Aeris keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Leon berulang kali menyuruh Aeris untuk berhenti mengerjakan pekerjaan rumah, tapi istrinya itu selalu mengabaikan perintahnya. Ada saja yang Aeris kerjakan. Menyapu, mencuci piring, menyiram tanaman, bahkan mengelap meja yang tidak berdebu.Apa Aeris tidak tahu jika Leon mengkhawatirkannya?"Berhentilah mengerjakan pekerjaan rumah karena aku tidak ingin kamu lelah, Aeris.""Aku sudah baik-baik saja, Leon. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku.""Lebih baik kamu istirahat, ya? Aku tidak ingin kamu sakit lagi. Nanti aku juga kan, yang repot," ucap Leon sambil mengambil alih sapu dari tangan Aeris.Aeris melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang masih jam satu siang. Sejak keluar dari rumah sakit Aeris dan Leon sekarang tidur dalam satu kamar. Leon sendiri yang meminta agar Aeris tidur bersamanya. Aeris pun tidak mampu menolak karena Leon terus saja memaksa. Tolong garis bawahi, MEMAKSA."Sekarang masih jam satu siang,
"Permainan yang sangat bagus, Alea." Krishna memuji permainan Alea sambil bertepuk tangan. Lelaki pemilik senyum manis tersebut menjadi guru Alea selama di Indonesia."Terima kasih, Kak. Tapi menurutku permainan aku tadi tidak sebagus dulu."Krishna mendekat, lantas mendudukkan diri di kursi kosong yang berada tepat di sebelah Alea. "Menurutku, permainanmu tadi sudah sangat bagus."Alea tersenyum mendengar ucapan Krishna barusan. "Aku dulu bisa bermain piano jauh lebih bagus dari pada yang tadi.""Sungguh?" tanya Krishna tidak percaya.Alea mengangguk. "Iya, yang tadi mah, tidak ada apa-apanya.""Apa kamu bisa menunjukkan permainanmu yang sangat bagus itu padaku?"Wajah Alea seketika berubah sendu. Andai saja Leon masih bersamanya, permainan pianonya pasti jauh lebih bagus dari pada sekarang. Namun, lelaki itu sekarang tidak bersamanya lagi. "Entahlah, Kak. Aku tidak yakin bisa bermain piano sebagus dulu.""Memangnya kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?"Alea menggeleng pelan. Lagi pu
"Kabarku sangat baik, Irene. Dia bukan kekasihku. Perkenalkan, dia Kak Krishna, guru piano pribadiku." Alea pun mengenalkan Krishna pada Irene."Maaf, aku pikir dia kekasihmu." Irene tersenyum tidak enak."Bukan, kamu jadi guru di sini?""Iya, aku mengajar seni musik dan tari di sekolah ini. Aku dengar kamu sekarang menjadi pianis hebat. Aku sering memberi tahu muridku tentang prestasimu yang luar biasa. Mereka takjub pada kemampuanmu saat bermain piano, Alea.""Kamu terlalu berlebihan, Irene," ucap Alea malu-malu."Aku berkata sungguh-sungguh. Mereka pasti senang jika bisa melihatmu bermain piano secara langsung. Apa kamu mau bermain piano untuk mereka?" pinta Irene penuh harap.Alea melirik Krishna yang berdiri tepat di sampingnya. Meminta izin apakah dia boleh bermain piano di depan murid Irene lewat tatapan mata.Krishna tersenyum. "Silakan," katanya.Irene tersenyum senang. "Terima kasih banyak Alea, murid-muridku pasti senang sekali kalau melihatmu."Mereka bertiga pun memasuki
Akhir pekan menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap orang yang sudah bekerja dari hari Senin sampai Sabtu, termasuk Leon. Lelaki itu sedang bersantai, menikmati segelas susu pisang yang dibuat oleh Aeris sambil menonton acara komedi di TV."Kamu mau pergi ke mana?" Leon menatap Aeris dengan dahi berkerut dalam. Gadis itu memakai kaos putih dan celana jeans hitam. Rambut hitam panjangnya dicepol asal, menyisakan beberapa helai anak rambut yang menutupi leher jenjangnya. Make up tipis membuat Aeris terlihat cantik."Aku mau keluar sebentar."Leon pun menghampiri Aeris yang sedang mengikat tali sepatu di anak tangga paling bawah. Melihat Aeris berpenampilan seperti ini Leon yakin sekali pasti banyak orang yang mengira kalau Aeris masih anak SMA."Keluar ke mana?""Ke suatu tempat."Aeris memiliki kebiasaan berkunjung ke panti asuhan setiap akhir bulan. Dia ingin berbagi sedikit kebahagiaan ke anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua.Dahi Leon bekerut dalam mendengar uc
