Share

06. Pelajaran Untuk Doni

Mendengar perkataan pedas itu Rizki berbalik badan dan menegur Pakdhe Sukirman.

 

"Pakdhe, nggak usah menyalahkan takdir, itu rahasia Allah. Hidup itu seperti roda yang berputar kadang di bawah kadang di atas, siapa tahu nanti mertuaku yang baik ini kaya lagi, pasti Pakdhe iri, terus minta maaf terus ujung-ujungnya minta gratisan 'kan?" goda Rizki sambil tertawa.

 

"Mana mungkin kalian kaya mendadak kalau bukan hasil maling atau pakai pesugihan."

 

"Kamu itu orang susah sok banget jadi orang, lihat tampang mu gini, kucel, lusuh, jangan sok bijak, urus saja dirimu sendiri jangan ngurusin orang lain," jawabnya dengan emosi.

 

"Lah Pakdhe sendiri ngurusin kami yang miskin ini sampai menghina, udah Pakdhe jangan emosi melulu, nggak baik buat kesehatan," ucap Rizki dengan sopan.

 

"Dasar gendeng, pergi sana tak sudi melihat muka kalian nanti ketularan miskinnya kaya kalian."

 

"Iya Pakdhe Sukirman yang terhormat, kami mau pergi juga kok, nggak betah juga lama-lama di sini toh acaranya udah selesai."

 

"Assalamualaikum, dijawab dong Pakdhe nggak boleh di diamin, dosanya berlipat ganda," ucapnya lagi.

 

"Suka-suka ku lah mau jawab atau tidak, kalau dari kamu aku malas, punya menantu kaya kamu nggak ada akhlaknya, melawan terus omongan orang tua," sahutnya yang tambah emosi.

 

"Sudahlah Bang, ngapain sih ladeni Pakdhe, ayuk kita pulang."

 

"Iya Adek sayang, yuk," jawab Rizki sambil merangkul pundak Ayu.

 

"Hey jangan mesra-mesraan di tempat umum dasar nggak punya etika, memang kamu nggak diajari apa, hah!" teriaknya lagi sampai-sampai banyak yang melihatnya.

 

"Suka-sukakulah Pakdhe orang istri sendiri lain kalau istri tetangga, baru haram hukumnya hahaha..."

 

"Sudah toh Ki, ngapain kamu ladeni Pakdhemu, biar bagaimanapun dia juga sudah menjadi bagian keluargamu," ucap mertuanya dengan ramah.

 

"Iya Pak, Riski ngerti tapi bukan salah Riski juga loh Pak, dia yang mulai duluan kita nggak pernah menghinanya eh dia terus menghina Bapak sama Ibu, kalau Riski yang di hina, dicaci maki nggak masalah buat Riski, malah senang ada yang bisa didebatkan hahaha...."

 

"Betul kata Pakdhemu Yu, otaknya agak gesrek orang direndahkan, dimarahi, di hina malah suka, senang, di mana-mana itu malah sakit hati bukan sebaliknya," ucap Pak Sugimin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

"Itulah uniknya suami Ayu Pak," sahut Ayu yang membanggakan suaminya.

 

"Pak, Bu jadilah diri sendiri jangan seperti bunglon, kalau prinsip Riski ya Pak selama mereka tidak melalukan kekerasan fisik nggak masalah, hanya perang mulut buat kebaikan oke siapa takut."

 

"Iya terserah kamu Ki, yang penting jangan sampai terlalu over dosis nanti nggak ada obatnya, iya toh?" Hahaha .... tawa Bu Yati diikuti oleh Pak Sugimin, Ayu dan Rizki.

 

Mereka seperti layaknya keluarga kecil bahagia, dalam kesederhanaan mereka selalu bersama-sama, inilah yang dicari Riski dalam keterbatasan ekonomi mertuanya masih sanggup bertahan hidup dengan keikhlasan, tak pernah mengeluh di depan orang, beliau selalu bersyukur di tikar sajadahnya yang lusuh.

 

Rizki sangat mengharapkan keluarga seperti ini, dia lebih baik kaya hati daripada hati miskin.

 

Namun bukan berarti kita tidak membutuhkan materi, karena di dunia pastilah memerlukan namanya uang, tetapi jangan mendewakan uang, hiduplah sewajarnya saja karena kita tidak tahu Allah kapan membalikkan keadaan dari yang miskin menjadi kaya maupun sebaliknya.

 

Mereka pun pergi ke luar gedung, dan anehnya tak ada satu pun yang mau mengantar kedua orang tua Ayu, bahkan anak kandungnya sendiri, mereka enggan mempunyai orang tua yang miskin, padahal sewaktu Pak Sugimin kaya mereka menggantungkan hidup mereka ke Bapaknya.

 

Sekarang seakan-akan mereka tidak di hargai sebagai orang tua. Namun Pak Sugimin dan Bu Yati tidak pernah marah ataupun memusuhi anak-anaknya.

 

Beliau tetap  mendoakan anak-anaknya agar selalu sehat dan bahagia. Kasih sayang orang tua sepanjang jalan tetapi kasih sayang anak sebatas jalan.

