Xabier turun dari mobil mewahnya, masuk ke dalam studio. Hari ini ia ada jadwal pemotretan untuk iklan merek parfum pria terkenal.
Tubuh pria itu padat berisi, ia kerap menyambangi pusat latihan kebugaran untuk membentuk ototnya. Ditambah cambang halus di sekitar dagunya, menguatkan ketampanannya.Xabier telah bersiap, kini tengah memeriksa parfum yang didominasi aroma lemon, jeruk, sedikit apel."Xabi, kita mulai sepuluh menit lagi," ujar fotografernya.Xabier mengangguk lalu mengendusi aroma wangi yang keluar dari botol parfum itu. Ia sangat menyukai aroma yang menguar dari wadahnya.Waktu yang ditentukan tiba, Xabier melakukan pose terbaiknya."Aroma parfum ini menenangkan, aku suka. Untuk perusahaan mana ini?" tanya Xabier pada fotografernya, Guidom, setelah sesi pemotretan selesai."Kebiasaan, tidak baca kontrak kerja," ujar Guidom, sahabatnya sejak zaman kuliah."Sebut saja, Guidom. Jangan bertele-tele," tuntut Xabier. Tidak membaca kontrak kerja adalah kebiasaannya. Namun, tidak demikian bila kontrak berkenaan dengan usaha kuliner yang serius digarapnya."Djadikusumo Grup," sahut Guidom sembari merapikan perlengkapan memotretnya."Apa? Serafina," tegasnya, memastikan tidak salah mendengar informasi dari Guidom."Ya, siapa lagi? Perempuan yang terobsesi padamu sejak dulu. Tidak baca merek parfumnya?" kekeh Guidom.Xabier mengangkat sebotol parfum dan mengejanya, "Xabiero Eau De Toilette." Xabier berdecak, ia menaruh parfum dengan sedikit keras ke atas meja kaca."Pantas saja aroma ini aku suka," decak Xabier. "Kenapa tidak membacanya sebelum menerima kontrak ini?" Xabier mengumpat dengan suara kecil."Kebiasaanmu itu diketahui Serafina, salahmu sendiri tidak menggunakan jasa manajer artis," cetus Guidom seraya meninggalkan Xabier seorang sendiri.Pria itu mendengkus, sayangnya kontrak kerja telah ia tanda tangani. Dirinya harus menuntaskan pekerjaan untuk pemotretan parfum baru milik Serafina.Bila tidak, resiko hukum harus ditanggungnya. Xabier tidak mau itu terjadi. Kembali ia mengumpati keteledorannya."Xabi...," sapa seseorang dengan alunan lembut.Pria itu menoleh. Perempuan yang ada dalam pikirannya tadi telah berdiri di belakang tubuhnya entah sejak kapan."Hai, Sera," balas Xabier datar."Bagaimana sesi pemotretan kamu hari ini?" tanya Serafina sambil berjalan mendekat."Biasa," jawab Xabier jujur. Dia agak kurang nyaman karena tubuh Serafina begitu dekat dengannya."Aku tidak tahu kamu pemilik parfum ini," lanjutnya sembari menunjukkan sebotol parfum. Ia mundur dua langkah memberi jarak aman.Serafina terkekeh. "Seharusnya kamu sudah tahu dari merek parfumnya," sambut Serafina seraya tersenyum manis."Sampai sebegitunya menggunakan namaku?" tuntut Xabier meminta penjelasan."Kamu tahu aku dan perasaanku padamu, Xabi. Sejak lama. Biarkanlah aku hidup dalam bayangmu bila tidak memilikimu," timpal Serafina penuh harap."Kamu hanya menyakiti dirimu sendiri. Jangan lupa, aku sudah menikah," ingatnya.Serafina menegang, sejurus kemudian ia mampu mengatur iras wajahnya. "Tidak Xabi. Aku tahu kamu terpaksa menikahinya," kekeh perempuan cantik itu.Xabier berdecak, ia memberi ekspresi tidak peduli. "Terserah kamu. Pemotretan telah selesai, aku harus pergi," pamit Xabier berlalu dari hadapan Serafina.Serafina bergerak cepat menghalangi langkah Xabier. "Xabi, apakah kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi?" tanya Serafina memandang penuh harap manik Xabier.Xabier balas menatap, "Apa yang kamu harapkan dariku, setelah kamu memilih meninggalkanku? Apa kamu lupa di saat aku terpuruk karena perceraian orang tuaku, kamu memilih pria lain sebagai kekasihmu?""Xabi... aku mohon maaf." Perempuan itu