Kebahagiaan Aeris dan Leon berbanding terbalik dengan apa yang saat ini sedang Alea rasakan. Gadis itu meringkuk di atas tempat tidur dengan seluruh selimut yang menutupi tubuhnya. Kristal bening itu kembali menetes dari sepasang matanya yang terpejam. Dada Alea terasa begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan pisau yang menancap tepat di ulu hatinya. Sakit.Alea benar-benar tidak menyangka Leon sudah menikah. Semudah itukah Leon melupakan dirinya?Di mana janji Leon dulu?Janji akan tetap mencintainya walaupun dia pergi. Janji akan setia menunggunya sampai kembali.Di mana?Hati Alea terasa semakin berdenyut. Apa Leon sengaja melakukannya untuk membalas sakit hati yang dia rasakan?Leon benar-benar jahat. Sangat jahat!"Alea! Buka pintunya!"Entah sudah berapa kali Kai menyuruh Alea untuk membuka pintu kamarnya karena sudah tiga hari ini gadis itu sengaja mengurung diri di kamar. Namun, Alea tetap memilih hanyut dalam sakit hati yang dia rasakan. Kai takut terjadi sesuatu dengan Alea.
Leon mengerjapkan kedua matanya perlahan saat cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Leon pun menggeliat pelan untuk merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku sebelum bangun lalu mendudukkan diri di atas tempat tidur. Senyum tipis menghiasi bibirnya ketika melihat samping tempat tidurnya telah kosong, Aeris pasti sudah bangun dan mungkin sedang menyiapkan sarapan di dapur.Leon pun beranjak karena ingin menemui Aeris. Istrinya itu ternyata sedang membuat roti bakar untuk menu sarapan mereka. Leon menyandarkan tubuhnya di daun pintu dapur. Sepasang mata hezel miliknya memperhatikan Aeris yang sibuk memasak memakai kemeja putihnya yang terlihat kebesaran di tubuhnya.Wanita itu asyik membolak balik roti bakarnya sambil bersenandung kecil menikmati musik yang diputar melalui music box. Sepertinya Aeris tidak sadar kalau Leon sudah bangun dan memperhatikannya sejak tadi."Ah!" Aeris berjingkat karena sepasang tangan
Mr. Dinata memperhatikan apa yang Leon jelaskan untuk mengembangkan bisnis mereka. Lelaki paruh baya itu kagum dengan cara Leon saat menyampaikan ide. Begitu lugas dan jelas. Tidak heran jika perusahaan yang baru Leon dirikan bisa bersanding dengan beberapa perusahaan besar. Salah satunya perusahaan miliknya, Yifan Grup."Senang bisa bekerja sama dengan Anda, Mr. Yasodana."Leon tersenyum, lalu menyambut uluran tangan Mr. Dinata dengan ramah. "Seharusnya saya yang mengatakan itu, Mr. Dinata. Senang bekerja sama dengan Anda.""Bagaimana kalau kita makan malam untuk merayakan kerja sama kita?""Tentu saja Mr. Dinata, saya terima dengan senang hati undangan Anda.""Baiklah kalau begitu, saya undur diri dulu."Leon membungkuk, memberi hormat pada lelaki paruh baya yang berdiri tepat di hadapannya."Fiuh ...." Brian tanpa sadar mengembuskan napas lega selepas kepergian Mr. Dinata. Akhirnya kerja sama mereka kembali berlanjut setelah Mr. Dinata bertemu langsung dengan Leon. Nyaris saja proy
Anne menatap Aeris dengan kening berkerut dalam. Wanita single parents itu merasa heran karena Aeris tidak pernah berhenti tersenyum sejak datang ke butik. Jatuh cinta memang menyenangkan. Sesulit apa pun yang kita lakukan terasa mudah bila hati senang. Seperti itulah yang saat ini sedang Aeris rasakan. Dengan sabar wanita itu menuruti permintaan pelanggan di butiknya meskipun pelanggan tersebut cerewet dan banyak maunya. "Kenapa kamu menatapku seperti itu, Ne?"Anne berjalan mengelilingi Aeris sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Kedua matanya menatap sang sahabat dari atas sampai bawah dengan lekat. Penampilan Aeris masih tetap sama. Sedikit cuek dan boy's seperti biasa. Tetapi kenapa Anne merasa ada yang berbeda dari Aeris."Kenapa sih, Ne?" Aeris akhirnya bertanya karena jengah diperhatikan."Kamu yang kenapa, Aeris?" Anne malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Aeris."Loh, memangnya aku kenapa?" tanya Aeris tidak mengerti."Kamu tampak berbeda, lain dari
