Krishna dan sang kakak kompak menoleh. Embusan napas lega sontak lolos dari bibir keduanya karena Aeris sudah sadarkan diri."Iya, Nona. Menurut pemeriksaan saya Anda sedang hamil. Saya akan memberi surat rujukan ke dokter kandungan jika Anda ingin memeriksakan lebih lanjut."Aeris mengusap perutnya yang masih datar. Kristal bening itu jatuh begitu saja membasahi pipinya. Air mata bahagia. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa yang selalu dia panjatkan dan Leon selama ini. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang tua. Aeris berjanji akan merawat calon buah hatinya dengan baik sampai lahir ke dunia.***Aeris mengusap sudut matanya yang berair ketika melihat hasil foto USG janinnya yang masih berumur empat Minggu. Calon buah hatinya terlihat begitu kecil. Seperti biji kacang. Aeris begitu terharu melihatnya. Dia tidak sabar memberitahu Leon jika sekarang ada kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Buah cinta mereka.Aeris pun mengeluarkan ponselnya dari tas karena ingin menelepon Leon.
"Alea!" Wajah Aeris sontak mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat hingga membuat kuku jarinya memutih karena menahan amarah."Jika saja Kak Aeris tidak pernah mucul, Alea pasti sudah menikah dengan Leon!" ucap Alea lantang. Amarah terpancar jelas dari kedua sorot matanya yang menatap Aeris tajam."Alea menyesal telah mendonorkan darah untuk Kak Aeris. Seharusnya Alea biarkan saja Kak Aeris sekarat waktu itu."Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Aeris. Hatinya benar-benar sakit mendengar ucapan Alea barusan. Benarkah Alea adik tirinya? Kenapa Alea tega sekali berkata seperti itu pada dirinya?"Apa maumu, Alea? Apa kamu mau kakak mengembalikan darah yang telah kamu berikan?"Alea menyeringai. "Kembalikan Leon padaku.""Alea!" Aeris tanpa sadar menampar Alea dengan cukup keras. Sedetik kemudian dia menyesali perbuatannya."Ma-maaf. Maafkan kakak, Alea. Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Aeris terdengar khawatir.Alea meringis merasakan nyeri yang menjalari pipi kanannya. "Kak Aeri
Aeris menarik napas dalam-dalam, tapi hal itu tidak bisa mengurangi sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Terlalu banyak kenangan yang Aeris lalui bersama Leon di apartemen tersebut.Mereka pernah tertawa bersama. Menghabiskan malam bersama. Saling berbicara dan berbagi cerita. Menikmati senja dan secangkir teh panas di balkon kamar. Semua kenangan itu terlalu indah untuk Aeris lupakan. Dia akan menyimpan kenangan tersebut dengan baik dalam ingatan.Sedikit pun Aeris tidak pernah menyangka hal yang selama ini dia takutkan akhirnya kejadian. Pernikahannya dan Leon hancur seperti pernikahan kedua orang tuanya. Rumah tangga mereka hanya bertahan selama lima bulan. Terlalu singkat. Namun, Aeris tidak mempunyai pilihan karena dia hanya ingin membahagiakan Alea meskipun apa yang dia lakukan menyakiti Leon.Aeris sepenuhnya menyadari Leon pasti akan kecewa pada dirinya, bahkan mungkin membencinya karena dia tidak bisa menepati janji yang telah dia ucapkan. Janji untuk tidak pergi meninggal
Leon memutuskan untuk kembali ke kamar. Mungkin saja Aeris sedang berada di kamar mandi, pikirnya."Aeris Sayang. Apa kamu di dalam?" tanyanya dari balik pintu kamar mandi.Lagi-lagi Aeris tidak menjawab."Sayang?" ulangnya lagi.Tetap tidak ada jawaban. Leon pun memutuskan untuk memutar kenop pintu yang ada di hadapannya. Dia sangat terkejut karena Aeris tidak ada di dalam kamar mandi.Perasaan Leon mendadak tidak tenang. Dia akhirnya mencari Aeris di seluruh apartemen, tapi istrinya itu tidak ada.Leon mengusap wajah kasar. Perasaannya semakin tidak tenang karena Aeris tidak bisa dihubungi. Ponsel Aeris tidak aktif. Leon pun mencoba untuk menelepon Anne, tapi wanita yang sedang dekat dengan Sean itu tidak tahu istrinya berada di mana."Aku tidak tahu Aeris ada di mana. Apa terjadi sesuatu? Kalian bertengkar?""Ah, tidak ada apa-apa. Hubungan kami baik-baik saja. Terima kasih Anne, maaf mengganggu." Leon menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang, tapi hal itu tidak