 

Di usia senja beliau tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang serba kekurangan, tidak pernah meratapi nasibnya yang jatuh miskin, bahkan beliau bersyukur dengan begini dia lebih taat beragama, lebih sayang terhadap keluarganya.

 

Tak pernah merasa minder di antara keluarga besar Pak Sugimin walaupun sering dihina karena jatuh miskin, padahal dulu mereka selalu di bantu apa saja dengan ihklas tanpa memintanya lagi.

 

Namun Pak Sugimin tetap sabar dan tawakal, karena Pak Sugimin meyakini dirinya bahwa ini adalah ujian yang harus dilakukan dari Allah SWT.

 

"Don, Bapak ikut kamu atau paling tidak Ibumu saja yang kamu antar pulang, rumah Bapak sama kamu 'kan berdekatan, biar Bapak naik sepeda ini pelan-pelan, soalnya Bapak mau ke bengkel dulu ban sepedanya kempes," ucap Bapak mengiba.

 

"Maaf ya Pak, Bu, Doni lagi buru-buru nggak bisa, lagian kalau Ibu naik mobil Doni yang super kece ini, jadi kotor, bau matahari lagi, bisa-bisa Doni muntah, Bu!" jawabnya dengan lantang.

 

"Wah nggak benar nih, harus dikasih pelajaran si Doni gendeng ini, enak kali ya bikin rusuh lagi," ucap Riski yang tidak terima perkataan sadisnya buat orang tuanya sendiri.

 

"Bang Doni keterlaluan, kamu kira aku nggak bisa beli mobil beginian, bisa aku beli puluhan kalau perlu aku jejealaman rumah Bapak, baru satu mobil sudah sombongnya minta ampun, bagaimana kalau dia tahu aku kaya raya, huh nggak sudi juga aku kasih kamu, lebih baik kasih yatim piatu," gerutunya lagi dalam hati.

 

Untungnya Pak RT melewati jalan itu, segera Riski memanggil Pak RT agar nimbrung berbicara dengan Pak Sugimin.

 

"Assalamualaikum Pak, mau pulang?" tanya Riski basa basi.

"Walaikumsalam Ki, loh ada Pak Sugimin mau pulang juga Pak?"

Sebelum Pak Sugimin angkat bicara, Riski memotong omongan beliau.

 

"Iya Pak, cuma kami tadi bingung soalnya sepeda Bapak bannya kempes, tapi alhamdulillah Pak, ada Bang Doni mau ngantar Ibu pulang, iya "kan Bang?"

 

Betapa merah muka Doni, mendengar perkataan Riski, tetapi jika ditolak maka dia akan jadi bulan-bulanan warga, secara istri Pak RT ratu gosip di kampung itu.

 

Doni melotot kearah Riski, tidak percaya dia melakukan seperti ini, dengan terpaksa dia pun tidak menolaknya.

 

"Eh ... anu ... i-iya Pak, saya yang antar lagian mobil saya yang mewah ini cukup menampung Ibu pulang," ucapnya dengan berat hati.

 

"Loh kenapa mukanya Nak Doni kaya nggak ikhlas gitu mengantar Ibumu sendiri loh?"  tanyanya selidik.

 

"Nggak Pak cuma kecapean saja, ayo Bu masuk ke dalam mobil Doni, lebih adem nggak kaya di luar panas!" ucapnya dengan tersenyum kecut.

 

"Ya sudah gitu dong, kamu itu harus mencontohkan kepada anak-anak muda di kampung sini kalau walaupun kita sudah dewasa dan sudah memiliki keluarga sendiri tetap masih menjunjung orang tua, jangan disia-siakan, kalian nggak mau toh dibilang anak durhaka?" terang Pak RT.

 

"Untung kita hidup di zaman modern, kalau zamannya maling kundang bisa-bisa dikutuk jadi batu!" celetuk Bu RT dengan sewot.

 

"Hahaha ... " tawa Riski yang membuat Doni merasa ditampar oleh Riski.

Doni menatap tajam ke arah Riski yang masih tertawa lepas, begitu juga dengan yang lain.

"Betul kata Bu RT yang cantik ini, kata orang sayangilah orang tuamu selagi beliau masih hidup, iya kan Pak RT?" tanya Riski.

"Betul itu, ya udah kami permisi juga sudah sore, hati-hati di jalan!"

"Assalamu’aikum!"

"Walaikumsalam!"

"Ingat ibumu jangan diturunkan di jalan loh ya, banyak mata-mataku di mana-mana!" perintah Ibu RT dengan mata melotot.

 

"I-iya Bu!" jawabnya sedikit grogi.

Setelah Pak RT dan istrinya melaju dengan kendaraannya, Doni mulai berulah lagi.

"Awas kamu Riski, sudah hampir membuatku malu, ayuk Buk cepatan naik kalau nggak Doni tinggal nih!" bentaknya kepada Bu Yati.

Doni pun melesat pergi dengan mobilnya dengan laju sehingga asapnya pun mengenai Pak Sugimin dan Riski.

 

"Bapak nggak apa-apa 'kan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status