Share

Istri Sempurna Bos Perfeksionis
Istri Sempurna Bos Perfeksionis
Penulis: Yudith Valley

Surat Wasiat Grandma's

Pintu terbuka lebar, dua pelayan mengenakan seragam atasan berupa kemeja putih dipadukan bawahan rok span hitam bawah lutut mempersilakan seorang pria tampan berperawakan tinggi dengan iris mata berwarna biru keabu-abuan memasuki ruangan keluarga.Keduanya menyambut dengan menundukkan kepala hikmat.

“Selamat datang, Tuan.“

Pria itu hanya menoleh tanpa bersuara.

Kedatangan pria yang akrab dipanggil Daniel mengalihkan perhatian semua anggota keluarga yang telah hadir lebih dulu. Hari ini merupakan puncak acara peringatan mendiang Airin Morgand yang ke seratus hari.

Nenek Daniel merupakan pemilik seluruh kekayaan keluarga Morgand setelah mendiang suaminya mewariskan seluruh harta itu padanya. Sesuai dengan wasiat Airin yang tercantum di dalam surat saat dibuat, hari ini akan diumumkan pembagian harta warisan. Salah satu harta kepemilikan yang akan diwariskan kepada anak cucu adalah kepemilikan saham di perusahaan manufaktur. Bisnis terbesar yang didirikan langsung oleh kakek buyut Daniel dan terus berlanjut hingga sekarang. Daniel menduduki jabatan sebagai CEO dengan membawahi kepemilikan saham atas nama nenek Airin dan ayah kandungnya yang telah lebih dulu meninggal dengan total mencapai enam puluh persen, Jonny Morgand.

Anggota keluarga Morgand yang sudah hadir terlihat sangat tegang sekaligus antusias. Tampak yang hadir di sana Vero, Lia, Jonan, juga Debby, ibu Daniel sebagai menantu di keluarga Morgand. Mereka bertiga merupakan anak dari Airin Morgand. Tampak empat sepupu yang semua perempuan juga hadir memberikan senyuman saat menyapa Daniel sebagai satu-satunya cucu pria di dalam keluarga itu.

“Seperti biasa, kau selalu datang terlambat,” tegur Vero sang bibi saat Daniel melangkah mencari tempat duduk.

“Aku sibuk, Bibi. Mengertilah,” jawab Daniel lembut sembari menipiskan bibir.

“Baiklah, karena anggota keluarga sudah hadir, maka saya akan membuka segel surat wasiat yang telah nyonya Airin Morgand tanda tangani setahun lalu sebelum beliau meninggal.“

“Oh, ibuku.” Lia, anak kedua dari nenek Morgand menyeka air matanya dengan tisu.

“Aku tidak menyangka ibu meninggalkan kita sudah seratus hari,” raung Vero ikut menangis.

Debby sebagai menantu Airin hanya bisa mendengkus lirih, baginya anggota keluarganya tidak ada sama sekali yang tulus. Apalagi menyangkut kekuasaan, kekayaan, sudah jelas dalam hati mereka semua harap-harap cemas. Debby merasa bahwa harapannya hanya tinggal Daniel, mertuanya pasti meninggalkan warisan terbanyak kepada putranya itu karena merupakan cucu paling disayangi perempuan itu, peninggalan satu-satunya dari putranya Johny—anak tertua dari Airin Morgand—yang telah meninggal empat tahun yang lalu akibat serangan jantung.

“Mohon, tenang! Saya akan mulai membuka segel map dan membacakan di hadapan semua. Apa yang tertera, terdapat di dalam surat wasiat ini sah. Mendapat perlindungan hukum dan tidak bisa diganggu gugat apa pun isinya nanti karena ditulis oleh nyonya Airin Morgand dalam keadaan sehat dan sadar,” tegas panjang lebar sang pengacara yang merupakan tangan kanan Airin selama ini, memberikan penjelasan.

“Kami siap mendengarkan,” jawab Debby dengan suara lirih.

Daniel melirik sekilas ke arah sang ibu. Tanpa ada lagi sang ayah, dia yakin bahwa posisi ibunya tidak akan mendapat tempat di keluarga Morgand.

“Tertanggal 01 Agustus 2022, atas nama Airin Morgand.

Pada saat kalian mendengarkan wasiat ini dibacakan, tepat pula peringatan kematianku yang ke 100 hari. Aku harap kalian semua, anakku, menantu, dan cucuku masih mengingat sosokku. Saling menjaga kebersamaan dan kelangsungan nama keluarga dengan banyaknya keturunan nantinya yang akan lahir dengan nama belakang Morgand.

Hal pertama kali yang ingin aku sampaikan adalah harapan bahwa kalian dapat saling menyayangi meskipun aku sudah tidak ada.

Sudah aku pikirkan secara terperinci apa yang menjadi harapanku atas seluruh kekayaan yang telah ayah, mertua, kakek wariskan untuk kalian dan aku berharap agar bisa dimanfaatkan, dikembangkan dengan baik, profesional, dan bertanggung jawab nantinya.”

Daniel terus saja memainkan ponsel saat pengacara terus membacakan isi pesan neneknya hingga runutan daftar nama penerima warisan tidak masuk ke dalam indera pendengarannya. Ia sudah bekerja keras sejak masih muda hingga kini berusia tiga puluh lima tahun, memiliki aset saham di bidang pertambangan emas hingga dia tidak harus ambil pusing dalam memikirkan warisan dari sang nenek yang merupakan bagian untuk ayahnya.

Sampai pada saat semua orang menatap ke arahnya secara serempak, barulah pria berpenampilan sempurna itu mengalihkan perhatian dari layar ponsel yang memberikan informasi mengenai pergerakan pasar saham ke arah semua anggota keluarganya satu per satu.

“What?” tanyanya bingung, keningnya mengernyit dengan satu alis tebalnya terangkat.

“Tuan Daniel Kavi Morgand, semua anggota keluarga baru bisa mengalihkan semua aset warisan ke atas nama masing-masing, hanya setelah Anda menikah, kemudian mengalihkan aset atas nama ayah dan nenek Anda ke atas nama Anda sendiri setelahnya,” ulang sang pengacara saat menyadari bahwa pemilik nama Daniel itu tidak menyimak saat pembacaan surat wasiat di tangannya berlangsung.

“Ap-apa maksudnya? Saya tidak salah dengar, ‘kan? Kenapa saya harus menikah dulu. Hubungannya apa dengan pembacaan warisan?” protesnya tercengang.

Dia rentangkan kedua tangannya ke udara, merasa surat wasiat yang dibacakan itu tidak masuk akal karena memojokkan dirinya karena sampai kini menjadi satu-satunya cucu dari keluarga Morgand yang belum menikah; tiga sepupunya sudah menikah semua.

“Kamu harus cepat menikah, Daniel. Aku rasa nenek tahu kamu tidak akan menikah sebelum dipaksa nenek dengan surat wasiatnya,” ledek pamannya, Jonan sambil terkekeh.

“Tidak masuk akal! Ini ....” Daniel mengembus napas sambil menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa dia tidak bersedia begitu saja menerima wasiat itu.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status