Aeris terkejut karena Leon tiba-tiba melepas jas yang dipakainya, lalu memakaikan jas tersebut di tubuhnya."Kenapa? Apa kamu tidak suka dengan penampilanku? Leon menggeleng pelan. "Aku tidak suka kalau ada orang lain yang melihat tubuhmu."Kata-kata yang keluar dari mulut Leon sukses membuat wajah Aeris memanas. Rasanya Leon ingin sekali menyeret Aeris ke atas ranjang. Lalu menelanjangi tubuhnya dan berbagi kehangatan hingga pagi menjelang. Rasanya pasti sangat menyenangkan.Leon tanpa sadar menggelengkan kepala dengan kuat untuk menyingkirkan pikiran kotornya barusan.***Aeris tercengang ketika memasuki restoran pilihan Leon. Bagian depan tempat makan itu mirip sekali dengan ballroom sebuah hotel bintang lima. Lantainya terbuat dari marmer yang berkilau jika terkena cahaya lampu. Penataan meja dan kursi begitu rapi dan dibatasi oleh pilar-pilar berukuran besar. Lukisan-lukisan kuno koleksi pemilik restoran membuat tempat makan itu terlihat klasik dan berkelas. Aeris seperti berada
Aeris terus memperhatikan jalanan yang ada di sampingnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Makan malam yang dia pikir romantis bersama Leon ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapannya karena Meeta kembali muncul setelah mereka selesai makan. Wanita itu terus saja mengajak Leon bicara, hingga Aeris merasa Leon mengabaikannya.Leon sesekali mencuri pandang ke Aeris sambil memperhatikan jalanan yang ada di hadapannya. Dia terus mencoba mengajak Aeris bicara, tapi gadis itu selalu saja mengabaikan ucapannya. Leon sadar Aeris pasti marah karena dia tadi lebih banyak bicara dengan Meeta.Aeris mengerutkan dahi karena mobil Leon tiba-tiba berhenti. "Kenapa berhenti di sini? Apartemen kita kan, masih jauh, Leon?""Mobilku mogok.""Apa?! Mogok?!" tanya Aeris tidak percaya. Gadis itu tidak menyangka mobil mahal yang Leon beli beberapa bulan yang lalu sudah mengalami kerusakan. "Apa aku boleh minta tolong?" Aeris berdecak kesal. "Jangan bilang kamu nyuruh aku dorong mobil."L
Aeris terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Gadis itu tidak bisa tidur padahal sekarang sudah lewat tengah malam. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya karena wajah Leon terus saja melintas di pikirannya setiap kali dia mencoba untuk memejamkan mata."Ya Tuhan, aku kenapa?" desah Aeris sambil mengacak-acak rambutnya hingga berantakan lalu melirik jam yang menempel di dinding kamar. Pukul dua dini hari tapi kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan. Entah sihir apa yang Leon miliki hingga bisa membuatnya tidak bisa tidur malam ini.Aeris mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur karena ingin menelepon Anne."Halo, Ai," ucap Anne di seberang sana. Suara wanita itu terdengar serak karea Aeris meneleponnya saat tidur."Kamu lagi ngapain, Ne?"Anne berdecak kesal mendengar pertanyaan Aeris barusan. "Menurutmu apa yang dilakukan orang di jam dua pagi?"Aeris malah terkekeh. "Ngeronda mungkin?"Anne memutar bola mata malas. "Ya, betul
Aeris mengerjabkan kedua mata perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah cantiknya. Entah kenapa dia merasa tidurnya sangat nyenyak semalam. Apa mungkin karena lelaki yang sekarang tidur di sampingnya?Wajah Aeris sontak memanas karena teringat kejadian yang dialaminya semalam. Saat Leon menggendongnya dari restoran sampai ke apartemen mereka. Perhatian yang Leon berikan telah berhasil mengetuk pintu hatinya. Aeris sekarang benar-benar jatuh hati pada Leon. Namun, bagaimana dengan Leon? Apa lelaki itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya?Wajah Aeris seketika berubah sendu. Gadis itu tidak tahu apakah Leon memiliki perasaan yang sama pada dirinya. Inilah yang Aeris takutkan. Lagi pula pernikahan mereka terjadi karena paksaan. Bagaimana jika Leon menemukan gadis yang dia cintai? Apa lelaki itu akan pergi meninggalkannya?Aeris tanpa sadar menghela napas panjang. Padaha dia hanya membayangkan tapi entah kenapa oksigen di
