Among Cafe tidak banyak berubah sejak terakhir kali Leon mengunjungi tempat makan yang sering didatangi anak muda tersebut. Tepatnya lima tahun lalu, saat dia dan Alea masih memakai seragam putih abu-abu.Leon sedari tadi hanya diam, memperhatikan Alea yang begitu lahab menyantap makanannya. Gadis itu seperti tidak pernah makan selama berhari-hari."Kamu tidak memesan sesuatu?" Leon menggeleng."Kenapa?""Istriku sudah masak di rumah."Alea meringis karena ada sesak yang menyelip di dalam dadanya setelah mendengar ucapan Leon barusan. Mantan kekasihnya itu terlihat sangat mencintai Aeris. Leon bahkan terus memerhatikan ponselnya sambil tersenyum. Sepertinya Leon sedang berbalas pesan dengan Aeris.Seharusnya dia yang berada di posisi Aeris. Menerima seluruh perhatian dan kasih sayang dari Leon. Andai saja Azura tidak pernah merebut Kris dari Aileen, dia sekarang pasti sudah menjadi istri Leon dan hidup bahagia bersama anak mereka."Apa masih lama?" tanya Leon setelah melihat jam yang
Aeris menghela napas panjang setelah menerima telepon dari Azura. Entah sudah berapa kali wanita paruh baya itu mengatakan jika merindukan Alea karena sudah hampir dua Minggu Alea tidak pulang ke rumah. Azura tidak tahu Alea berada di mana. Aeris pun terus mencoba menghubungi Alea, tapi nomor gadis itu selalu tidak aktif."Kamu di mana, Alea?" Aeris menatap nanar layar ponselnya. Dia sama khawatirnya seperti Azura. Apa Alea pergi dari rumah karena dirinya?Aeris kembali menghela napas panjang. Inilah yang dia takutkan jika tetap mempertahankan pernikahannya dengan Leon. Aeris takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Alea. Bagaimana jika gadis itu melakukan hal yang berbahaya? Bunuh diri misalnya. Aeris mengusap wajah kasar. Jangan sampai hal itu terjadi. Dia akan mencari Alea agar Azura tidak khawatir lagi."Kamu mau pergi ke mana, Aeris?" tanya Anne karena melihat istri Leon itu membersihkan meja kerjanya."Aku mau nyari Alea.""Untuk apa kamu mencari gadis itu?" Raut wajah Anne terl
Krishna dan sang kakak kompak menoleh. Embusan napas lega sontak lolos dari bibir keduanya karena Aeris sudah sadarkan diri."Iya, Nona. Menurut pemeriksaan saya Anda sedang hamil. Saya akan memberi surat rujukan ke dokter kandungan jika Anda ingin memeriksakan lebih lanjut."Aeris mengusap perutnya yang masih datar. Kristal bening itu jatuh begitu saja membasahi pipinya. Air mata bahagia. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa yang selalu dia panjatkan dan Leon selama ini. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang tua. Aeris berjanji akan merawat calon buah hatinya dengan baik sampai lahir ke dunia.***Aeris mengusap sudut matanya yang berair ketika melihat hasil foto USG janinnya yang masih berumur empat Minggu. Calon buah hatinya terlihat begitu kecil. Seperti biji kacang. Aeris begitu terharu melihatnya. Dia tidak sabar memberitahu Leon jika sekarang ada kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Buah cinta mereka.Aeris pun mengeluarkan ponselnya dari tas karena ingin menelepon Leon.