menundukkan pandangannya. "Aku masih sangat muda waktu itu, labil dan hanya ingin kesenangan.Tapi aku menyesal dan bertahun-tahun aku berusaha kembali padamu," papar Serafina, mengangkat kembali wajahnya."Menyesal? Benarkah?" Xabier mendalami arti tatapan Serafina. "Bukan berbalut bisnis?" tanyanya blak-blakan."Xabi... aku tidak seperti itu," timpal Serafina.Xabier melihat jam tangan, ini waktunya untuk meninggalkan lokasi. Perbincangan basa-basi ini menghabiskan waktunya yang berharga."Serafina, jangan mengharapkan apapun dariku. Kamu hanya akan mendulang rasa sakit hati," tegasnya. "Aku harus pergi." Belum lagi Serafina menjawab, Xabier telah melewati tubuhnya untuk keluar dari ruangan itu.Setelah dari lokasi pemotretan Xabier menuju restoran pusat miliknya. Ia membuka lima cabang baik di dalam maupun luar kota dengan nama Restoran Pohon Rindang.Beberapa waktu berada dalam ruang kerjanya, seorang perempuan yang diangkat sebagai sekretaris mengetuk pintu."Masuk," perintah Xabier."Selamat siang, Pak," sapanya. "saya ingin menyampaikan revisi laporan keuangan restoran yang telah dipresentasikan tempo hari," ujar Domarita, sekretaris Xabier."Ya, taruh saja," ucap Xabier tanpa melihat Domarita sebab ia tengah fokus pada laptopnya untuk mengecek email masuk dari perusahaan Djadikusumo Grup. Xabier memeriksa kembali kontrak kerja yang ditawarkan oleh perusahaan milik Serafina itu, sementara Domarita meninggalkan ruangan.Setelahnya, Xabier memeriksa laporan keuangan restoran. Tercatat dengan rapi detail keuntungan di setiap cabang, hingga total keseluruhan cabang. Setiap bulan keuntungan yang diperoleh terus meningkat.Pria itu senang dengan kerja karyawan di restorannya. Tidak sungkan ia memberi bonus untuk karyawan yang berprestasi, mulai dari bagian administrasi, back of house, dan juga front of house.Tiba-tiba ia teringat akan peristiwa dua bulan lalu, pertemuan pengusaha kuliner nusantara, Batari yang sekarang menjadi istrinya terpilih sebagai karyawan terbaik dari restoran miliknya.Ia masih menyelidiki siapa orang yang dengan tega memasukkan obat tertentu ke dalam minumannya sehingga gairahnya meningkat tajam. Xabier ingat dia memanggil Batari dan Arjuna Bagaspati ke dalam kamar hotel untuk menyerahkan bonus tambahan bagi mereka sebagai karyawan terbaik.Kedatangan Batari sendirian tanpa Arjuna mengganggu kerja otaknya yang telah diliputi hasrat tak mereda. Ia memaksa Batari.Karena itulah, dirinya menikahi Batari sebagai bentuk tanggung jawab. Xabier juga tidak ingin Batari merusak citra baik yang telah diraih susah payah, seandainya ia dilaporkan pada pihak berwajib melalui kasus kekerasan seksual.Agenda Xabier hari ini mengunjungi dua cabang restoran miliknya. Itu kegiatan rutin Xabier sekali sebulan, selain menjadi model parfum pria.Jarak antara kedua restoran berkisar 20 km, masih berada dalam kota yang sama. Lalu lintas yang padat hanya memungkinkan untuk menyambangi dua restoran saja.Kunjungan ke cabang restoran pertama berjalan lancar. Meskipun restoran itu menghasilkan keuntungan paling kecil diantara cabang lain dan pusat, kinerja karyawannya memuaskan bagi Xabier.Pria itu tiba di cabang restorannya yang kedua. Sama seperti yang pertama, sambutan yang baik diterima dari para karyawan.Bertepatan dengan ramainya pengunjung restoran saat itu, Xabier merasa puas menyaksikan meja kosong hanya sedikit. Cabang restoran ini paling baik dalam menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan lainnya.Xabier berjalan menuju ruang yang khusus bagi dirinya bila mengunjungi setiap cabang restoran. "Apa semua berjalan lancar?" tanyanya pada Sekarita, kepala cabang restoran."Siap, Pak.