"Padahal aku sabar menunggu suatu hari nanti Aeris akan bercerai dengan Caplang, tapi Tuhan sepertinya berkehendak lain karena Aeris dan Caplang sudah—" Ah, Sean tidak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya. Hatinya benar-benar hancur."Sudahlah, Sean. Berhentilah menangis, di luar sana masih banyak kok, cewek yang tidak kalah baik dari Aeris." Anne berusaha membesarkan hati cowok itu."Siapa?" tanya Sean sambil mengusap air matanya."Anne mungkin," sahut Aeris.Kedua mata Anne sontak membulat. "Enak saja, seleraku bukan cowok berondong seperti Sean."Aeris malah terkekeh. "Lah, bukannya kamu suka cowok berondong? Buktinya kamu mendukungku menikah sama Leon.""Kalau berondongnya seperti Leon beda lagi, aku pasti tidak menolak kalau disuruh nikah sama dia.""Anne!" sengit Aeris dengan mata melotot.Kini giliran Anne yang tertawa. "Aku cuma bercanda, lagi pula aku tidak mungkin menikung sahabat sendiri," ucapnya sambil mencubit kedua pipi Aeris dengan gemas."Awas saja kalau kamu berani mac
Lelaki bernama Kai itu menarik napas dalam-dalam. Berusaha menghalau sesak yang begitu menghimpit di dalam dadanya. Sudah empat bulan berlalu, tapi perasaan itu ternyata masih tersimpan rapi dalam hatinya. Entah kenapa dia sulit sekali untuk melupakan Aeris. Sepertinya dia sudah jatuh terlalu dalam pada pesona wanita itu.Kai kembali menyantap makan siangnya yang kini terasa hambar. Tidak ada rasa seperti perasaannya yang telah mati. Berhenti di satu nama, Aeris Lilyana. Wanita yang telah menikah dengan Leon. Mantan kekasih Alea.Leon benar-benar berengsek, masih bisa tertawa bahagia bersama Aeris sementara adiknya tengah terpuruk. Ini sungguh tidak adil bagi Alea. Seharusnya Alea meraih kebahagiannya bersama Leon, bukan dengan Aeris. Namun, takdir Tuhan tidak pernah ada yang tahu. Haruskah dia menghancurkan kebahagiaan Aeris demi Alea?Ah, Kai tidak mungkin melakukannya karena dia tidak ingin menjadi lelaki barengsek seperti Leon."Leon, aku kebelet pipis," ucap Aeris saat Leon akan
Leon malah terkekeh. "Maaf," katanya sambil menepikan Range Rover-nya karena mereka sudah sampai.Leon pun turun dari mobilnya, lantas membuka pintu untuk Aeris. Perhatian sekali, kan?"Terima kasih," ucap Aeris sambil menyambut uluran tangan Leon. "Guardian Restourant?!" Kedua mata Aeris sontak membulat menatap bangunan yang berdiri megah di hadapannya."Kenapa kita makan malam di sini?" tanya Aeris tidak bisa menyembunyikan kekesalan di wajahnya. "Kamu pasti ingin ketemu Meeta, kan?""Astaga, tidak Sayang. Mr. Dinata yang mengundang kita untuk makan malam di sini," jelas Leon."Apa tidak ada tempat makan lain?" tanya Aeris masih kesal."Jangan cemburu seperti itu, Sayang. Di dunia ini hanya ada tiga wanita yang aku cintai. Pertama kamu, kedua mama, dan yang ketiga nenek. Sudah cukup, tidak ada yang lain."Wajah Aeris sotak bersemu merah mendengar ucapan Leon barusan. Jantung pun berdebar hebat. "Sungguh?" "Aku berani bersumpah.""Baiklah, ayo kita masuk ke dalam."Aeris memperhatika
'Ingin aku melupakan, tapi kenangan itu begitu menyakitkan'~Aeris Lilyana~"Mama!"Leon sontak terbangun dari tidurnya karena mendengar Aeris berteriak. Dia langsung menarik tubuh Aeris yang gemetar hebat ke dalam dekapan. Aeris terlihat sangat ketakutan. Dia bahkan bisa merasakan jantung sang istri yang berdegub kencang."Papa jahat, Leon. Papa orang jahat, a-aku takut ...." Aeris tanpa sadar mencengkeram lengan Leon dengan erat. Kristal bening itu jatuh begitu saja membasahi pipinya. Perasaan Aeris mendadak tidak tenang setelah bertemu lagi dengan Kris di restoran. Dia takut lelaki itu tiba-tiba datang lalu kembali memukulinya."Tenanglah, Sayang. Sekarang ada aku. Aku tidak akan membiarkan papa menyakitimu lagi." Dengan penuh pengertian Leon mengusap air mata yang membasahi pipi Aeris.Wajah Aeris terlihat sangat pucat, suhu tubuhnya pun juga panas. Sepertinya Aeris demam karena belum siap bertemu lagi dengan ayahnya."Aku takut sekali, Leon. Bagaimana kalau papa datang lagi?" Le