"Alea!" Wajah Aeris sontak mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat hingga membuat kuku jarinya memutih karena menahan amarah."Jika saja Kak Aeris tidak pernah mucul, Alea pasti sudah menikah dengan Leon!" ucap Alea lantang. Amarah terpancar jelas dari kedua sorot matanya yang menatap Aeris tajam."Alea menyesal telah mendonorkan darah untuk Kak Aeris. Seharusnya Alea biarkan saja Kak Aeris sekarat waktu itu."Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Aeris. Hatinya benar-benar sakit mendengar ucapan Alea barusan. Benarkah Alea adik tirinya? Kenapa Alea tega sekali berkata seperti itu pada dirinya?"Apa maumu, Alea? Apa kamu mau kakak mengembalikan darah yang telah kamu berikan?"Alea menyeringai. "Kembalikan Leon padaku.""Alea!" Aeris tanpa sadar menampar Alea dengan cukup keras. Sedetik kemudian dia menyesali perbuatannya."Ma-maaf. Maafkan kakak, Alea. Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Aeris terdengar khawatir.Alea meringis merasakan nyeri yang menjalari pipi kanannya. "Kak Aeri
Aeris menarik napas dalam-dalam, tapi hal itu tidak bisa mengurangi sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Terlalu banyak kenangan yang Aeris lalui bersama Leon di apartemen tersebut.Mereka pernah tertawa bersama. Menghabiskan malam bersama. Saling berbicara dan berbagi cerita. Menikmati senja dan secangkir teh panas di balkon kamar. Semua kenangan itu terlalu indah untuk Aeris lupakan. Dia akan menyimpan kenangan tersebut dengan baik dalam ingatan.Sedikit pun Aeris tidak pernah menyangka hal yang selama ini dia takutkan akhirnya kejadian. Pernikahannya dan Leon hancur seperti pernikahan kedua orang tuanya. Rumah tangga mereka hanya bertahan selama lima bulan. Terlalu singkat. Namun, Aeris tidak mempunyai pilihan karena dia hanya ingin membahagiakan Alea meskipun apa yang dia lakukan menyakiti Leon.Aeris sepenuhnya menyadari Leon pasti akan kecewa pada dirinya, bahkan mungkin membencinya karena dia tidak bisa menepati janji yang telah dia ucapkan. Janji untuk tidak pergi meninggal
Leon memutuskan untuk kembali ke kamar. Mungkin saja Aeris sedang berada di kamar mandi, pikirnya."Aeris Sayang. Apa kamu di dalam?" tanyanya dari balik pintu kamar mandi.Lagi-lagi Aeris tidak menjawab."Sayang?" ulangnya lagi.Tetap tidak ada jawaban. Leon pun memutuskan untuk memutar kenop pintu yang ada di hadapannya. Dia sangat terkejut karena Aeris tidak ada di dalam kamar mandi.Perasaan Leon mendadak tidak tenang. Dia akhirnya mencari Aeris di seluruh apartemen, tapi istrinya itu tidak ada.Leon mengusap wajah kasar. Perasaannya semakin tidak tenang karena Aeris tidak bisa dihubungi. Ponsel Aeris tidak aktif. Leon pun mencoba untuk menelepon Anne, tapi wanita yang sedang dekat dengan Sean itu tidak tahu istrinya berada di mana."Aku tidak tahu Aeris ada di mana. Apa terjadi sesuatu? Kalian bertengkar?""Ah, tidak ada apa-apa. Hubungan kami baik-baik saja. Terima kasih Anne, maaf mengganggu." Leon menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang, tapi hal itu tidak
Leon menghabiskan waktu dengan bekerja dan bekerja. Dia semakin bersikap dingin pada siapa pun semenjak Aeris pergi meninggalkannya."Aku beri kau waktu lima menit untuk memperbaiki laporan ini. Kalau kau tidak bisa menyelesaikannya, lebih baik kau angkat kaki dari kantor ini.""Ba-baik, Pak," ucap karyawan Leon dengan takut-takut. Dia segera melaksanakan perintah Leon jika tidak ingin dipecat.Brian mengerutkan dahi melihat Leon yang akhir-akhir ini berubah seperti Medusa. Sering marah dan suka membentak karyawannya."Kamu ada masalah, Le?""Tidak," sahut Leon datar.Lipatan di kening Brian semakin bertambah. "Aku tidak pernah melihat Aeris membawakanmu bekal makan siang. Apa kalian sedang bertengkar?"Mendengar nama Aeris membuat dada Leon bergemuruh karena marah. "Jangan sebut nama wanita itu di depanku," desisnya terdengar tajam."Memangnya kenapa?" tanya Brian ingin tahu.Leon malah melengos. Dia enggan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga pada Brian karena
Apertemen menjadi tujuan terakhir bagi Leon. Sebenarnya dia malas sekali pulang karena tiap sudut ruang di dalam apertemennya selalu mengingatkannya dengan Aeris. Semuanya.Leon berbaring miring di atas tempat tidurnya. Aroma tubuh Aeris tidak mau hilang. Masih melekat kuat di tempat tidur mereka. Pelan air mata turun membasahi pipinya. Leon sangat merindukan Aeris."Aku sangat merindukanmu, Aeris. Tapi aku juga membencimu ...," gumamnya menahan nyeri yang begitu mengimpit di dalam dada.Leon terus menangis karena merindukan Aeris hingga tidak sadar tertidur. Padahal dia biasanya baru bisa tidur jika sudah minum obat tidur.Leon mengerjapkan kedua matanya perlahan. Rasanya seperti ada batu seberat satu ton yang menimpa kepalanya saat dia membuka mata. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya karena semalam dia lupa ganti baju dan melepas sepatunya sebelum tidur. Aeris pasti marah dan akan terus mengomel jika tahu dia tidak membersihkan diri sebelum tidur."Ah ...." Leon mengusa