murahan. Kamu mengambil Rehan dariku, tapi ini balasanmu? Kamu berselingkuh dari Rehan?!”Olivia terlihat bersalah, namun dia takut Amor akan mengadukan tindakannya pada Rehan.“Apa maksud kamu? siapa yang berselingkuh! Jangan ngomong sembarangan!” ujarnya menaikkan suaranya karena cemas.“Kamu pikir aku tuli tidak bisa mendengar kata-kata yang kamu ucapkan pada Randika?”“Ini bukan urusan kamu!” Olivia berseru gusar dan berbalik ingin meninggalkan Amora.Namun Amora menarik lengannya hingga dia berbalik menghadapnya. Dia menatap Olivia tajam.“Urusan aku jika kamu melibatkan Randika. Randika adalah sepupuku, aku tidak akan membiarkan dia ditipu oleh perempuan munafik seperti kamu.”“Jika kamu tidak ingin melaporkan perbuatanmu, jauhi Randika,” desisnya mencengkeram lengan Olivia erat.Mata Olivia memerah marah. Tiba-tiba air matanya mengalir.“Mengap
“Apa maksud kamu Olivia akan mengkhianatiku?!”Olivia menarik lengannya.“Sayang, jangan dengarkan dia. Dia hanya ....”Amora menatapnya dengan ekspresi tenang.Olivia menghindari tatapannya. Demi menutupi fakta bahwa dia berselingkuh dan ketahuan oleh Amora, dia melakukan sesuatu yang membuat Amora membencinya.“Amora tidak suka melihat kita bahagia. Karena itu dia mencoba memfitnahku berselingkuh untuk menghancurkan rumah tangga kita karena dulu aku yang menghancurkan rumah tangganya,” bisiknya lirih menunduk menghindari tatapan Amora.Dia tahu Rehan lebih percaya padanya dibandingkan dengan ucapan Amora.Rehan terkejut dan emosi mendengar kata-kata Olivia. Dia menatap Amora dingin dan mencibir.“Jalang,” desisnya.“Kamu ingin menghancurkan rumah tangga kami, karena itu kamu mengincar kakakku?!”Amora menatapnya datar, lalu mengalihkan pandangannya Olivia.Olivia langsung menunduk menghindari tatapannya.“Sayang, ayo pergi.” Dia menarik lengan Rehan membawanya pergi dari sini.Rehan
Kembali beberapa jam sebelumnyaUsai Rehan dan Olivia pergi, membuat Amora hampir lupa dengan jadwal operasi Erlangga. Dia beranjak dengan langkah sedikit tergesa menuju ke ruang operasi setelah mengenakan dan melakukan sterilisasi.Di ruangan itu sudah ada beberapa dokter termasuk Giandra yang ikut andil dalam menangani operasi Erlangga.Dokter Giandra tampak menunggu dengan perasaan gusar. Tidak seharusnya Amora terlambat untuk masuk ke ruang operasi, tetapi wanita itu belum juga menunjukkan batang hidungnya."Ke mana dia? Kenapa di jam segini belum muncul juga?" Laki-laki itu bergumam sambil tatapannya tak kunjung beralih dari pintu masuk.Beberapa perawat sedang mempersiapkan segala kebutuhan di ruang operasi. Para Dokter yang masuk dalam tim juga tengah berhadapan dengan Dokter Giandra menggelengkan kepala tidak tahu. Tidak ada yang tahu ke mana Amora pergi.Giandra melirik jam di dinding dan menghitung mundur dari angka tiga. Tepat setelah dia selesai menghitung, muncullah Amora
"Sekarang kamu berani memprotes bagaimana saya memperhatikanmu?" Tetapan intimidasi dari Dokter Giandra menyorot Amora."Bukan begitu maksud saya, Dok." Dia menghela nafas."Maksud saya adalah, tentang operasi tentu saja itu sangat jauh berbeda dan tidak bisa disamakan dengan shopping." Entah karena Amora sendiri sedang kehilangan akal karena meladeni perdebatan ini, atau karena dirinya masih terpancing emosi lantaran pertengkarannya dengan sepasang suami istri tadi."Kalau begitu seharusnya kamu tidak membuat pasien menunggu!" Dokter Giandra meninggikan suaranya. "Apa kamu pikir dirimu bisa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada pasien?! Bagaimana dengan keluarga pasien yang sudah susah payah kamu bujuk agar kamu bisa ikut serta dalam operasi ini?! Jangan hanya karena aku pernah membelamu sekali, kamu bisa bersikap seenaknya seperti ini!"Amora hampir kehilangan kata-kata. Dia sadar bahwa operasi ini menyangkut reputasinya apalagi di hadapan keluarga Dwipangga. Namun, meskipun
Keluarga Dwipangga berkumpul di depan ruangan operasi.Sudah berjalan selama 5 jam sejak tim Dokter masuk ke ruangan operasi dan sejak saat itu pula Sofia, Rehan dan Olivia menunggu.Raut wajah cemas tidak luput dari mereka, terlebih Sofia."Kenapa lama sekali? Apa bisa operasi berjalan selama itu?" Dia bergumam dengan gusar."Bu, ini bukan operasi penyakit ringan. Lihat sendiri dokter yang menanganinya saja lebih dari satu." Rehan yang duduk di samping ibunya menjawab.Sofia tidak merespon dan hanya membuang nafasnya panjang. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa wanita paruh baya Itu tampak lelah.Tiba-tiba Olivia yang duduk di samping suaminya berdiri dan berkata, "Bu, Rehan, aku mau izin keluar dulu boleh tidak?"Sofia menggeser pandangannya pada sang menantu. Kening wanita itu berkerut tampak tak suka. "Kamu mau ke mana?"Olivia melempar senyum seraya menjawab, "Mau jemput Oliver, Bu. Dia tidak bisa ditinggal terlalu lama. Maaf karena tidak bisa menunggu sampai operasinya selesai."
