Entah kata apa lagi yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan seorang Chandra Yasodana Leon sekarang.Senang?Bahagia?Gembira?Leon merasa sangat bahagia sekrang. Namun satu hal yang pasti, dia merasa menjadi lelaki paling beruntung yang pernah Tuhan ciptakan karena Aeris mau memberinya kesempatan. Leon sepenuhnya menyadari kalau dia bukan lelaki baik. Dia berengsek, tapi Aeris malah memilihnya untuk mendampingi hidupnya.Leon berani bersumpah, mulai sekarang dia akan berusaha untuk membahagiakan Aeris, itu janjinya.Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan saat cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai di jedela kamar rumah sakit tempatnya dirawat jatuh mengenai wajah cantiknya."Hah?!" Aeris refleks mundur karena wajahnya sangat dekat dengan Leon. Kedua tangan lelaki itu bahkan melingkari pinggangnya dengan erat. Leon dan Aeris kembali tidur bersama dalam satu ranjang. Beruntung tidak ada perawat atau pun dokter yang melihat mereka. Jika ada, Leon pasti
"Permintaan apa?" tanya Aeris tidak mengerti."Bukankah sembilan hari yang lalu kita sudah membuat kesepakatan? Barang siapa yang mendesah lebih dulu, maka dia wajib mengabulkan tiga permintaan apa pun si pemenang. Apa kamu lupa?"Mampus! Aeris menelan ludah susah payah mendengar pertanyaan Leon barusan. Leon ternyata masih ingat dengan kesepakatan yang mereka buat dulu.Leon menatap Aeris dengan lekat. "Bagaimana kalau kita ...."Aeris tanpa sadar menelan ludah. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi keningnya. Aeris takut Leon mengajaknya berhubungan suami istri sekarang. Dia belum siap.Leon malah sengaja menggantungkan kalimatnya karena dia ingin menikmati wajah Aeris yang sedang ketakutan. Oh ayolah, sebenarnya apa yang sedang Aeris pikirkan? Apa Aeris pikir dia akan mengajaknya bercinta? Astaga, dia tidak mungkin mengajak Aeris bercinta karena gadis itu sedang sakit."Le-Leon, aku ...." Aeris tidak berani melanjutkan kalimatnya karena dia tidak ingin membuat Leon kecewa.
Brian berjalan di sepanjang lorong rumah sakit sambil tersenyum. Aroma obat-obatan seolah-olah tidak mengganggu indra penciumannya karena dia sedang senang. Brian merasa senang karena Leon akhirnya mau membuka hati untuk Aeris.Leon berubah menjadi lelaki yang begitu dingin dan irit bicara semenjak ditinggal Alea. Namun, Leon yang dia temui tadi terlihat begitu berbeda. Leon sekarang sering tersenyum dan banyak bicara. Dia yakin sekali kalau Aeris-lah yang sudah membuat Leon berubah. Semoga saja Leon benar-benar serius membuka hati untuk Aeris dan tidak menjadikan gadis itu sebagai pelarian. Itu harapnya."Aduh, maaf." Alea sibuk mengaduk-aduk tas yang dibawanya karena sedang mencari ponsel hingga tanpa sengaja menabrak seseorang."Tidak apa-apa, Nona." Brian tertegun. Sepasang mata hezel miliknya terpaku pada gadis yang tidak sengaja menabraknya. Wajah gadis berambut cokelat itu terlihat tidak asing di matanya.Alea? Benarkah gadis yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Alea?Bri
Ya Tuhan. Permainan takdir macam apa ini?Kepala Brian rasanya ingin meledak. Dia tidak akan membiarkan Alea bertemu dengan Leon sekarang atau pun nanti."Kita baru saja bertemu kan, Alea. Bagaimana kalau kita ngobrol sebentar?""Sebenarnya aku juga ingin ngobrol banyak hal bersamamu, tapi aku harus menjenguk Kak Aeris."Brian mendesah panjang. "Oh ayolah, kamu bisa menjenguk kak Aerismu itu lain kali. Mau, ya? Please ...."Alea terdiam, sepertinya tidak ada salahnya kalau dia menerima ajakan Brian. Lagi pula, dia juga ingin menanyakan banyak hal tentang Leon pada lelaki itu. "Baiklah."***Brian dan Alea sedang berada di sebuah kafe kecil yang berada di seberang rumah sakit. Kafe bernuansa cozy ini masih tampak sepi karena baru saja buka. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar."Saya pesan Caramell Macchiato dan spageti bolognize," ucap Brian pada pelayan. "Kamu mau pesan apa, Alea?""Teh hangat saja."Kening Brian berkerut dalam mendenga
