Amora terdiam. Dia tidak memikirkan apa apa yang akan dia lakukan setelah membalas dendamnya. Apa dia akan tetap bertahan pada pernikahannya dengan Giandra atau berpisah.“Aku ... dokter Giandra lalu apa yang kamu inginkan dariku?” Dia menatap Dokter Giandra dengan ekspresi serius.“Apa kamu mencintaiku atau hanya membantuku balas dendam?”“Aku mencintaimu.”Amora tersedak ludahnya sendiri dnegan jawaban langsung Giandra.“Dokter Giandra, kamu jangan bercanda ....” Dia tertawa kaku sambil memukul bahu Giandra.“Aku serius,” balas Giandra menggenggam tangan Amora.“Aku senang ketika kamu ingin menikah denganku. Bagiku pernikahannya hanya sekali seumur hidup. Aku tidak akan bercerai denganmu meski tujuan balas dendam sudah tercapai.”Amora mengalihkan pandangannya dengan cepat.“Tapi Dokter Giandra, aku menikah untuk balas dendam pada Rehan. Kamu mungkin akan makan hati jika mencintaiku dalam pernikahan ini.”“Karena itu ....” Giandra meraih dagu Amora agar menatapnya.“Aku ingin kamu m
“Dokter Giandra juga ada di sini. Kalian sedang ngapain?” Agnes bertanya dengan heran melihat keberadaan Giandra di ruang istirahat dokter magang.Pasalnya pria itu punya ruang istirahat sendiri di kantornya. Dia dan Amora sendirian di kamar istirahat dokter magang membuat mereka berpikir macam-macam.Rekan-rekannya yang lain juga menatap mereka dengan tatapan ingin tahu.Pandangan Agnes tertuju pada pakaian Amora yang terbuka. Jas dokternya sudah dilepas. Empat Kancing kemeja wanita itu terlepas hingga memperlihat tank top putihnya dan pundaknya.“Kalian sedang tidak— oh maaf kita akan kembali lagi. Silakan lanjutkan, kita nggak mengganggu kaliam.” Agnes berpura-pura menutupi matanya dan menyuruh rekan-rekannya berbalik keluar. Mereka keluar hingga menyisakan Amora dan Giandra di kamar itu.“Dasar, mentang-mentang calon pengantin ... berbuat seperti itu di ruang istirahat kita,” gerutuan Agnes yang didengar oleh Amora.“Tunggu Agnes—!” Amora berdiri hendak menyusul temannya namun le
Sebulan kemudian berjalan dengan lancar kemudian tanpa gangguan bagi Amora. Tidak ada Sofia maupun Rehan yang mengusiknya. Amora juga sudah dibebaskan dari tugas mengawasi kesembuhan Erlangga yang membuat Amora tenang terbebas dari Sofia yang sungguh menguras stok kesabarannya.Namun dia tidak bisa menghindari bertemu dengan keluarga Dwipangga. Sudah waktunya mereka membahas pernikahan setelah Erlangga akhirnya dinyatakan boleh keluar dari rumah sakit.Keluarga Dwipangga tinggal di rumah yang sudah beli Rehan beberapa bulan yang lalu. Giandra membawa Amora ke kediaman untuk bertemu dengan keluarga Dwipangga.Di ruang tamu, tampak seluruh anggota keluarga Dwipangga berkumpul termasuk Rehan dan Olivia.“Jadi kalian sudah memutuskan untuk menikah?” Erlangga bertanya menatap Giandra dan Amora yang duduk berdampingan di salah satu sofa.“Ya, Ayah,” balas Giandra mantap menatap Elrangga tegas.Sofia terdengar menggerutu, sementar Rehan tidak pernah melepaskan pandangannya dari Amora. Dia ta
Lebih baik jika pernikahan tersembunyi untuk menghindari rasa malu. Erlangga tidak peduli dengan pernikahan Amora selama selama putranya bisa pulang ke rumah dan berkumpul lagi bersama mereka.Erlangga menatap pasangan di depannya.“Bagaimana kalau mengadakan pernikahan di sini? Juga tidak perlu mewah hanya mengundang orang-orang dekat saja. Lagi pula Amora, bukankah kamu sudah pernah menikah? Tidak perlu lagi membuat pernikahannya yang sangat besar. Bagaimana menurut kalian?”Giandra mengerutkan keningnya tampak tidak setuju dengan rencana pernikahan yang di atur oleh ayahnya.Dia ingin memberikan pernikahan yang besar dan mewah untuk Amora.“Ayah—““Aku setuju.” Amora tiba-tiba memotong ucapan Giandra.Giandra menoleh menatapnya dengan kening berkerut.“Amora, kamu tidak perlu mengikuti kata-kata orang tuaku jika kamu tidak suka.”Amora tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Tidak apa-apa, aku juga tidak mencolok mengadakan pernikahan kedua. Lebih baik sederhana dan dihadiri ole