'Leon, aku takut ....''Tenanglah, semua akan baik-baik saja.''Bagaimana jika aku hamil?''Aku akan bertanggung jawab.''Sungguh?''Iya.''Aku mencintaimu, Leon.''Aku lebih mencintaimu, Alea ....'Leon terkesiap, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat. Wajahnya pun seketika berubah pucat karena kenangan yang pernah dia lalui bersama Alea tiba-tiba melintas di ingatannya saat menatap Aeris. Entah kenapa wajah gadis itu terlihat mirip sekali dengan mantan kekasihnya. Aeris membuka kedua matanya perlahan karena Leon tidak lagi menyentuhnya. Gadis itu mengerutkan dahi heran karena wajah Leon terlihat sedikit pucat."Kamu kena—" Aeris tidak melanjutkan pertanyaanya karena Leon meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. "Maafkan aku." Leon mengecup kening Aeris sekilas lalu pergi begitu saja, meninggalkan sebuah tanda tanya besar di kepala gadis itu.***Leon menyalakan shower. Dia membiarkan air dingin itu jatuh begitu saja membasahi tubuhnya. Leon butuh ketenangan k
Brian kembali melirik benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ternyata sekarang sudah hampir jam sembilan malam, tapi Leon tidak juga berhenti bekerja. Selama satu minggu ini Leon memang sengaja pulang ketika Aeris sudah tidur. Dia bahkan melarang gadis itu membawa bekal makan siang ke kantor. "Kamu nggak pulang, Le?" tanya Brian sambil mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Leon. Lelaki berwajah tampan itu merasa jika Leon sedang ada masalah.Leon hanya melirik Brian sekilas lalu kembali memperhatikan laptopnya."Aku sedang bicara denganmu. Jangan mengabaikanku." Brian berdecak kesal lantas menutup laptop Leon dengan paksa."Brian, apa yang—""Apa, hah?" sengit Brian menatap Leon tanpa takut.Leon mengembuskan napas panjang. Ternyata mempunyai sahabat yang sangat peka seperti Brian cukup merepotkan. Lelaki itu pasti tahu kalau dia sedang mempunyai masalah."Apa kau sedang ada masalah?""Tidak."Brian menyeringai. "Bohong. Tidak mungkin CEO kit
Brian benar-benar tidak habis pikir dengan Leon. Bagaimana mungkin sahabatnya itu masih memikirkan Alea padahal sudah menikah dengan Aeris? Apa Leon tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Aeris?"Dasar bodoh!" Brian tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak pernah menyangka pemimpin perusahaan hebat seperti Leon ternyata sangat payah saat berhadapan dengan cinta. Leon tidak bisa tegas dengan perasaannya sendiri. Sahabatnya itu masih saja memikirkan Alea padahal hatinya sudah berpaling ke Aeris.Brian menghentikan mobilnya tepat di depan minimarket yang berada tidak jauh dari rumahnya. Dia ingin membeli mie instan karena perutnya mendadak lapar."Total semuanya sepuluh ribu lima ratus. Apa Anda tidak ingin membeli barang yang lain?"Brian menggeleng sambil memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan pada kasir."Ada promo minyak goreng beli dua dapat satu?" "Rugi dong, Mbak kalau saya beli dua cuma dapat satu."Kasir tersebut tersenyum malu. "Apa Anda ingin membeli pulsa sek
"Kamu sudah makan belum? Kalau belum aku akan menyiapkan makan malam untukmu." Aeris ingin ke dapur, tapi Leon malah menahan pergelangan tangannya."Kenapa?" tanyanya tidak mengerti."Aku tidak lapar.""Kamu ingin mandi? Aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng, kedua matanya menatap Aeris dengan lekat. Tatapan matanya terasa begitu dingin dan menusuk. Seolah-olah mampu membekukan dan membunuh Aeris kapan saja."Kenapa kamu berubah dingin lagi sama aku, Leon? Apa aku punya salah sama kamu?" Aeris memberanikan diri untuk menatap Leon. Tatapan gadis itu terlihat begitu sendu, ada ngilu yang menjalari hatinya.Leon tersentak melihat butiran bening yang menghiasi kedua sudut mata Aeris. "Aku minta maaf kalau punya salah."Leon bergeming karena Aeris tidak bersalah. Semua ini terjadi karena dia belum berani mengatakan yang sebenarnya tentang masa lalunya bersama Alea. Dia memang pengecut.Leon ingin masuk ke kamar karena tidak tahan melihat Aeris menangis, tapi gadis itu malah menahanny