Batari dibaringkan di brangkar pasien di ruang unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Seorang perempuan dengan jas warna putih memeriksa keadaannya.Batari sudah sadarkan diri, tetapi dalam kondisi yang tidak prima. Ia hanya diam memandang ke sekeliling hingga bersirobok tatapannya dengan Xabier."Kamu di rumah sakit," jelas lelaki itu.Perawat di sampingnya membantu mengecek suhu tubuh dan tekanan darah."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Xabier."Ibu Batari tekanan darahnya rendah, menyebabkan ia tadi pingsan. Ini membutuhkan perawatan di rumah sakit agar dapat kita pantau," jelas dokter bernama Cresentia pada label nama yang menempel di dadanya.Dengan berat hati, Xabier menerima saran dari Cresentia. Batari pun tidak membantah. Kalau ia ngotot minta dirawat di rumah, akan merepotkan. Xabier pasti harus mencari tenaga yang akan membantu merawat dirinya."Kita akan memasukkan cairan infus. Ini sedikit sakit," ujar perawat.Batari meringis merasakan sakit jarum suntik di lengannya.
"Tidak." Jawaban pendek itu semakin membuat Batari kesal. Dadany kembang kempis menahan emosi."Bapak datang kemari hanya untuk membuat saya marah?" protes Batari. Ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ponsel itu. Terpaksalah ia menggunakan angkutan umum untuk sampai ke rumah yang disediakan Xabier untuknya.Batari menyandang tas ranselnya, melangkah keluar ruangan. Ditentengnya map berisi hasil laboratorium dan resume medis.Sebelum sampai ke pintu, Xabier lebih dulu menghalangi jalan Batari."Pulang sama saya!" perintah Xabier, maniknya menatap Batari."Tidak mau," kata Batari. "Saya bisa pulang sendiri. Tolong, beri saya jalan, Pak," sambungnya dengan sorotan tajam pada Xabier.Pria itu geram melihat Batari yang keras kepala. Sebelum ini, Xabier tahu kalau Batari orang yang lembut dan ramah, sehingga pengunjung restoran yang bersedia mengikuti survei kepuasan pelanggan memberi nilai baik pada pelayanannya."Jangan berlebihan. Aku memang mau menjemput kamu," kata Xabier menjelaskan ma
Semalam Xabier telah menghubungi karyawan di restoran pusat untuk mempersiapkan restorannya sebagai tempat konferensi pers.Satu hari ini, restoran itu tidak menerima tamu. Ia malah menjamu para pemburu berita untuk menikmati sajian gratis.Pria itu menikmati sarapan bersama ibu dan adiknya. "Nanti siang aku ada konferensi pers, memberitahukan tentang kehamilan Batari," ujarnya.Semalam Xabier telah menceritakan pada ibunya bahwa Batari mengandung anaknya. Tidak ada sambutan hangat terlontar dari bibir Andalaska."Seharusnya kamu menutupi fakta kehamilannya. Akan jadi bahan pertanyaan bahwa dia hamil sebelum menikah," sanggah ibunya pagi ini. "Nama baik kamu akan tercoreng," sambung ibunya lagi.Xabier menyeruput kopi pagi miliknya. Ia sedikit berbeda pendapat dengan ibunya. "Tapi, kehamilan itu akan terus membesar. Dia akan melahirkan tujuh bulan lagi. Tetap saja mereka akan mengusut kehamilan Batari," ucapnya setelah menaruh cangkir di meja."Nama baikku tetap saja dipertaruhkan," l
