Agenda Xabier hari ini mengunjungi dua cabang restoran miliknya. Itu kegiatan rutin Xabier sekali sebulan, selain menjadi model parfum pria.
Jarak antara kedua restoran berkisar 20 km, masih berada dalam kota yang sama. Lalu lintas yang padat hanya memungkinkan untuk menyambangi dua restoran saja.Kunjungan ke cabang restoran pertama berjalan lancar. Meskipun restoran itu menghasilkan keuntungan paling kecil diantara cabang lain dan pusat, kinerja karyawannya memuaskan bagi Xabier.Pria itu tiba di cabang restorannya yang kedua. Sama seperti yang pertama, sambutan yang baik diterima dari para karyawan.Bertepatan dengan ramainya pengunjung restoran saat itu, Xabier merasa puas menyaksikan meja kosong hanya sedikit. Cabang restoran ini paling baik dalam menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan lainnya.Xabier berjalan menuju ruang yang khusus bagi dirinya bila mengunjungi setiap cabang restoran. "Apa semua berjalan lancar?" tanyanya pada Sekarita, kepala cabang restoran."Siap, Pak. Lancar," jawabnya.Beberapa pertanyaan lainnya diajukan oleh Xabier, Sekarita menjawab sesuai kondisi yang ada. Perempuan itu juga menyerahkan laporan keuangan restoran cabang selama satu bulan berjalan.Setelah pertanyaan selesai, Xabier memeriksa laporan yang diserahkan oleh Sekarita."Kamu boleh keluar," ucap Xabier.Sebenarnya Sekarita ingin menanyakan mengenai Batari, istri bosnya, apakah akan tetap bekerja sebagai karyawan front of house atau menempati posisi lain? Tidak ada instruksi dari bos membuatnya bingung."Kamu kenapa masih di sini?" tanya Xabier melihat Sekarita tidak beranjak dari posisinya.Sekarita gelagapan lalu memberanikan diri bersuara, "Mohon izin bertanya, Pak," ujarnya dengan nada pelan."Ya.""E... Batari... eh maksud saya Ibu Batari posisinya dipindah ke bagian apa, Pak?" lanjut Sekarita.Xabier bergeming, otaknya memproses pertanyaan kepala restoran cabangnya."Sekarang posisinya apa?" Xabier mengumpat dalam hati.Ia lupa posisi Batari, istrinya, ada di bagian apa. Dia hanya ingat kalau Batari dinobatkan sebagai karyawan restoran terbaik."E... front of house, Pak. Pelayan," jawab Sekarita malah tidak enak menyebutkan.Xabier mengangguk. "Ya sudah, biar berlanjut saja di bagian itu," jawabnya.Sekarita tercengang mendengar jawaban bosnya. Dia tidak menyangka kalau Batari akan tetap menempati posisi pelayan, meskipun ia telah menjadi istri bos."Ba... baik, Pak," sahut Sekarita memahami maksud Xabier. "Kalau begitu, saya permisi, Pak," pamit Sekarita tanpa menuntut penjelasan lagi.Saat Sekarita hampir tiba di pintu, Xabier memanggilnya. "Tunggu!"Sekarita membalik tubuh."Batari hari ini belum masuk. Kelelahan dengan pesta pernikahan kami semalam," ucap Xabier mencari alasan.Barang tentu, ia dianggap aneh dengan tetap memperbolehkan Batari menjadi pelayan. Pasti semakin aneh, bila istrinya langsung bekerja hari ini. Oleh karena itu, ia membuat sebuah alasan.Kening Sekarita mengernyit berlapis-lapis. "Ta... tapi, Pak. Ibu Batari hari ini sudah mulai bekerja, Pak," jelasnya, ibu jari Sekaritq bergerak ke arah pintu.Xabier tidak siap dengan berita yang baru saja terlontar dari Sekarita. Ia pun cukup malu untuk menarik kalimat kembali. "Oh, kalau begitu, panggilkan Ibu Batari kemari," ucapnya berlagak tenang.Sekarita mengangguk patuh, ia keluar ruangan mencari temannya itu. Saat Sekarita melihat Batari tengah melayani pengunjung restoran, ia menunggu sampai dengan selesai."Tari, kamu ditunggu pak bos di ruangannya," ucap Sekarita saat Batari ingin mengantarkan makanan yang lain."Tapi, aku harus mengantarkan ini," sahut Batari."Sudah, sini biar aku urus," ujar Sekarita mengambil nampan dari tangan temannya.Batari mengetuk pintu ruangan Xabier. "Masuk," sahut Xabier dari dalam."Bapak memanggil saya?" tanya Batari setelah memasuki ruangan.Xabier menoleh pada Batari yang lengkap mengenakan seragam dan atribut restorannya."Kamu ingin bikin malu aku!?" tanya Xabier menuduh disertai suara gertakan.Batari tersentak mendengarnya."Semua orang tahu kamu istriku, pernikahan belum 24 jam digelar. Apa kata karyawan lain melihat istri bos mereka langsung bekerja. Citraku jadi rusak gara-gara kamu!" ucapnya tanpa