Share

08. Bengkel Rizky

 

"Adek apa-apaan sih, buat Pakdhemu marah dosa tahu," ucap Riski sambil melaju dengan motor kesayangannya.

"Biarin aja, mulut nggak bisa direm, menceramahi orang nomor satu tapi nggak mau di kritik, aneh 'kan Bang?" teriaknya dari belakang.

"Memang si Lia kenapa, memang dia ada buat salah sama kamu Dek?"

"Kalau Abang tahu apa yang terjadi sama Lia, Huuuf bisa mengomel sepanjang jalan kenanga, Bang!"

"Nantilah Ayu cerita kalau sudah sampai di rumah aja, diatas motor bising, nggak dengar suaranya Abang kaya liliput," sahutnya dengan tertawa renyah.

 

"Oke dah kalau begitu."

Tak lama kemudian sampailah mereka di rumah mereka, satu-satunya rumah pemberian Pak Sugimin walaupun tidak luas.

"Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam!"

"Maaf Pak agak lama, biasa Pakdhe ada aja yang dipermasalahkan," jawab Ayu yang baru datang.

"Bapak santai dulu di sini, Ayu buatkan pisang goreng kesukaan Bapak," ucap Ayu yang bergegas ke dapur.

 

"Nggak usah repot-repot Yu, Bapak hanya sebentar cuma mau baikkin sepeda terus pulang."

 

"Ih Bapak kaya sama orang lain saja, ya nggak apa-apalah Pak, buatnya cuma sebentar nggak pakai lama."

 

"Pak, numpung Ayu masih buat pisang goreng, Riski mau lihatin bengkel Riski yang bentar lagi launching nih Pak," ucapnya penuh semangat.

 

"Ya sudah terserah kalian sajalah, Bapak ngikut aja!” sahutnya dengan tersenyum.

 

Riski memperlihat tempat bengkelnya yang sederhana, hanya sebuah ruangan sebesar 4×5 meter, itu pun adalah teras rumah yang di samping di sulap menjadi sebuah bengkel.

 

Dengan ketekunan dan kegigihannya bengkel itu sedikit demi sedikit telah diisi pernak pernik kebutuhan motor.

 

Riski mengumpulkan dari gaji dia sebagai pelayan atau penjaga warung makan di pinggir jalan itu.

 

Pak Sugimin merasa bangga dengan menantunya itu, selain sopan dan baik bersikap, ternyata Riski mempunyai keahlian menjadi montir.

 

"Bapak salut sama kamu dari hasil kamu kerja, kamu bisa buka bengkel seperti ini. Bapak doakan semoga usaha barumu ini lancar ya," ucap mertuanya dengan ramah.

 

"Aamiin, terima kasih Pak dukungannya, suatu hari Pak, Riski akan buat bengkel ini menjadi terkenal dan laris karena dengan doa dan restu Bapak selalu ada buat kami."

 

"Sini Pak Riski betul in sepedanya, Bapak duduk saja sambil minum kopi dan bentar lagi pisang gorengnya matang."

 

"Nggak usah biar Bapak saja, malah Bapak senang betul in sendiri serasa jiwa Bapak ini kembali muda, mana sini pinjam peralatanmu, tapi bolehkan sekalian yang lain Bapak bagus in sedikit sepeda Bapak ini, gratiskan?" tanyanya semringah.

 

"Loh Bapak memang bisa?" tanya Riski penasaran.

 

"Iya Bang, Bapak dulu sebelum jadi juragan sembako, Bapak kerja di bengkel juga, dan mengerti semua tentang motor atau mobil, cuma nggak ada yang nurun keahlian Bapak ini, alias pemalas."

 

"Kecuali Bang Ridho,  dia bukan pemalas tapi dia lebih suka jadi koki handal, dia sama kaya ibu suka masak, makanya sekarang dia menjadi koki handal hotel bintang 5 di Jakarta," ucap Ayu bangga pada Kakaknya yang nomor dua.

 

Dengan cekatan Pak Sugimin memperbaiki sepeda lamanya yang penuh kenangan bersama istrinya.

 

"Tuh lihat, sudah bereskan?" ucap Pak Sugimin dengan bangga memperlihatkan sepedanya yang telah selesai diperbaiki.