Olivia keluar dari kawasan rumah sakit dan dia saat ini sedang menuju ke sebuah cafe.Wanita cantik tersebut mengeluarkan ponsel dari tas, kemudian menghubungi seseorang. Setelah panggilan tersambung dia menyapa dengan senyum ceria, "Aku baru saja keluar. Kamu sudah sampai atau masih di jalan?"Jelas bahwa yang saat ini yang sedang dia hubungi bukanlah Oliver, anaknya, melainkan seseorang yang belakangan ini sudah memenuhi hatinya.Olivia berdiri di sisi jalan sambil menunggu datangnya taksi."Aku sudah sampai sejak 10 menit yang lalu." Seorang lelaki menyahut dengan suara baritonnya."Oh, astaga! Kenapa datang lebih awal? Aku sudah membuatmu menunggu." Nada suara dan ekspresinya tampak dibuat-buat agar terdengar manja. Dia melirik jam tangannya. "Aku pikir aku yang akan terlambat.""Tidak perlu tergesa-gesa. Lagi pula tempatnya, kan tidak jauh, aku hanya ingin datang lebih cepat saja."Olivia menghentikan taksi kemudian menaiki mobil itu. Setelah mengambil tempat duduk dia melanjut
"Bagaimana kalau kita cari tempat yang lain saja?" Dia masih pada topik sebelumnya."Memangnya kenapa kalau di sini?" Randika menyesap kopinya dengan santai, tampak terbiasa dengan sikap manja wanita di depannya ini."Tidak apa-apa, hanya saja aku pikir bisa menemukan tempat yang lebih bagus dari ini." Olivia pura-pura mengedarkan pandangan ke sekitar dan memberi komentar, "Tempat ini sedikit kuno gayanya.""Ah, benarkah? Tapi aku nyaman saja. Ini salah satu tempat favoritku."Olivia berdecak sekali lantaran Randika yang sulit untuk diajak bernegosiasi. "Ya sudahlah kalau itu maumu."Randika tersenyum tipis.Dia memang sengaja memilih tempat yang dekat dengan rumah sakit. Dia ingin memperlihatkan perselingkuhan Olivia secara terang-terangan.Paling tidak, ada yang melihat kebersamaan mereka saat ini dan bisa mengadukannya kepada Rehan."Kamu hanya pesan kopi? Kenapa tidak pesan makanan juga?" Olivia mengambil buku menu dan membukanya.Dia bersikap selayaknya seorang ABG yang baru mem
Tidak ada lagi perbincangan antara ibu dan anak itu. Sofia tidak henti-hentinya memandangi pintu ruanga operasi dengan rasa cemas, sampai akhirnya pintu itu terbuka.Terlihat beberapa dokter mendorong brangkar pasien di mana Elangga tertidur di bawah obat bius.“Ya Tuhan!” Sofia berseru haru dan segera beranjak dari duduk. Disusul oleh putranya, dia menghampiri mereka.Amora yang juga ikut membantu dokter lainnya untuk mendorong bankar, seketika terkesiap saat Sofia mendadak menabrak pundaknya hingga dia terpental. Entah disengaja atau tidak, tetapi itu cukup keras hingga dia hampir jatuh.Semua orang, termasuk Giandra memerhatikan insiden itu. Giandra mengerutkan kening menahan di tubuh Amora agar tidak terjatuh.Sofia melirik sinis sesaat pada Amora, kemudian berlagak seakan tidak peduli. Hal yang sama juga dilakukan oleh Rehan.“Dokter, bagaimana dengan operasi suami saya?” tanya wanita tua itu dengan raut wajah khawatir kepada Dokter William.“Oh, iya, Nyonya.” Dokter menjawabnya,