Semalam Xabier telah menghubungi karyawan di restoran pusat untuk mempersiapkan restorannya sebagai tempat konferensi pers.
Satu hari ini, restoran itu tidak menerima tamu. Ia malah menjamu para pemburu berita untuk menikmati sajian gratis.
Pria itu menikmati sarapan bersama ibu dan adiknya. "Nanti siang aku ada konferensi pers, memberitahukan tentang kehamilan Batari," ujarnya.
Semalam Xabier telah menceritakan pada ibunya bahwa Batari mengandung anaknya. Tidak ada sambutan hangat terlontar dari bibir Andalaska.
"Seharusnya kamu menutupi fakta kehamilannya. Akan jadi bahan pertanyaan bahwa dia hamil sebelum menikah," sanggah ibunya pagi ini. "Nama baik kamu akan tercoreng," sambung ibunya lagi.
Xabier menyeruput kopi pagi miliknya. Ia sedikit berbeda pendapat dengan ibunya. "Tapi, kehamilan itu akan terus membesar. Dia akan melahirkan tujuh bulan lagi. Tetap saja mereka akan mengusut kehamilan Batari," ucapnya setelah menaruh cangkir di meja.
"Nama baikku tetap saja dipertaruhkan," lanjutnya.
Adik perempuan Xabier, Evana Xinda Santos, menyimak percakapan antara ibu dan kakaknya. Ia mengetahui dasar pernikahan kakaknya bukan karena cinta. Dirinya tahu kalau Xabier tidak lagi percaya cinta, melainkan melakukannya demi keuntungan diri sendiri.
"Aku telah selesai," ucapnya. Ia muak dengan perbincangan itu seakan-akan perempuan yang dinikahi kakaknya itu tidak berarti sama sekali.
Ia juga perempuan, membayangkan menerima perlakuan seperti itu dari seorang pria tentu saja Xinda akan melawan. Entah dimana istri kakaknya itu ditempatkan, Xinda tidak tahu-menahu.
"Bagaimana perkuliahan kamu?" tanya Xabier begitu menyadari bukan hanya ia dan Andalaska yang ada di meja makan.
"Biasa, Kak," jawabnya pendek. Xabier menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu masih berhubungan dengan mahasiswa pekerja paruh waktu itu?" tanyanya lagi.
"Untuk apa kakak mengurusinya?" Xinda tidak senang dengan pertanyaan kakaknya.
"Kamu harus mencari pria yang baik dan mapan agar masa depanmu tidak suram. Belum lagi, dia tidak punya pekerjaan yang tetap," jelas Xabier.
Xinda mendesah berat, bibirnya menipis, suasana hatinya tidak senang mendengar perkataan kakaknya.
"Bukan tidak punya, hanya belum. Semua ada waktunya, Kak," sanggah Xinda.
"Kakakmu mengingatkan yang baik, Xinda," timpal Andalaska.
Xinda berdecak keras lalu berdiri. "Kenapa Mama dan Kak Xabier mengukur orang itu baik atau bukan dari pekerjaannya?" protesnya. "Apa kakak tidak mampu menilai yang kakak lakukan terhadap istri kakak, sebuah tindakan tidak baik karena merendahkan manusia!?" pekiknya dengan nafas menderu.
"Jangan mengurusi --,"
"Diam!" teriak Xabier turut berdiri dengan kilat amarah pada adik perempuannya.
"Kamu masih 22 tahun, tahu apa kamu tentang kakak!?" hardik Xabier.
Xinda sebenarnya terkejut sendiri dengan isi ucapannya yang berani mengomentari hidup kakaknya. Namun, sudah maju pantang ia mundur.
"Kakak kecewa akan cinta, melihat papa dan mama bertengkar hampir setiap hari, mereka bercerai, dan bersamaan kakak juga putus cinta," sembur Xinda. "Tapi, membuat perempuan lain terluka... yang tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalu kakak. Itu sangat... sangat buruk. Aku berharap tidak akan pernah berurusan dengan pria seperti kakak," tunjuknya pada Xabier dengan berani.
Dikuasai oleh amarah, Xabier melayangkan tangannya ke pipi adik kesayangannya itu. Andalaska sampai menjerit, berdiri dari bangkunya.
