Share

Tuan Mafia

"Nyonya baik-baik saja?" Suara Arman membuyarkan lamunanku.

"Baik, aku baik man, hanya entahlah, mungkin  begini rasanya patah hati." Aku mencoba tersenyum. Meski sesak masih menjalar, siapa yang tak terluka, datang di dalam pernikahan suami sendiri.

Berusaha memejamkan mata, tapi sungguh aku tak dapat merasakan kedamaian. Bagaimana akan aku katakan pada Lala, tentang apa yang sudah terjadi. Mungkinkah bijak, membagi kisah ini pada gadis sekecil dia.

"Jika boleh saya bertanya nyonya." Kembali Arman membuatku melihatnya.

"Iya, katakan?" 

"Siapa orang yang memakai baju pengantin tadi?"

Aku tersenyum. "Kau lupa man, Lelaki kurus kering yang Bapak bilang mirip Cacing kremi itu" 

Aku menjelaskan. Aku tak pernah memperkenalkan Mas Fandi pada Bapak angkatku, sejak awal beliau tak pernah setuju. 

Tak adakah lelaku lain yang lebih pantas untuk menyandingmu nduk? Lelaki macam cacing kremi begitu mau menikahimu ?

Kalimat itu terucap saat aku baru menunjukkan selembar foto mas Fandi. Namun Bapak sudah menolaknya mentah-mentah. Saat itu aku hanya diam, meski merasa terluka juga. Ibu pengasuh panti sendiri yang memperkenalkan mas Fandi padaku, rasanya terlalu keterlaluan jika aku mengembalikan tawaran itu, tanpa mau mencoba mengenalnya.

"Apakah itu mas Fandi Nyonya?" Arman memastikan. Sepertinya dia memang lupa.

Harus aku akui, mas Fandi sangat berubah. Tubuhnya lebih berisi dengan kulit yang bersih sekarang. Jauh dengan dirinya yang dulu pertama kutemui.

"Iya man, dia mas Fandi. Lebih gagah ya? Pantas saja gadis muda seperti Kila jatuh hati pada pria beristri itu." Aku tersenyum sendiri. Tersenyum getir dengan kalimat yang terlontar dari bibirku ini.

" Jadi dia menikah lagi, Nyonya? Dengan wanita tadi?"

Aku hanya menganggukkan kepala. Rasanya semua janji yang pernah lelaki itu ucapkan, hanyalah sampah yang tertinggal di dalam benakku.

"Kau menerima semua perintahku tanpa bertanya man, karena itu kau saja tak tau untuk apa perintah itu kubuat!" Aku sedikit kesal. Bukankah aku sudah membuat banyak masalah dalam pernikahan itu. Masak Arman harus bertanya lagi.

"Maaf nyonya, bukan ranah saya mempertanyakan sebuah tugas. Tuan Lee bisa membunuh saya hidup-hidup."

"Bapak tak akan tau. lagi pula, bukankah sejak aku menikah, kalian tak berhenti memata-matai ku? Jangan sok tak tau kau man !" Kesal aku di buatnya. Sebelas tahun menjadi istri Mas Fandi,  baru kali ini nada suaraku meninggi. Ini jika karena Arman. Baru bertemu saja sudah membuat darahku naik.

"Saya benar-benar tak tau nyonya. Sejak nyonya menikah, saya tak pernah lagi diminta tuan Lee menjaga nyonya. Perintah nya hanya satu. Bersiap kapanpun nyonya menghubungi saya."

"Begitukah?" Aku mempertanyakan.

Terdengar aneh. Benarkah Bapak tak menjagaku selama ini ? Sepertinya terdengar ganjil. Bukankah lelaki itu paling protective padaku ? Mustahil sekali jika membiarkan aku tanpa pengawasannya.

"Hah... Harusnya aku menuruti kata Bapak, dulu beliau bilang, lelaki seperti Fandi tak akan bisa bertahan dalam sulitnya hidup. Mungkin karena kami tak pernah kesulitan hidup, makanya bertahan selama sebelas tahun."

Aku kembali mengingat begitu banyak hal yang kulakukan untuk keluarga nya. Sayang, tak ada sedikitpun berbekas dalam benak suamiku dan keluarga nya. Cinta mungkin membuatku terlalu naif.

Kualihkan pandangan keluar. Mataku menjelajah jalanan yang mulai gelap, sosok kakek tua dengan gerobak sampah nya membuatku terdiam. Hatiku nyeri melihat lelaki tua itu, ia berjalan sendiri di sepinya jalan yang mulai gelap.

"Man berhenti man, suruh Supirmj berhenti ! " Aku meminta.

"Ada apa Nyonya?"

Aku keluar dan mendekatinya. Lelaki tua itu menyeka keringat di pelipis. "Bapak badhe tindhak pundhi?" (Bapak mau pergi kemana) kusentuh lengannya yang kecil.

"Balek ndok, ono opo?" ( Pulang nduk, ada apa?)

Kulihat didalam gerobak, hanya ada tumpukan kardus dan botol plastik bekas. Jumlahnya tak seberapa, mungkin Bapak tak banyak mendapat rongsokan hari ini.