Batari membuka matanya, ia tidak sampai jatuh membentur aspal. Ada orang yang menangkap tubuhnya."Pak, kalau turun jangan dorong-dorong!" sembur pria itu. Suara dan parfum itu jelas Batari kenali."Maaf, saya buru-buru," sahut pria yang mendorong Batari, berlalu begitu saja.Sebagian orang yang mengenali Xabier menyapanya. Mereka berbisik-bisik mengenai ketampanannya. Batari langsung melepaskan pegangannya pada Xabier. Ia menegakkan tubuhnya lalu melangkah menuju ruang tunggu terminal bus yang akan ditumpanginya lagi.Beberapa orang perempuan meminta untuk berfoto bersama. Xabier sulit untuk pergi dari kerumunan. Matanya menyorot ke arah mana Batari bergerak."Sudah dulu ya foto-fotonya," ujarnya menolak halus perempuan yang getol ingin mengabadikan momen dadakan itu.Xabier berlari meninggalkan mereka, ia mengejar Batari. Pria itu berharap tidak ada orang yang mengenali wajahnya lagi.Lengan Batari berhasil digapai Xabier. Suasana lebih lengang dibandingkan tadi. Mereka berada di d
Sesekali Xabier melirik ke arah Batari sembari melihat kaca spion sebelah kiri. Setelah acara makan siang mereka, perempuan itu lebih banyak diam.Mual dan muntahnya juga berkurang. Rasa kantuk menyerang Batari, kepalanya kesana kemari terayun.Xabier menepuk punggung tangan Batari. Perempuan itu mendadak terbangun."Pakai bantal leher, ada di belakang," ujar Xabier menunjuk ke arah belakang.Mendengar itu Batari menurut, ia memiringkan tubuhnya menghadap ke belakang dengan susah payah."Turunkan saja bangkunya, jangan seperti itu." tegur pria itu sambil melayangkan tangannya menyilang di depan Batari.Batari sontak mendorong tangan Xabier hingga mengenai dasbor mobil. Akibatnya, mobil oleng di jalan yang lengang.Xabier mengambil ancang-ancang untuk menstabilkan kendaraannya. Ia segera menepi lalu membuka sabuk pengamannya."Apa yang kamu lakukan? Kita bisa celaka!" sembur Xabier."Ma... maaf... saya...,""Selalu membuat repot," hardiknya lagi.Batari hanya terdiam mendengar ucapan k
Ketukan pintu di rumah Batari membuat Xabier panik. Ingin rasanya pria itu membekap mulut Batari yang menangis sambil teriak. Namun, masalah tidak akan selesai dengan jalan kasar seperti itu.Xabier mengambil langkah menuju ke pintu utama. Ia membuka dan melihat ibu tadi yang pertama kali menyambut kedatangan Batari. Sayangnya, Xabier belum berkenalan.Senyuman canggung dilepas pria itu. "Malam Bu," ujarnya sembari menggaruk kepala belakangnya. "Maaf, tadi kita belum berkenalan," lanjutnya."Oh...," ibu itu menepuk keningnya. "Saya Ningsih," jawabnya."Itu kenapa Tari menangis-nangis? Kencang sekali. Tadi Ibu lewat sayup terdengar suara tangisan dari sini," jelas Ningsih."I... iya, Bu. Tolong Ibu bantu tenangkan Tari. Dia masih sedih karena ingat budenya sudah meninggal," jawab Xabier sebagai alasan.Ningsih mengangguk. "Saya boleh masuk buat temui Tari?" tanyanya.Pria itu begitu antusias menerima tawaran Ningsih. Dia memang tidak mampu menenangkan Batari, perempuan itu sangat alerg
Batari telah menunaikan ibadah subuhnya. Tadi malam, setelah ia masuk ke dalam kamar dan menghalangi pintu dengan lemari kayu, barulah ia bisa terlelap. Perempuan itu mendengar suara tepukan dari arah ruang tamu yang remang. Ia agak berhati-hati, sambil menggenggam sapu di tangan Batari berjalan perlahan. Ia mengintip dari balik dinding kayu, suara apa gerangan yang mencurigakan itu.Batari boleh merasa lega, ia melihat bahwa pelakunya adalah Xabier yang sedang berperang dengan nyamuk yang menggaduh tidurnya.Pria itu tidak terbangun, tepukan berpindah-pindah dilayangkannya. Batari tersenyum masam melihat Xabier yang sibuk mengatasi nyamuk. Nuraninya menegur agar memberi selimut pada pria itu, tetapi sisi yang lain memintanya membiarkan.Batari memilih berbalik ke dapur tanpa mempedulikan Xabier lagi. Ia menyalakan tungku api untuk memasak air hangat dan membuat sarapan.Aroma wangi masakan menggugah indera penciuman Xabier. Ia orang yang paham tentang masa