Setelah mempertimbangkannya karena tidak bisa tidur semalaman akibat memikirkan Oliver dan juga Giandra, akhirnya Amora memutuskan untuk pulang. Apalagi ketika sebuah pesan dari Giandra mendarat di ponselnya. Dalam pesannya pria itu mengatakan kalau sejak bangun tidur Oliver menanyakan keberadaan Amora, bahkan anak itu terus menangis karena meminta untuk dipertemukan dengan Amora.Tak hanya itu. Giandra juga memberi tahu kalau orang-orang di rumah sudah berusaha menangkan Oliver, tapi bocah itu tetap saja menangis dan merengek minta diantarkan ke rumah sakit. Oliver berpikir kalau Amora tidak ada di mansion pasti karena sudah kembali ke rumah sakit untuk bekerja. Karena melihat Oliver terus merengek meminta dipertemukan dengan Amora, akhirnya Olivia naik darah juga. Dia langsung membentak Oliver dan menghukum anak itu dengan mengurungnya di kamar, membuat Oliver menangis semakin menjadi.Rehan tentu saja tidak tinggal diam melihat apa yang Olivia lakukan kepada Oliver. Pria itu marah
Amora merasa ada yang salah dengan dirinya belakangan ini. Setiap melihat Giandra, sisi hatinya ingin berdekatan dengannya. Dan setiap kali berjauhan, rasanya ada yang hilang. Dan lagi, sisi hatinya terkadang sering menipu kala dirinya bilang akan menjauh, tapi takdir terus membuatnya bersama.Terkadang juga ia kesal dengan Olivia yang selalu saja menyangkut-nyangkutkan segala kesialannya akibat Amora. Padahal semua orang tahu kalau Rehanlah yang mulai mendekatinya duluan. Awalnya memang Amora yang memancing di air keruh, tapi nyatanya semua malah berjalan dengan sangat mudahnya. Ia tak perlu repot-repot menghancurkan karena sudah hancur sendiri.Hari ini akhirnya Amora memutuskan untuk kembali ke rumah keluarga Dwipangga karena berbagai alasan. Salah satunya karena dirinya masih resmi sebagai istri Giandra dan juga Oliver yang membutuhkan dirinya dibandingkan mamanya sendiri.“Tante, kalau Tante mau pergi lagi, Oliver boleh ikut, kan?” tanya Oliver suatu sore dengan suara khasnya yan
“Dok, ini benar kan, Dok?” Giandra bertanya dengan mata yang hampir mengeluarkan air mata.“Hahaha ... Anda sangat senang rupanya. Selamat, ya. Semoga bayi dan ibunya akan selalu sehat.”Giandra mengaminkan dalam hati. Ia sangat senang mendengar berita ini. Ia tak menyangka kalau apa yang ia doakan pagi tadi akhirnya terkabulkan. Ia memiliki alasan yang kuat dan tak terelakkan bagi Amora untuk tetap bertahan di sisinya. Ia memang merasa bersalah karena kejadian malam itu, tapi mendengar ini, ia tak akan menyesalinya.“Sayang, ini kabar gembira. Akhirnya kamu bisa aku miliki selamanya,” bisik Giandra di kuping Amora yang lebih seperti orang yang tertidur dibandingkan pingsan.Giandra ingin Amora cepat sadar untuk merayakan hal ini karena ia tak memiliki siapa pun untuk berbagi kebahagiaan ini. Di keluarganya, yang penting keluarga Dwipangga mendapatkan cucu, soal ibunya belum tentu mereka ikut bahagia, terutama Olivia. Wanita itu pasti akan sangat marah karena tak menyangka kalau Amora
Hari pertama setelah Amora diketahui tengah berbadan dua, Olivia dan Rehan tampak kesal, kecuali Sofia dan Erlangga yang memang sangat menginginkan seorang cucu. Bagi Sofia, tak apa ibunya adalah wanita yang ia benci, asalkan cucunya bisa lahir dengan sehat dan berjenis kelamin laki-laki, maka semuanya bisa dimaafkan.Rehan dan Olivia malah sebaliknya. Setelah mendengar berita itu, yang ada di pikiran mereka adalah rasa muak melihat keromantisan yang tiba-tiba semakin menjadi-jadi oleh Giandra. Bagaimana tidak, pagi ini saja saat mereka tengah di meja makan, Giandra membopong Amora turun ala-ala pengantin baru.Rehan yang melihatnya langsung tak selera makan, tapi tetap memaksakan diri untuk tetap berada di meja makan. Ia perlu tahu kondisi Amora juga. Ia khawatir kalau-kalau kehamilannya ini malah membahayakan Amora.“Dih, tidak perlu bersikap berlebihan. Dia itu hanya sedang hamil, bukannya lumpuh,” sindir Olivia sambil mengunyah makanannya.“Setidaknya dia bisa hamil. Tidak seperti