Dimanakah anak-anak lelaki renta ini, sampai tega membiarkan orang tuanya bergelut dengan kerasnya jalanan.

" Sampun Dhahar pak?" (Sudah makan pak?) suaraku bergetar menahan pilu.

"Durung ndok, durong adol rosok. Bapak ora ndue cekelan." ( Belum ndok, belum jual rongsokan. Bapak gak punya pegangan)

Ya Allah, sesulit apa hidupku ini, hingga aku begitu banyak mengeluh, masih banyak yang memiliki hidup lebih sulit dari caraku menjalaninya.

Aku kembali ke dalam mobil. Terkejut saat mobil-mobil lain juga berhenti. Ternyata orang-orang Arman ikut juga menghentikan mobilnya.

  Merepotkan! Menjemputku saja, dia harus ajak satu kelurahan !

"Man, bisa minta orangmu belikan Bapak itu sembako? Cari tau juga rumahnya, aku tunggu laporan kalian besok !"

Aku melihat Arman turun dari mobil. Sementara aku kembali menemui lelaki tua itu. "Ini kagem pegangan pak. Mangke rencang kulo badhe numbasne beras. Bapak tumot njeh" ( ini untuk pegangan pak. Nanti teman saya mau belikan beras. Bapak ikut ya.) 

Kuselipkan beberapa lembar uang di tangannya, lelaki itu berkaca-kaca melihatku.

"Matorsuwon ndok, mugi berkah yo nduk" 

( Terimakasih ndok, semoga berkah ya nduk)

Aku hanya menganggukkan kepala, sementara manik mata ini sudah basah karena terharu. Begitulah caraku yang yatim piatu mencari doa orang tua. Berharap itu adalah cara Allah meridhoi langkahku kedepannya. Sungguh bila kalian tau, sebatang kara yang paling menyiksa adalah, tak mendapat doa dari kedua orang tua.

Aku masuk kedalam mobil. Menyeka air mata yang membasahi pipi ku. Terisak sendiri dengan apa yang terjadi. Entahlah, hati ini terlalulu melankolis bila sudah menyangkut seorang yang disebut orang tua.

"Jalan pak" Aku menepuk pundak supir di depan ku. Dia melajukan mobilnya pelan. Mataku masih lekat memandang lelaki tua itu. 

Andaikan dia Bapakku, akan aku jaga sampai hanya Allah yang mampu memisahkan raga kami.

"Rupanya gadis kecil ini tak pernah berubah." Kalimat itu terdengar tak asing. Bahkan suaranya juga. Kutatap dimana asal suara itu.

Aku terkejut. Supir bertopi yang sejak tadi diam membuka topinya. Rambut putih sebahu tergerai, dan dia melepaskan kaca matanya.

"Bapak?" Aku menatapnya lekat. Sejak tadi memang aku tak memperhatikannya, aku fikir dia mungkin sopir baru yang di pilih Arman. Tapi ternyata Bapak angkat ku sendiri.

Seketika mobil berhenti. Bapak keluar, berpindah duduk di belakang bersamaku dan dengan cepat kursi kemudi di isi orang baru dari mobil belakang.

Bapak duduk dengan santai nya. Jas hitam yang terpakai menutupi sebagian tato yang ada di tubuh lelaki itu. Namun yang masih dapat kulihat, gambar kepala naga di leher kanannya. Gambar yang selalu kuingat dengan jelas.

Lelaki dengan wajah khas Asia itu tersenyum. Mata sipitnya bahkan hanya tinggal segaris. Rambutnya mulai memutih. Ah, aku begitu merindukannya.

Kucium takzim tangan lelaki itu dan berusaha tersenyum, meski ingin sekali aku menumpahkan tangis ku didada nya.

"Kemari lah." Bapak memeluk erat tubuhku dalam dekapan. Sejenak dapat kuurai segala rasa yang membuatku kecewa. Mungkin hanya Bapak, satu- satunya lelaki yang tak pernah membuatku patah hati.

"Apa yang akan kau lakukan Mei?  Bapak akan ikuti maumu. " Bapak membelai kepalaku perlahan. Membuatku semakin tergugu.

Mendengarnya Memanggilku Mei, hatiku kembali hangat. Meili adalah panggilanku dari Bapak. Bapak bilang Meili itu artinya cantik.

"Maafkan Mei pak, tak menuruti apa yang Bapak katakan dulu."

"Lupakan Mei, beri saja lelaki itu pelajaran. Jika tidak, Bapak yang akan membawanya bersimpuh di bawah kakimu!"

Peringatan yang di berikan Bapak membuat bulu kudukku meremang. Aku kenal siapa Bapak angkat ku. Jika dia bisa membeli dunia untuk ku, maka dia juga akan menghancurkan dunia demi aku, Putrinya 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Salfiana Nana
kasih sayang orang tua yg luar biasa sangat mendukung demi kebahagiaan anaknya
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
ah lebay .. ngejemput 1 orang aja pake bbrp mobil. btw emang bertahun2 gak pwrnahengunjunho bapak angkatnua?
goodnovel comment avatar
Saleh Ondawaty
sangat baiikk...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status