Xinda menangis. Ia tidak melawan lagi.
Belum pernah Xabier bertindak sejauh ini pada adiknya. Perkataan Xinda seperti memantik api kecil dengan semburan bahan bakar. Emosinya tersambar api hingga meledak.
Xinda memandang kakaknya dengan kilat kesedihan dan kekecewaan mendalam.
Perempuan itu pergi dari hadapan ibu dan kakaknya.
Jerit dan panggilan dari Andalaska diabaikannya begitu saja. Ia pergi keluar dari rumahnya.
Relasi keluarga Xabier mulai rusak semenjak perceraian papa dan mama mereka beberapa tahun lalu.
Xabier mengepalkan tangannya yang memanas. Antara rasa sesal dan marah mengumpul di dadanya.
Semua perempuan sungguh membuat kesusahan, batinnya.
Andalaska berjalan mendekati putranya, ia mengusap lengan Xabier yang digunakan tadi pada adiknya.
"Bersabarlah menghadapi adikmu, tidak bisa dengan amarah," saran Andalaska. "Ia masih begitu muda, sudut pandangmu belum mampu dicapainya."
Xabier bisa sedikit lebih tenang mendengar ucapan ibunya. "Pergilah, lakukan mana yang terbaik untukmu," pesan Andalaska.
Xabier menghadap ke arah ibunya. "Terima kasih, Mama," ujarnya.
Pria itu tidak langsung melaju ke restoran pusat miliknya. Ia menghubungi Batari, rencananya ia ingin menjemput perempuan itu untuk melakukan konferensi pers bersama.
Ponselnya tidak terhubung. Ia yakin bahwa Batari tidak akan pergi ke restoran cabang setelah perempuan itu diperintahnya untuk tinggal di rumah saja.
Tidak membuang waktu lama, Xabier melaju ke perbatasan kota tempat tinggal Batari. Butuh waktu lebih cepat karena ia berada di arus lalu lintas yang lengang.
Saat akan masuk ke kawasan tempat tinggal Batari, dari kejauhan pria itu melihat Batari naik angkutan umum, memakai masker dan topi sambil menyandang tas ransel dan menenteng tas lainnya.
"Mau kemana dia?" gumam Xabier.
Ia mengikuti angkutan umum itu. Batari tidak turun di sepanjang jalan hingga sampai ke terminal bus.
Xabier menebak bahwa perempuan itu berencana melarikan diri darinya. Ia mengumpat dan memukul keras kemudi, saat tahu isi rencana istrinya itu.
Dia mencari lokasi parkir dengan sebelumnya menandai angkutan yang dinaiki Batari. Setelah parkir, pria itu melangkah cepat menuju kendaraan di lokasi pemberhentian terakhir bus.
Dekat tengah bus, ia menunggui Batari turun. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, memastikan Batari keluar dari pintu depan atau belakang.
Saat Batari turun, dalam kondisi bersesakan seseorang tidak sengaja mendorongnya. Tasnya terjatuh duluan. Perempuan itu hilang keseimbangan, pegangannya di pintu terlepas.
Kakinya terlompat ke arah aspal. Kejadian buruk menghampiri Batari, ia menutup matanya tidak kuasa menerima duka lagi.