Amora tak bisa mencegah karena kondisinya tiba-tiba memburuk. Ia merasa mual lagi dan kepalanya seperti berputar-putar. Saat akan kembali ke kamarnya, ia menelepon Giandra.“Halo? Kau baik-baik saja, Sayang?” Suara Giandra masuk ke indra pendengarannya dan langsung membuat Amora merasa lebih baik.“Iya, aku baik. Aku hanya mau bertanya perihal Bi Ratih. Apa benar kau yang mengirimnya?”“Iya. Maaf aku lupa mengabari karena ketika sampai rumah sakit aku langsung operasi. Ini saja aku baru selesai.”“Baiklah kalau memang itu suruhanmu. Aku hanya takut kalau ada penipu.”“Tenang saja. Dia anak bibi yang pernah bekerja sangat lama dengan keluarga ini, jadi dia orang yang bisa dipercaya.”“Baiklah. Kau sudah makan?”“Ini baru mau makan. Kau sendiri? Jangan menahan kalau ingin sesuatu, katakan saja. Sepulang dari sini, aku akan membelikannya.”Amora berpikir apa yang ia inginkan? Kata orang, kalau sedang hamil muda begini bawaannya ingin makan pedas dan asam, tapi ia lebih suka dengan yang m
Semakin diabaikan, semakin Giandra tak suka dengan keberadaan Olivia di rumah ini. Entah kenapa, setelah liburan di Bali waktu itu, ia malah terlihat lebih kasar sebagai wanita. Bahkan, terhadap anaknya pun ia terlihat sangat cuek.Pernah satu kali Giandra memergoki Olivia tengah menghukum Oliver yang ketahuan menumpahkan makanan. Untung saja saat itu ia datang, kalau tidak, mungkin Oliver akan lebih lama lagi duduk di pojok ruangan sambil mengangkat kedua tangannya lebih lama lagi.Namun, ternyata bukan itu saja yang membuatnya sangat kesal. Ia sering melihat Olivia menyuruh-nyuruh Bi Ratih dengan sembarangan dan kasar. Salah satunya saat ia meminta diambilkan minum padahal jelas-jelas Bi Ratih sedang memasak di dapur.Jika ketika ia melakukan hal buruk itu Giandra melihatnya, maka sebisa mungkin ia membantu. Namun, ada kalanya ia tidak di rumah dan ia tak bisa memantau seterusnya untuk semua sikap kasarnya.“Rehan, tolong kau jaga dan atur istrimu agar tak bersikap semena-mena di ru
“AH, maaf, aku jadi memaksa.” Amora yang melihat raut tidak enak dalam wajah Anna langsung meminta maaf. Ia pikir, memang lancang kalau meminta seseorang yang baru ditemui untuk langsung mengambil keputusan.“Tidak apa-apa, kok. Lagian, papanya Oliver memang ganteng dan keren, pasti setelah bercerai pun akan banyak yang mengantre untuknya.”“Ya semoga saja. Asal wanita itu menyayangi Oliver, maka semua akan baik-baik saja. Rehan sangat mencintai anaknya ini.”Entah sejak kapan ambisinya untuk balas dendam mulai menghilang. Ia lebih fokus pada bayi yang ada dalam kandungannya. Ia berharap, kalaupun ia dan Giandra tak bisa bersama, maka anak ini bisa mengobati rasa rindunya kepada suaminya.Untuk saat ini, ia sempat menyesali apa yang sudah terjadi di antara mereka semua. Namun, ia tetap tidak mau kalau Olivia dan Rehan hidup bahagia bersama. Itu menyakiti harga dirinya.“Apa yang kau lamunkan?” tanya Giandra yang sudah berada di sampingnya.“Tidak ada. Iya, kan, Ann?”Anna mengangguk.
Setelah berpakaian rapi, Giandra langsung ke luar dari kamarnya dan mengambil makanan yang sudah disiapkan oleh pelayan. Tadi dia sudah menyuruh pelayan untuk menyiapkan makanannya juga di napan dan dia akan membawanya sendiri ke kamar. Giandra ingin menemani istrinya itu untuk sarapan.Setelah membawa nampan berisi dua mangkuk bubur dan juga beberapa potong buah serta satu gelas susu ibu hamil dan dua gelas air putih, Giandra meletakkan nampan itu di nakas. Dengan perlahan dia membangunkan Amora yang tadi kembali tertidur usai salat Subuh."Amora, bangun. Sarapan dulu, yuk," panggil Giandra dengan suara yang begitu lembut dan hangat sehangat matahari pagi yang menerobos masuk ke kamar mereka melalui jendela yang sudah dibuka oleh Giandra.Amora yang merasa tidurnya terganggu pun perlahan membuka matanya yang terasa berat itu. Rasa kantuk yang menyerangnya membuat wanita itu harus menutup mulut dengan telapak tangan ketika menguap lebar."Makan dulu ya. Nanti selesai makan baru tidur