menimbang perasaan Batari.Batari heran mendengar ucapan Xabier. Ia ingat bahwa pria itu memperbolehkannya bekerja, tidak peduli akan apapun yang dilakukan oleh Batari."Bapak tidak perlu ambil hati perkataan teman-teman saya," ucap Batari menenangkan bos sekaligus suaminya itu."Kamu mudah mengatakannya, yang malu saya!" timpal Xabier dengan nada lebih tinggi.Batari terdiam menutup matanya. Ia lelah setiap kali bertemu pria ini harus mendapat intimidasi. Dia tidak pernah menginginkan perkawinan ini, sungguh!Rasa pening di kepalanya mendadak menyerang. Batari harus keluar dari ruangan ini kalau tidak ingin peningnya bertambah."Maaf, Pak. Jadi, ingin Bapak seperti apa?" tanyanya mengalah."Kamu pulang sekarang juga, jangan menunjukkan diri selama seminggu ke depan." Batari mengiyakan permintaan suaminya. Ia keluar dari ruangan setelah berpamitan.Tujuan Batari tidak lagi melayani pelanggan, ia masuk ke ruang ganti karyawan untuk mengenakan pakaian tadi saat datang bekerja.Sewaktu telah selesai berkemas, mendadak apa yang dilihat terasa berputar. Batari menyentuh pelipisnya, ia terlambat berpegangan mengakibatkan dirinya terjatuh.Dengan sigap seorang pria yang baru saja keluar dari kamar kecil menangkap tubuh Batari. Syukur saja, tubuh Batari tidak mengenai lantai yang keras.Pria itu sempat memeriksa denyut nadi dan pergerakan dada serta perut Batari, kemudian menggendong dan membawa ke arah karyawan lainnya."Mbak, perempuan ini pingsan. Apa bisa dibantu?" tanyanya dengan terburu-buru.Sesuai dengan standar operasional prosedur di restoran itu yang menyebut bahwa setiap orang yang mengalami ketidaksadaran dibawa ke ruangan khusus karyawan. Peristiwa itu cukup menyita perhatian karyawan lain, mereka berbisik-bisik satu dengan lainnya.Laporan pingsannya Batari sampai pada Sekarita. Ia memastikan ke ruangan kesehatan, benar saja Batari sedang terbaring ditemani oleh seorang pria."Belum bangun, sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Saya punya mobil," tawar pria itu."Tunggu... tunggu sebentar," ucap Sekarita buru-buru. Ia meninggalkan mereka, berlari cepat menuju ruangan Xabier.Sekarita mengetuk ruang kerja Xabier. "Masuk!" ucapnya dengan nada agak keras, dampak dari suasana hati yang kurang baik."Izin, Pak. Saya ingin memberitahu Ibu Batari pingsan, saat ini sedang di ruangan karyawan," lapor Sekarita.'Apa lagi ini?' batin Xabier.Ia melangkah keluar ruangan memastikan ucapan Sekarita. Xabier melihat Batari terbaring di bangku yang disusun rapat, tidak ada ranjang di sana. Kepalanya ditaruh di paha seorang pria yang tidak dikenal. Xabier menebak pengunjung restorannya."Perempuan ini pingsan, saya ingin membawanya ke rumah sakit," ulang pria berkemeja biru itu.Xabier menyetujui perkataan pria itu. Namun, tidak mungkin ia melepas istrinya bersama pria yang tidak dikenal. Bisa-bisa Batari tidak sampai ke rumah sakit. Ditambah lagi, apa kata karyawannya melihat pria lain malah lebih perhatian pada istrinya."Ya, biar saya yang bawa," kata Xabier berjalan menuju ke arah mereka."Maaf?""Saya suaminya." Xabier membopong tubuh Batari ke dalam kendaraan roda empatnya. Ia pun memerintah Sekarita untuk ikut.Batari dibaringkan di brangkar pasien di ruang unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Seorang perempuan dengan jas warna putih memeriksa keadaannya.Batari sudah sadarkan diri, tetapi dalam kondisi yang tidak prima. Ia hanya diam memandang ke sekeliling hingga bersirobok tatapannya dengan Xabier."Kamu di rumah sakit," jelas lelaki itu.Perawat di sampingnya membantu mengecek suhu tubuh dan tekanan darah."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Xabier."Ibu Batari tekanan darahnya rendah, menyebabkan ia tadi pingsan. Ini membutuhkan perawatan di rumah sakit agar dapat kita pantau," jelas dokter bernama Cresentia pada label nama yang menempel di dadanya.Dengan berat hati, Xabier menerima saran dari Cresentia. Batari pun tidak membantah. Kalau ia ngotot minta dirawat di rumah, akan merepotkan. Xabier pasti harus mencari tenaga yang akan membantu merawat dirinya."Kita akan memasukkan cairan infus. Ini sedikit sakit," ujar perawat.Batari meringis merasakan sakit jarum suntik di lengannya.