Batari membuka matanya, ia tidak sampai jatuh membentur aspal. Ada orang yang menangkap tubuhnya."Pak, kalau turun jangan dorong-dorong!" sembur pria itu. Suara dan parfum itu jelas Batari kenali."Maaf, saya buru-buru," sahut pria yang mendorong Batari, berlalu begitu saja.Sebagian orang yang mengenali Xabier menyapanya. Mereka berbisik-bisik mengenai ketampanannya. Batari langsung melepaskan pegangannya pada Xabier. Ia menegakkan tubuhnya lalu melangkah menuju ruang tunggu terminal bus yang akan ditumpanginya lagi.Beberapa orang perempuan meminta untuk berfoto bersama. Xabier sulit untuk pergi dari kerumunan. Matanya menyorot ke arah mana Batari bergerak."Sudah dulu ya foto-fotonya," ujarnya menolak halus perempuan yang getol ingin mengabadikan momen dadakan itu.Xabier berlari meninggalkan mereka, ia mengejar Batari. Pria itu berharap tidak ada orang yang mengenali wajahnya lagi.Lengan Batari berhasil digapai Xabier. Suasana lebih lengang dibandingkan tadi. Mereka berada di d
Sesekali Xabier melirik ke arah Batari sembari melihat kaca spion sebelah kiri. Setelah acara makan siang mereka, perempuan itu lebih banyak diam.Mual dan muntahnya juga berkurang. Rasa kantuk menyerang Batari, kepalanya kesana kemari terayun.Xabier menepuk punggung tangan Batari. Perempuan itu mendadak terbangun."Pakai bantal leher, ada di belakang," ujar Xabier menunjuk ke arah belakang.Mendengar itu Batari menurut, ia memiringkan tubuhnya menghadap ke belakang dengan susah payah."Turunkan saja bangkunya, jangan seperti itu." tegur pria itu sambil melayangkan tangannya menyilang di depan Batari.Batari sontak mendorong tangan Xabier hingga mengenai dasbor mobil. Akibatnya, mobil oleng di jalan yang lengang.Xabier mengambil ancang-ancang untuk menstabilkan kendaraannya. Ia segera menepi lalu membuka sabuk pengamannya."Apa yang kamu lakukan? Kita bisa celaka!" sembur Xabier."Ma... maaf... saya...,""Selalu membuat repot," hardiknya lagi.Batari hanya terdiam mendengar ucapan k
Ketukan pintu di rumah Batari membuat Xabier panik. Ingin rasanya pria itu membekap mulut Batari yang menangis sambil teriak. Namun, masalah tidak akan selesai dengan jalan kasar seperti itu.Xabier mengambil langkah menuju ke pintu utama. Ia membuka dan melihat ibu tadi yang pertama kali menyambut kedatangan Batari. Sayangnya, Xabier belum berkenalan.Senyuman canggung dilepas pria itu. "Malam Bu," ujarnya sembari menggaruk kepala belakangnya. "Maaf, tadi kita belum berkenalan," lanjutnya."Oh...," ibu itu menepuk keningnya. "Saya Ningsih," jawabnya."Itu kenapa Tari menangis-nangis? Kencang sekali. Tadi Ibu lewat sayup terdengar suara tangisan dari sini," jelas Ningsih."I... iya, Bu. Tolong Ibu bantu tenangkan Tari. Dia masih sedih karena ingat budenya sudah meninggal," jawab Xabier sebagai alasan.Ningsih mengangguk. "Saya boleh masuk buat temui Tari?" tanyanya.Pria itu begitu antusias menerima tawaran Ningsih. Dia memang tidak mampu menenangkan Batari, perempuan itu sangat alerg
Batari telah menunaikan ibadah subuhnya. Tadi malam, setelah ia masuk ke dalam kamar dan menghalangi pintu dengan lemari kayu, barulah ia bisa terlelap. Perempuan itu mendengar suara tepukan dari arah ruang tamu yang remang. Ia agak berhati-hati, sambil menggenggam sapu di tangan Batari berjalan perlahan. Ia mengintip dari balik dinding kayu, suara apa gerangan yang mencurigakan itu.Batari boleh merasa lega, ia melihat bahwa pelakunya adalah Xabier yang sedang berperang dengan nyamuk yang menggaduh tidurnya.Pria itu tidak terbangun, tepukan berpindah-pindah dilayangkannya. Batari tersenyum masam melihat Xabier yang sibuk mengatasi nyamuk. Nuraninya menegur agar memberi selimut pada pria itu, tetapi sisi yang lain memintanya membiarkan.Batari memilih berbalik ke dapur tanpa mempedulikan Xabier lagi. Ia menyalakan tungku api untuk memasak air hangat dan membuat sarapan.Aroma wangi masakan menggugah indera penciuman Xabier. Ia orang yang paham tentang masa