Leon menghabiskan waktu dengan bekerja dan bekerja. Dia semakin bersikap dingin pada siapa pun semenjak Aeris pergi meninggalkannya."Aku beri kau waktu lima menit untuk memperbaiki laporan ini. Kalau kau tidak bisa menyelesaikannya, lebih baik kau angkat kaki dari kantor ini.""Ba-baik, Pak," ucap karyawan Leon dengan takut-takut. Dia segera melaksanakan perintah Leon jika tidak ingin dipecat.Brian mengerutkan dahi melihat Leon yang akhir-akhir ini berubah seperti Medusa. Sering marah dan suka membentak karyawannya."Kamu ada masalah, Le?""Tidak," sahut Leon datar.Lipatan di kening Brian semakin bertambah. "Aku tidak pernah melihat Aeris membawakanmu bekal makan siang. Apa kalian sedang bertengkar?"Mendengar nama Aeris membuat dada Leon bergemuruh karena marah. "Jangan sebut nama wanita itu di depanku," desisnya terdengar tajam."Memangnya kenapa?" tanya Brian ingin tahu.Leon malah melengos. Dia enggan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga pada Brian karena
Apertemen menjadi tujuan terakhir bagi Leon. Sebenarnya dia malas sekali pulang karena tiap sudut ruang di dalam apertemennya selalu mengingatkannya dengan Aeris. Semuanya.Leon berbaring miring di atas tempat tidurnya. Aroma tubuh Aeris tidak mau hilang. Masih melekat kuat di tempat tidur mereka. Pelan air mata turun membasahi pipinya. Leon sangat merindukan Aeris."Aku sangat merindukanmu, Aeris. Tapi aku juga membencimu ...," gumamnya menahan nyeri yang begitu mengimpit di dalam dada.Leon terus menangis karena merindukan Aeris hingga tidak sadar tertidur. Padahal dia biasanya baru bisa tidur jika sudah minum obat tidur.Leon mengerjapkan kedua matanya perlahan. Rasanya seperti ada batu seberat satu ton yang menimpa kepalanya saat dia membuka mata. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya karena semalam dia lupa ganti baju dan melepas sepatunya sebelum tidur. Aeris pasti marah dan akan terus mengomel jika tahu dia tidak membersihkan diri sebelum tidur."Ah ...." Leon mengusa
Aeris terus mencoba menjalani hidup tanpa Leon. Mencoba kembali ke kehidupannya sebelum menikah dengan keponakannya itu. Tidur sendiri, makan sendiri, tinggal sendiri, apa pun sendiri, semua serba sendiri. Namun, kembali hidup sendiri ternyata tidak semudah yang Aeris bayangkan. Aeris merasa hidupnya tidak lagi berwarna, begitu kosong, dan hampa. Udara yang dia hirup pun tidak lagi terasa segar. Dadanya sesak. Dia merasa begitu tersiksa hidup sendiri tanpa Leon. Aeris membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Aroma tanah basah seketika menyeruak di indra penciumannya karena semalam turun hujan. Rumput-rumput terlihat basah karena embun. Matahari masih enggan menampakkan diri karena sinarnya terhalangi awan mendung. Semendung wajah Aeris sekarang. Kesedihan tergambar jelas di wajah cantiknya. Kebahagiaan Aeris seolah-olah lenyap setelah berpisah dari Leon. Aeris sangat merindukan Leon. Dia tidak sanggup hidup sendiri tanpa lelaki itu. Namun, dia malah menghancurkan rumah tangganya sendiri
Leon benar-benar tidak peduli lagi dengan Aeris meskipun Hana sudah ratusan, bahkan ribuan kali membujuknya untuk mencari wanita itu karena dia sudah terlanjur kecewa dan percaya dengan surat yang Aeris tinggalkan untuknya.Leon tidak akan menahan Aeris agar tetap berada di sisinya jika wanita itu merasa tidak bahagia hidup bersama dirinya. Jika dengan berpisah membuat Aeris bahagia, maka dia akan menuruti keinginan wanita itu untuk berpisah.Anne pun tidak kalah pusing dengan Hana. Wanita yang sedang dekat dengan Sean itu benar-benar terkejut karena Aeris tiba-tiba ingin berpisah dari Leon. Bahkan proses perceraian mereka tinggal menunggu keputusan hakim. Anne merasa sangat bersalah karena akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sean hingga kurang memperhatikan Aeris. "Aku pikir pernikahan mereka selama ini baik-baik saja, Sean." Anne menarik rambutnya kuat-kuat. Dia tidak percaya jika Aeris merasa tidak bahagia hidup bersama Leon. Sean mengembuskan napas panjang. D