"Tidak." Jawaban pendek itu semakin membuat Batari kesal. Dadany kembang kempis menahan emosi."Bapak datang kemari hanya untuk membuat saya marah?" protes Batari. Ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ponsel itu. Terpaksalah ia menggunakan angkutan umum untuk sampai ke rumah yang disediakan Xabier untuknya.Batari menyandang tas ranselnya, melangkah keluar ruangan. Ditentengnya map berisi hasil laboratorium dan resume medis.Sebelum sampai ke pintu, Xabier lebih dulu menghalangi jalan Batari."Pulang sama saya!" perintah Xabier, maniknya menatap Batari."Tidak mau," kata Batari. "Saya bisa pulang sendiri. Tolong, beri saya jalan, Pak," sambungnya dengan sorotan tajam pada Xabier.Pria itu geram melihat Batari yang keras kepala. Sebelum ini, Xabier tahu kalau Batari orang yang lembut dan ramah, sehingga pengunjung restoran yang bersedia mengikuti survei kepuasan pelanggan memberi nilai baik pada pelayanannya."Jangan berlebihan. Aku memang mau menjemput kamu," kata Xabier menjelaskan ma
Semalam Xabier telah menghubungi karyawan di restoran pusat untuk mempersiapkan restorannya sebagai tempat konferensi pers.Satu hari ini, restoran itu tidak menerima tamu. Ia malah menjamu para pemburu berita untuk menikmati sajian gratis.Pria itu menikmati sarapan bersama ibu dan adiknya. "Nanti siang aku ada konferensi pers, memberitahukan tentang kehamilan Batari," ujarnya.Semalam Xabier telah menceritakan pada ibunya bahwa Batari mengandung anaknya. Tidak ada sambutan hangat terlontar dari bibir Andalaska."Seharusnya kamu menutupi fakta kehamilannya. Akan jadi bahan pertanyaan bahwa dia hamil sebelum menikah," sanggah ibunya pagi ini. "Nama baik kamu akan tercoreng," sambung ibunya lagi.Xabier menyeruput kopi pagi miliknya. Ia sedikit berbeda pendapat dengan ibunya. "Tapi, kehamilan itu akan terus membesar. Dia akan melahirkan tujuh bulan lagi. Tetap saja mereka akan mengusut kehamilan Batari," ucapnya setelah menaruh cangkir di meja."Nama baikku tetap saja dipertaruhkan," l
Batari membuka matanya, ia tidak sampai jatuh membentur aspal. Ada orang yang menangkap tubuhnya."Pak, kalau turun jangan dorong-dorong!" sembur pria itu. Suara dan parfum itu jelas Batari kenali."Maaf, saya buru-buru," sahut pria yang mendorong Batari, berlalu begitu saja.Sebagian orang yang mengenali Xabier menyapanya. Mereka berbisik-bisik mengenai ketampanannya. Batari langsung melepaskan pegangannya pada Xabier. Ia menegakkan tubuhnya lalu melangkah menuju ruang tunggu terminal bus yang akan ditumpanginya lagi.Beberapa orang perempuan meminta untuk berfoto bersama. Xabier sulit untuk pergi dari kerumunan. Matanya menyorot ke arah mana Batari bergerak."Sudah dulu ya foto-fotonya," ujarnya menolak halus perempuan yang getol ingin mengabadikan momen dadakan itu.Xabier berlari meninggalkan mereka, ia mengejar Batari. Pria itu berharap tidak ada orang yang mengenali wajahnya lagi.Lengan Batari berhasil digapai Xabier. Suasana lebih lengang dibandingkan tadi. Mereka berada di d
