Share

008

Sesekali Xabier melirik ke arah Batari sembari melihat kaca spion sebelah kiri. Setelah acara makan siang mereka, perempuan itu lebih banyak diam.

Mual dan muntahnya juga berkurang. Rasa kantuk menyerang Batari, kepalanya kesana kemari terayun.

Xabier menepuk punggung tangan Batari. Perempuan itu mendadak terbangun.

"Pakai bantal leher, ada di belakang," ujar Xabier menunjuk ke arah belakang.

Mendengar itu Batari menurut, ia memiringkan tubuhnya menghadap ke belakang dengan susah payah.

"Turunkan saja bangkunya, jangan seperti itu." tegur pria itu sambil melayangkan tangannya menyilang di depan Batari.

Batari sontak mendorong tangan Xabier hingga mengenai dasbor mobil. Akibatnya, mobil oleng di jalan yang lengang.

Xabier mengambil ancang-ancang untuk menstabilkan kendaraannya. Ia segera menepi lalu membuka sabuk pengamannya.

"Apa yang kamu lakukan? Kita bisa celaka!" sembur Xabier.

"Ma... maaf... saya...,"

"Selalu membuat repot," hardiknya lagi.

Batari hanya terdiam mendengar ucapan keras Xabier tadi. Perempuan itu tidak suka disentuh oleh Xabier. Ingatan akan kekerasan seksual yang ia alami, begitu cepat membuat sinyal waspadanya aktif.

"Saya... tidak suka disentuh Bapak," ujarnya berani setelah diam beberapa waktu.

Xabier menoleh, ditatapnya perempuan yang kini jadi istrinya itu dari bagian samping. Batari menyampaikannya tanpa bersedia melihat teman bicaranya. Ia hanya menunduk.

Perempuan ini terlihat lemah, tetapi berani, nilai Xabier.

Ia tidak menanggapi perkataan Batari, cukup dalam hatinya saja merespon permintaan itu.

Kendaraan mewah milik Xabier memasuki perkampungan yang masih didominasi areal persawahan. Mereka harus parkir sedikit jaih dari lokasi rumah Batari sebab jalan setapak yang akan dilalui.

"Tas kamu biar saya saja yang --."

Belum Xabier selesai berbicara, Batari telah lebih dulu membuka pintu dan keluar. Ia melangkah dengan tergesa menuju ke arah rumahnya.

Xabier menyeimbangkan langkah sembari memanggil barang-barang milik Batari.

"Hei, kamu jangan berlari. Kamu itu lagi hamil," ujar Xabier dengan tatapan kesal pada istrinya. Pria itu tidak mau saja terjadi insiden lagi, rumah sakit sangat jauh dari Desa Adiluhur.

Batari tersadar seketika, ia memperlambat langkahnya. Hari sudah sore, tetapi matahari masih cukup menerangi jalan menuju rumah Batari.

Sesampainya di halaman rumah, Batari melangkah perlahan. Ia bisa melihat para tegangganya yang perempuan masih berada di dalam rumah.

"Bude...," lirih Batari memanggil Suyati. Beberapa perempuan melihat kedatangan Batari yang langsung terisak. Seseorang gegas menghampiri dan memeluk Batari saat perempuan itu tiba di depan pintu.

Ia dipapah masuk ke rumah. Batari merasa tubuhnya lunglai begitu menginjak rumah masa kecilnya itu.

"Budemu sudah dimakamkan, Nduk," ujar seorang perempuan paruh baya yang merangkul Batari. Ia mengelus pundaknya yang menangis tersedu-sedu.

"Bude... mengapa tinggalkan Tari secepat ini? Tari akan tinggal sama siapa, Bude?" tangisnya lagi.

Xabier hanya menatap dari pintu percakapan Batari dengan perempuan lain yang dirinya sendiri tidak kenal.

Ia berempati pada apa yang dialami Batari.

Sebatang kara bukanlah hal yang mudah. Namun, bukankah dirinya adalah suami Batari? benaknya. Perempuan itu tidak sendiri.

