Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Gadis lajang berusia dua puluh sembilan tahun itu mematut diri di depan cermin. Floral dress tanpa lengan berwarna putih gading melekat indah di tubuhnya. Rambut hitam panjangnya dibuat sedikit bergelombang di bagian bawah, menutupi bahunya yang sedikit terbuka. Make up tipis membuat penampilan gadis bertubuh mungil itu terlihat semakin cantik."Okay, semua sudah perfect," ucap gadis bernama Aeris itu setelah memoles lipstik berwarna nude di bibirnya. Sebentar lagi dia akan menghadiri acara reuni yang diadakan oleh keluarganya setiap setahun sekali. Aeris harus siap menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh keluarga besarnya. Mulai dari pekerjaan, hubungan asmara, juga pernikahan. Entah apa yang membuat Aeris betah melajang di usianya yang hampir kepala tiga. Padahal saudara perempuannya sudah banyak yang menikah, bahkan memiliki anak."Mau pergi ke mana, Amor?" Aeris memutar bola mata malas mendengar ucapan lelaki berkulit tan yang tinggal di sebelah apartemennya."Jangan pa
Leon berdecak kesal melihat kemeja putihnya yang berubah warna menjadi kecoklatan. Padahal kemeja tersebut hadiah terakhir dari mantan kekasihnya saat dia berulang tahun yang ke dua puluh. Semua karena Aeris, adik mamanya yang sangat ceroboh. Leon benar-benar tidak habis pikir, padahal umur Aeris hampir kepala tiga, tapi tingkahnya masih seperti gadis berusia belasan. Kekanakan. Sifat Aeris sangat berbeda dengan sang ibu yang begitu lembut dan anggun. Apa benar Aeris adik kandung mamanya? Suasana rumah keluarga Yasodana yang begitu ramai membuat Leon merasa kurang nyaman. Si kembar sedari tadi tidak pernah bisa diam. Mereka terus berlarian ke sana ke mari membuat kepalanya terasa pusing. Leon tidak betah berada di tengah keramaian seperti ini. "Kamu mau pergi ke mana, Sayang?" tanya Aerin yang melihat Leon beranjak. "Leon ada janji, Ma." "Tapi acara reuni keluarga kita belum selesai." "Tapi, Ma ...." Leon menatap Aerin dengan penuh harap. Semoga saja Aerin memberinya izin untuk
"Ne!" "Ada apa?" "Temanmu masih lama?" Aeris meremas kesepuluh jemari tangannya yang terasa dingin karena mulai merasa tidak nyaman. Dia ingin pulang. Anne melihat benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Tunggu sebentar lagi." Aeris mengembuskan napas panjang. Mau tidak mau dia harus menunggu teman Anne datang karena tidak tahu jalan pulang. Tidak lama kemudian ada dua orang laki-laki datang menghampiri mereka. Kedua mata Anne seketika berbinar melihat lelaki yang berdiri di depannya. "Liam?" "Yes, I'm Liam." Lelaki bernama Liam itu mengulurkan tangan kanannya yang disambut ramah oleh Anne. "Aku membawa seorang teman untuk menemaniku datang ke sini." "Aku, Daniel." Teman Liam tersebut memperkenalkan diri. "Who is she?" tanya Liam saat melihat Aeris. "Dia temanku, Aeris." Anne pun memperkenalkan Aeris pada Liam dan Daniel. "She is so pretty," puji Liam. Aeris tersenyum kaku mendengar pujian Liam untuknya. "And sexy," imbuh Daniel menatap Aeris sepe