Sesekali Xabier melirik ke arah Batari sembari melihat kaca spion sebelah kiri. Setelah acara makan siang mereka, perempuan itu lebih banyak diam.Mual dan muntahnya juga berkurang. Rasa kantuk menyerang Batari, kepalanya kesana kemari terayun.Xabier menepuk punggung tangan Batari. Perempuan itu mendadak terbangun."Pakai bantal leher, ada di belakang," ujar Xabier menunjuk ke arah belakang.Mendengar itu Batari menurut, ia memiringkan tubuhnya menghadap ke belakang dengan susah payah."Turunkan saja bangkunya, jangan seperti itu." tegur pria itu sambil melayangkan tangannya menyilang di depan Batari.Batari sontak mendorong tangan Xabier hingga mengenai dasbor mobil. Akibatnya, mobil oleng di jalan yang lengang.Xabier mengambil ancang-ancang untuk menstabilkan kendaraannya. Ia segera menepi lalu membuka sabuk pengamannya."Apa yang kamu lakukan? Kita bisa celaka!" sembur Xabier."Ma... maaf... saya...,""Selalu membuat repot," hardiknya lagi.Batari hanya terdiam mendengar ucapan k
Ketukan pintu di rumah Batari membuat Xabier panik. Ingin rasanya pria itu membekap mulut Batari yang menangis sambil teriak. Namun, masalah tidak akan selesai dengan jalan kasar seperti itu.Xabier mengambil langkah menuju ke pintu utama. Ia membuka dan melihat ibu tadi yang pertama kali menyambut kedatangan Batari. Sayangnya, Xabier belum berkenalan.Senyuman canggung dilepas pria itu. "Malam Bu," ujarnya sembari menggaruk kepala belakangnya. "Maaf, tadi kita belum berkenalan," lanjutnya."Oh...," ibu itu menepuk keningnya. "Saya Ningsih," jawabnya."Itu kenapa Tari menangis-nangis? Kencang sekali. Tadi Ibu lewat sayup terdengar suara tangisan dari sini," jelas Ningsih."I... iya, Bu. Tolong Ibu bantu tenangkan Tari. Dia masih sedih karena ingat budenya sudah meninggal," jawab Xabier sebagai alasan.Ningsih mengangguk. "Saya boleh masuk buat temui Tari?" tanyanya.Pria itu begitu antusias menerima tawaran Ningsih. Dia memang tidak mampu menenangkan Batari, perempuan itu sangat alerg
Batari telah menunaikan ibadah subuhnya. Tadi malam, setelah ia masuk ke dalam kamar dan menghalangi pintu dengan lemari kayu, barulah ia bisa terlelap. Perempuan itu mendengar suara tepukan dari arah ruang tamu yang remang. Ia agak berhati-hati, sambil menggenggam sapu di tangan Batari berjalan perlahan. Ia mengintip dari balik dinding kayu, suara apa gerangan yang mencurigakan itu.Batari boleh merasa lega, ia melihat bahwa pelakunya adalah Xabier yang sedang berperang dengan nyamuk yang menggaduh tidurnya.Pria itu tidak terbangun, tepukan berpindah-pindah dilayangkannya. Batari tersenyum masam melihat Xabier yang sibuk mengatasi nyamuk. Nuraninya menegur agar memberi selimut pada pria itu, tetapi sisi yang lain memintanya membiarkan.Batari memilih berbalik ke dapur tanpa mempedulikan Xabier lagi. Ia menyalakan tungku api untuk memasak air hangat dan membuat sarapan.Aroma wangi masakan menggugah indera penciuman Xabier. Ia orang yang paham tentang masa
Batari tersentak begitu namanya dipanggil. Ia menoleh ke belakang, didengarnya Wisang mencarinya. Namanya dipanggil beberapa kali. Gegas Batari membersihkan bibirnya dan menaruh mangkuk serta gelas ke dalam ember. Perempuan itu keluar dari dapur. Wisang telah berada di ruang tamu, berdiri sambil menjinjing sebuah tas."Ya..., eh... Ma... Mas Wisang mencari Tari?" tanyanya gugup. Pria itu memandang Tari dengan seksama. Perempuan pujaan hati Wisang memilih pria lain yang jauh lebih mapan dari dirinya."Mas antar makanan dari Ibu. Ibu tidak bisa ke sini, diminta Ayah menemani ke kebun," ujarnya sembari menjulurkan tas berisi makanan."Makasih ya, Mas." Batari menundukkan sedikit tubuhnya lalu menerima bungkusan dari Wisang.Pria desa itu melihat keadaan sepi. "Kemana suamimu?" tanya Wisang menyapu pandangan ke seluruh ruangan."Em... e...." Batari bingung menjawab. Suaminya tidak berpamitan tadi. "Mungkin ke sungai, Mas," jawabnya