Setelah pernikahan dilaksanakan selesai di Singapura dan mengurus pindah kerja di rumah sakit Jakarta, Giandra dan Amora memesan tiket kembali ke Indonesia menyusul keluarga Dwipangga yang sudah duluan pulang.Erlangga sudah menyiapkan orang untuk menjemput mereka dari bandara ke kediaman utama Dwipangga.Ketika dalam mobil, Amora dan Giandra berdiskusi."Apa kamu yakin?" tanya Giandra setelah membicarakan mengenai tempat tinggal itu dengan Amora. Giandra tahu bahwa dengan tinggal di rumah besar keluarga Dwipangga, maka Amora harus selalu bertemu dengan Rehan dan Olivia.Sebelumnya Erlangga sudah meminta pasangan itu untuk tinggal bersama di kediaman Dwipangga karena Giandra sudah puluhan tahun meninggalkan keluarga Dwipangga. Mereka ingin memupuk kembali kasih sayang keluarga.Sofia dengan enggan menerima mereka tinggal bersama karena Amora, menantu paling tidak disukainya."Yakin, tidak ada masalah dengan itu. Tinggal bersama lebih mudah untuk balas dendam dan nggak buang waktu menc
Amora dan Giandra berjalan menuju pintu rumah besar keluarga Dwipangga tepat pada waktu makan malam setelah mengurus berkas pekerjaan dan berjalan-jalan mengelilingi kota Jakarta untuk memuaskan kerinduan Amora akan kota kelahirannya yang sudah lima tahun di tinggalkannya."Kamu senang?" tanya Giandra menoleh menatap istrinya.Pertanyaan itu terbersit di benak Giandra karena melihat senyum tipis Amora yang seringkai hinggap di bibirnya malam ini. Giandra sangat menikmati senyum manis itu. Hanya satu hal yang diinginkannya, yaitu membuat Amora merasa bahagia."Ya, aku senang," jawab Amora setelah beberapa waktu menyelami perasaannya.Giandra mengulas senyum di bibirnya, jawaban itu rasanya sudah lebih dari cukup. Giandra tidak berharap apa pun dari Amora. Dia kemudian berjalan sampai ke depan pintu masuk dan membukakannya untuk Amora."Terima kasih," ujar Amora kepadanya. Amora melenggang masuk, kemudian menunggu Giandra ikut masuk bersamanya ke dalam rumah."Ah, kalian sudah pulang ru
Keesokan pagi.Amora sudah berpakaian rapi. Dia sedang merias tipis wajah cantiknya, sekedar agar tidak kelihatan pucat.Giandra juga sudah selesai bersiap. Sebagai dokter, mereka harus berangkat pagi. Ini hari pertama mereka bekerja di rumah sakit."Apa kamu sudah siap?" tanya Giandra pada Amora.“Iya.’ Amora memandang sang suami melalui cermin yang ada di hadapannya. Dia tersenyum ketika bertemu pandang dengan Giandra yang berada di belakangnya.”"Sebaiknya, kita sarapan pagi di luar saja," ujar Giandra. Ini memang masih terlalu pagi untuk sarapan di rumah. Belum lagi semua pelayan sudah dipecat, tidak mungkin sarapan pagi di rumah akan tersedia tepat waktu.Mengenai pemecatan itu, Amora sebenarnya tahu persis kalau itu adalah akal-akalan Ibu mertuanya. Amora paham kalau Sofia ingin memperlakukan dirinya sebagai babu di rumah itu.Amora tidak akan pernah mau membiarkan dirinya ditindas lagi seperti dulu."Benar, sepertinya aku juga tidak bisa membantu pekerjaan di rumah pagi-pagi se
Mendengar semua perkataannya yang diulang oleh Erlangga, Sofia merasa lemas. Dia tidak bisa berkutik. Sekarang, tidak mungkin lagi menghubungi para pelayan yang sudah dipecatnya.Erlangga yang sedang memasang dasinya di depan kaca melirik pada sang istri. "Kenapa? Apakah begitu berat pekerjaan rumah tangga?" tanya Erlangga."Bukan, bukan begitu. Tapi ... Ah, sudahlah, aku kerjakan," gerutu Sofia. Dia berjalan keluar dari kamar. Sofia langsung menuju ke dapur.Dapur itu tentu saja sepi tanpa pelayan yang biasanya sibuk di sana."Aduh, apa yang harus aku buat untuk sarapan pagi? Ini Olivia ke mana lagi. Jangan-jangan dia masih tidur."Dengan geram, Sofia berjalan kembali keluar dari dapur. Sekarang, dia menuju ke kamar Olivia. Sofia tidak mau bekerja sendiri. Pekerjaan rumah tangga dirasa terlalu sulit untuknya.Sofia mengetuk pintu kamar Olivia. Saat tidak mendengar jawaban dan pintu masih saja tidak terbuka, dia mengulangi sekali lagi dengan ketukan yang lebih keras. "Olivia, bangun!"