Leon menghentikan mobilnya tepat di halaman panti asuhan Kasih Bunda. Beberapa anak kecil sontak berlari mengerubungi mobilnya."Kak Aeris!" teriak mereka saat melihat Aeris turun dari mobil Leon."Mereka mengenalmu?" Aeris mengangguk lalu mengusap puncak kepala anak itu satu-persatu. Gadis itu terlihat sangat menyayangi mereka. "Dia siapa? Kenapa Kak Aeris tidak datang bersama kak Sean?" tanya anak laki-laki berambut keriting, namanya Michael. "Dia ...." Aeris melirik Leon takut-takut. Leon pasti kesal karena Michael menanyakan Sean."Perkenalkan, nama Om Chandra Yasodana Leon, suami Kak Aeris.""Yey! Putri Aeris sekarang sudah memiliki Pangeran Leon!" teriak Michael diikuti anak-anak panti yang lain.Leon mengerutkan dahi bingung. "Kenapa mereka menyebut kita putri dan pangeran?" tanyanya tidak mengerti."Itu ...." Aeris menggaruk rambut yang tidak gatal. Malu untuk memberi tahu jika dia sering menceritakan kisah putri cantik yang hidup bahagia bersama pangeran tampan pada anak-a
Gadis kecil berusia 12 tahun itu terus bersembunyi di belakang tubuh Hana. Kedua tangannya meremas ujung drees Hana hingga meninggalkan kerutan di sana. Keringat dingin keluar membasahi tubuh gadis kecil bernama Aeris itu. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat, kedua matanya terus saja memperhatikan sekitar, takut jika orang yang dia sebut papa tiba-tiba datang lalu kembali memukulinya."Aeris." Hana berjongkok agar tingginya sejajar dengan gadis kecil itu. Tangan kanannya membelai pipi Aeris dengan lembut."Emh ...." Aeris malah beringsut karena dia takut Hana akan memukulnya."Jangan takut, Aeris. Ibu tidak akan pernah menyakitimu." Hana menatap anak kandung sahabatnya itu dengan sendu. Aeris mengalami trauma hebat karena sering dipukuli oleh ayahnya hingga membuatnya selalu merasa ketakutan jika didekati seseorang.Aileen dan Kris sering sekali bertengkar. Tidak jarang Kris melayangkan tangan, memukuli wanita yang sudah melahirkan darah dagingnya. Aeris yang melihat Kris memukuli Ail
Kristal bening itu jatuh begitu saja membasahi pipi Aeris. Gadis itu merasa amat sangat bahagia karena Leon akhirnya membalas perasaannya."Ke-kenapa kamu menangis?" tanya Leon panik karena melihat Aeris menangis. "Apa aku salah bicara?"Aeris menggeleng pelan. "Aku sangat bahagia, Leon, jawabnya di sela isak tangis.Leon tersenyum lantas mengusap air mata yang membasahi pipi Aeris. "Kalau bahagia kenapa menangis?""Aku menangis karena kamu akhirnya membalas perasaanku."Leon tersentak mendengar ucapan Aeris barusan. "Apa kamu juga mencintaiku?" tanyanya sambil menatap Aeris dengan pandangan tidak percaya.Aeris mengangguk."Sejak kapan?""Mungkin sejak dua bulan yang lalu," jawab Aeris ragu karena dia sendiri tidak ingat tepatnya kapan jatuh hati pada Leon."Serius?" tanya Leon untuk memastikan.Aeris mengangguk. Dia sendiri pun tidak pernah menyangka bisa jatuh cinta secepat ini pada Leon padahal keponakannya itu sangat menyebalkan dan sering membuatnya kesal. Cinta memang rumit dan
Leon dan Aeris pun segera minum segelas air putih untuk menghilangkan rasa panas yang menjalar di kerongkongan mereka."Apa saya salah bertanya?" tanya Bunda Rara tidak enak.Leon mengatur raut wajahnya agar terlihat lebih tenang, Aeris pun melakukan hal yang sama."Em, tidak. Bunda do'akan saja, semoga kami segera diberi momongan. Iya kan, Sayang?" Aeris terkejut karena Leon tiba-tiba meraih jemari tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Apa dia tidak salah mendengar? Momongan? Apa Leon ingin segera mempunyai anak darinya? Wajah Aeris sontak bersemu merah. Apa dia sudah siap memberi hak Leon sebagai suami? "I-iya," jawabnya terbata-bata.Bunda Rara tersenyum hangat. "Saya pasti mendo'akan yang terbaik untuk kalian."Setelah makan, Leon membantu Aeris mencuci piring kotor di dapur. Namun, Leon tidak hanya membantu, dia terus saja menggoda Aeris hingga membuat gadis itu merasa malu sendiri."Bagaimana?" "Bagaimana apanya?" Aeris malah balik bertanya. Berusaha agar tidak terlihat