Batari tersentak begitu namanya dipanggil. Ia menoleh ke belakang, didengarnya Wisang mencarinya. Namanya dipanggil beberapa kali. Gegas Batari membersihkan bibirnya dan menaruh mangkuk serta gelas ke dalam ember. Perempuan itu keluar dari dapur. Wisang telah berada di ruang tamu, berdiri sambil menjinjing sebuah tas."Ya..., eh... Ma... Mas Wisang mencari Tari?" tanyanya gugup. Pria itu memandang Tari dengan seksama. Perempuan pujaan hati Wisang memilih pria lain yang jauh lebih mapan dari dirinya."Mas antar makanan dari Ibu. Ibu tidak bisa ke sini, diminta Ayah menemani ke kebun," ujarnya sembari menjulurkan tas berisi makanan."Makasih ya, Mas." Batari menundukkan sedikit tubuhnya lalu menerima bungkusan dari Wisang.Pria desa itu melihat keadaan sepi. "Kemana suamimu?" tanya Wisang menyapu pandangan ke seluruh ruangan."Em... e...." Batari bingung menjawab. Suaminya tidak berpamitan tadi. "Mungkin ke sungai, Mas," jawabnya
Para pemburu berita tetap dijamu tepat di hari Xabier pergi bersama Batari ke Desa Adiluhur. Karyawannya memberitahukan kedukaan yang dialami oleh mereka sehingga konferensi pers akan dijadwalkan ulang.Pagi ini, Andalaska mengunjungi restoran pusat milik putranya untuk mencari informasi mengenai Xabier. Sayangnya, ia tidak mendapat apa-apa karena Domarita, sekretaris Xabier, minim informasi."Domarita juga tidak tahu Xabier akan sampai kapan di desa itu," decaknya kesal. Andalaska baru saja kembali dari ruangan Domarita.Serafina turut mendongkol karena pemotretan untuk besok diprediksi gagal. Meskipun demikian, dalam perjanjian kerja dengan Xabier disebutkan bahwa jadwal yang gagal bisa diulang kembali di waktu yang disepakati bersama."Apa Xabier sudah punya perasaan khusus pada perempuan itu, Tante? Sampai mau menemani ke sana?" tanya Serafina curiga. Mereka saat ini duduk di salah satu ruangan privat restoran milik Xabier untuk sarapan bersam
Batari terbangun dengan pening yang mendera. Ia berusaha menegakkan tubuhnya dengan sisa kekuatannya. Baru setengah bangkit, perempuan itu memuntahkan isi perutnya hingga mengenai baju dan rok panjangnya.Ia menggeser tubuhnya ke belakang agar dapat menyender di kepala dipan. Lelah benar dirasakannya hanya sekedar untuk muntah. Menarik nafas panjang, Batari berusaha untuk turun dari dipan.Dia berniat ke lemari mengambil pakaian ganti sebab yang dikenakan telah basah, menguar aroma kurang menyegarkan. Belum lagi kedua kakinya menyentuh lantai, suara seseorang menyela dengan kencang."Jangan turun!" Teriakan itu mendenging di teling Batari. Ia naikkan kakinya kembali dan merebahkan tubuhnya."Saya mau ganti pakaian, Pak." Ia menjelaskan maksudnya."Sebentar lagi Ibu Ningsih akan ke sini," ujarnya saat masuk ke kamar. "Kamu bau sekali!" nilai Xabier sembari menutup hidungnya begitu melihat muntahan di pakaian istrinya."Ya, Bapak keluar saja." Batari masih
Xabier mengamati ponselnya. Semenjak dia menginjakkan kaki di Desa Adiluhur, belum satupun orang yang dihubungi. Bagaimana tidak? Sinyal komunikasi belum masuk ke desa terpencil ini. Ini hari ketiga bagi Xabier. Jadwal pemotretannya terlewat begitu saja. Demikian pula dengan kunjungan ke cabang restoran lainnya, tidak bisa terlaksana. Xabier berjalan mondar-mandir di teras rumah, memikirkan apakah ia tinggalkan saja Batari di desa ini. Pemburu berita toh tidak akan sampai ke desa ini mengingat korbanan yang harus dikeluarkan begitu besar. Saat Xabier memutuskan akan melepaskan Batari, mendadak memori lama perceraian orang tua mendesak pikirannya. Menguat rasa benci pada ayahnya yang telah meninggalkan ibu, adik, dan dirinya sendiri. Muncul ingatan akan perlakuan sewenang-wenang ayahnya, berujung pada pengajuan surat perceraian dari ibunya. Xabier masih menyimpan kenangan pahit itu. Pertengakaran ayah dan ibunya setiap hari tidak terelakkan. Xabier bahkan pernah meninggalkan rumah