Aeris keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Leon berulang kali menyuruh Aeris untuk berhenti mengerjakan pekerjaan rumah, tapi istrinya itu selalu mengabaikan perintahnya. Ada saja yang Aeris kerjakan. Menyapu, mencuci piring, menyiram tanaman, bahkan mengelap meja yang tidak berdebu.Apa Aeris tidak tahu jika Leon mengkhawatirkannya?"Berhentilah mengerjakan pekerjaan rumah karena aku tidak ingin kamu lelah, Aeris.""Aku sudah baik-baik saja, Leon. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku.""Lebih baik kamu istirahat, ya? Aku tidak ingin kamu sakit lagi. Nanti aku juga kan, yang repot," ucap Leon sambil mengambil alih sapu dari tangan Aeris.Aeris melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang masih jam satu siang. Sejak keluar dari rumah sakit Aeris dan Leon sekarang tidur dalam satu kamar. Leon sendiri yang meminta agar Aeris tidur bersamanya. Aeris pun tidak mampu menolak karena Leon terus saja memaksa. Tolong garis bawahi, MEMAKSA."Sekarang masih jam satu siang,
"Permainan yang sangat bagus, Alea." Krishna memuji permainan Alea sambil bertepuk tangan. Lelaki pemilik senyum manis tersebut menjadi guru Alea selama di Indonesia."Terima kasih, Kak. Tapi menurutku permainan aku tadi tidak sebagus dulu."Krishna mendekat, lantas mendudukkan diri di kursi kosong yang berada tepat di sebelah Alea. "Menurutku, permainanmu tadi sudah sangat bagus."Alea tersenyum mendengar ucapan Krishna barusan. "Aku dulu bisa bermain piano jauh lebih bagus dari pada yang tadi.""Sungguh?" tanya Krishna tidak percaya.Alea mengangguk. "Iya, yang tadi mah, tidak ada apa-apanya.""Apa kamu bisa menunjukkan permainanmu yang sangat bagus itu padaku?"Wajah Alea seketika berubah sendu. Andai saja Leon masih bersamanya, permainan pianonya pasti jauh lebih bagus dari pada sekarang. Namun, lelaki itu sekarang tidak bersamanya lagi. "Entahlah, Kak. Aku tidak yakin bisa bermain piano sebagus dulu.""Memangnya kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?"Alea menggeleng pelan. Lagi pu
"Kabarku sangat baik, Irene. Dia bukan kekasihku. Perkenalkan, dia Kak Krishna, guru piano pribadiku." Alea pun mengenalkan Krishna pada Irene."Maaf, aku pikir dia kekasihmu." Irene tersenyum tidak enak."Bukan, kamu jadi guru di sini?""Iya, aku mengajar seni musik dan tari di sekolah ini. Aku dengar kamu sekarang menjadi pianis hebat. Aku sering memberi tahu muridku tentang prestasimu yang luar biasa. Mereka takjub pada kemampuanmu saat bermain piano, Alea.""Kamu terlalu berlebihan, Irene," ucap Alea malu-malu."Aku berkata sungguh-sungguh. Mereka pasti senang jika bisa melihatmu bermain piano secara langsung. Apa kamu mau bermain piano untuk mereka?" pinta Irene penuh harap.Alea melirik Krishna yang berdiri tepat di sampingnya. Meminta izin apakah dia boleh bermain piano di depan murid Irene lewat tatapan mata.Krishna tersenyum. "Silakan," katanya.Irene tersenyum senang. "Terima kasih banyak Alea, murid-muridku pasti senang sekali kalau melihatmu."Mereka bertiga pun memasuki
Akhir pekan menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap orang yang sudah bekerja dari hari Senin sampai Sabtu, termasuk Leon. Lelaki itu sedang bersantai, menikmati segelas susu pisang yang dibuat oleh Aeris sambil menonton acara komedi di TV."Kamu mau pergi ke mana?" Leon menatap Aeris dengan dahi berkerut dalam. Gadis itu memakai kaos putih dan celana jeans hitam. Rambut hitam panjangnya dicepol asal, menyisakan beberapa helai anak rambut yang menutupi leher jenjangnya. Make up tipis membuat Aeris terlihat cantik."Aku mau keluar sebentar."Leon pun menghampiri Aeris yang sedang mengikat tali sepatu di anak tangga paling bawah. Melihat Aeris berpenampilan seperti ini Leon yakin sekali pasti banyak orang yang mengira kalau Aeris masih anak SMA."Keluar ke mana?""Ke suatu tempat."Aeris memiliki kebiasaan berkunjung ke panti asuhan setiap akhir bulan. Dia ingin berbagi sedikit kebahagiaan ke anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua.Dahi Leon bekerut dalam mendengar uc