"Yang kuat ya, Nduk. Kamu sekarang sudah punya suami juga, tidak tinggal sendiri lagi," ujar perempuan paruh baya itu lagi.

Batari masih saja menangis. Ia belum bisa diajak ke makam untuk ziarah. Hatinya masih begitu sedih.

"Nak Xabier... tolong dibawa Tari ke dalam kamar. Istirahat dulu sudah jelang malam. Ke makam besok saja," tambah ibu itu.

Xabier menegang, bagaimana ia bisa menyentuh Batari dengan memapah atau membopong perempuan yang jelas-jelas menolaknya tadi di jalan hanya untuk memasang sabuk pengaman.

Pria itu tergagap dan bingung merespon. Ia menaruh perlahan tas Batari di dekat dinding ruang tamu. Ia berjalan perlahan, ia khawatir kalau Batari akan menjerit seperti tadi. Pasti ia akan sangat dipermalukan oleh perempuan itu.

"Bu, tolong antarkan Tari ke kamar. Pak Xabier juga lelah menyetir di perjalanan panjang," ujarnya tatkala tangan Xabier terulur di udara.

Mendadak Xabier mengangguk dan mengatupkan kedua tangannya seolah-olah bermohon untuk dibantu.

Perempuan itu ditolong juga oleh seseorang lainnya yang masuk membawa barang-barang ke dalam kamar. Xabier hanya berdiam sambil berdiri, bingung mau kemana.

Ia melangkah keluar untuk menghirup udara sore di Desa Adiluhur yang nyaman.

"Nak Xabier, Tari sudah lebih tenang. Kami pamit dulu. Besok kami datang lagi membawa sarapan. Besok Nak Xabier dan Tari bisa ziarah," ucap ibu itu.

Xabier mengangguk dan kembali mengatupkan tangannya di depan dada. Warga desa sangatlah sopan, kecuali Batari yang senang melawannya.

"Terima kasih Ibu-ibu untuk perhatian pada keluarga saya," ucap Xabier tulus dari hatinya sembari tersenyum.

Xabier masuk ke dalam rumah. Ia menutup pintu depan karena melihat nyamuk berseliweran dari luar ke dalam.

Memandang kesekeliling, ia menatap ornamen khas zaman dulu yang masih dipakai warga desa ini.

Pria itu ingin menuntaskan hasrat buang air kecil sedari tadi. Ia masuk semakin ke dalam sampai mendapati kamar kecil yang apa adanya.

Ditutupi tirai, tetapi airnya sangat jernih ditambah bebatuan alami. Ia terpaksa menunduk untuk masuk. Tubuh lebih tinggi dari bilik kecil itu.

Kepalanya terjeduk, masih kurang menunduk.

Akan seperti apa buang air disini? Sambil menunduk atau duduk? Xabier mengumpati kondisi kemiskinan Batari yang menyusahkan diriya.

Saat ia sedang asyik buang air kecil dengan posisi tunduk dan menekuk lututnya, seseorang menyibak tirai.

Jeritan kencang terdengar di sore menjelang malam dari rumah Batari. Perempuan itu gegas meninggalkan kamar kecil berlari ke rumah. Mungkin saja jeritan itu tidak terdengar dari tetangga yang jarak rumahnya agak berjauhan.

Ia menangis tersedu di kamarnya. Tiba-tiba bayangan Xabier memaksanya pada malam penganugerahan karyawan terbaik kembali melayang di pikirannya. Bayangan itu menyerang otaknya hingga menimbulkan rasa takut berlebihan.

"Batari... Batari....," panggil Xabier sembari mengetuk pintu kayu kamar.

Batari menggeleng-geleng, menekuk kakinya, dan memeluk ke sudut ranjang.

Pintu yang tidak ada kuncinya itu terbuka, menjulang sosok Xabier di hadapan Batari. Perempuan itu menangis kembali sambil menjerit-jerit.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
jess
batari lebay
goodnovel comment avatar
Asep Sutrisno
mantaap...saya sampe penasaran bacanya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status