 

"Wah hebat, Riski kira Bapak nggak bisa eh ternyata ahli juga, kenapa Bapak nggak buka bengkel saja dulu?" tanya Riski seketika.

 

"Dulu pernah Ki, Bapak buka bengkel cuma bangkrut juga uangnya nggak muter soalnya yaitu dipakai buat anak-anak Bapak, setiap ada keuntungan dari bengkel selalu di ambil mereka, malah mereka nggak pernah bantuin Bapak di bengkel," jawab mertuanya yang tertunduk lesu.

 

"Bang, Bapak itu sebenarnya suka kerja di bengkel, cuma dulu nggak ada yang bantuin, punya anak cowok tiga yang pengangguran tetapi kalau menghabiskan uang Bapak nomor satu," sahut Ayu sembari meletakkan pisang goreng yang hangat teman untuk ngopi.

 

"Mari Pak, makan dulu numpung hangat," ucap Riski menemani mertuanya untuk bersantai sejenak.

 

Ki, Bapak numpang salat Ashar dulu ya takut keburu," sahutnya seraya pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.

 

"Iya Pak, kalau gitu sama-sama saja, Riski juga belum salat Ashar," ucapnya dengan tersenyum.

 

Selesai Shalat mereka duduk kembali di teras rumah sebentar dan Riski membuka obrolan pertama.

 

"Oh ya Dek, tadi kamu bilang sama Pakdhe Sukirman tadi siang maksudnya apa sih, Abang nggak ngerti?" tanyanya yang masih penasaran.

 

"Loh memang kenapa lagi dengan Pakdhemu Yu?" tanya Pak Sugimin seraya meyomot pisang goreng yang masih ada, karena beliau sangat suka dengan pisang goreng.

 

"Oh, itu sebenarnya Lia itu hamil duluan, usia kandungannya sudah 2 minggu," jawab Ayu santai.

 

Mendengar perkataan Ayu, Pak Sugimin langsung tersedak dengan pisang goreng itu.

 

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!

 

Ayu bergegas masuk ke dalam mengambil segelas air putih untuk Pak Sugimin.

 

"Aduh maaf in Ayu, Pak!" ucap Ayu yang panik melihat Bapaknya tersedak.

 

"Nggak apa-apa Yu, Bapak cuma kaget saja dengan omonganmu tadi," sahut Bapaknya yang sudah mulai membaik dari batuknya.

 

"Iya Dek, Abang saja kaget, memang kamu tahu dari mana jangan memfitnah orang kalau belum tahu kebenarannya bisa gibah namanya," ucap Riski mengingatkan istrinya.

 

"Ayu itu tahu dari mata kepala sendiri. Ayu pernah lihat dia pergi ke rumah sakit bersama pacarnya itu tapi bukan yang ini yang dinikahi, bahkan Ayu sempat merekam mereka saat ngomong berdua ya siapa tahu bisa menjadi bukti andalan kalau kepepet," sahutnya dengan santai.

 

Lalu Ayu membuka ponselnya dan menunjukkan bukti rekaman itu ke mereka.

 

Seketika mereka kaget dan syok, Pak Sugimin tidak henti-hentinya beristigfar melihat rekaman itu.

 

Rekaman berdurasi lima menit itu menjadi bukti nyata kalau memang si Lia telah bermain api di belakang Rangga yang telah menjadi suaminya sekarang.

 

Ayu juga melihatkan rekaman pada saat berbicara dengan dokter kandungan untuk memastikan Lia sudah hamil berapa minggu.

 

"Ya wes Nduk, jangan kamu sebarkan kasihan mereka bisa menjadi aib bagi keluarga," ucap Pak Sugimin dengan lembut.

 

"Iya Dek, yang penting kita sudah tahu, tapi kasihan juga si Rangga bukan anaknya yang dikandung Lia," sahut Riski.

 

"Biarkan mereka tahu sendiri, lebih baik kamu simpan saja bukti itu, siapa tahu suatu saat nanti diperlukan," ucap Pak Sugimin.

 

"Iya Pak, Ayu akan simpan sebaik mungkin."

 

Menjelang senja, Pak Sugimin berpamitan pulang, suasana yang hangat membuat Riski bisa menemukan kehangatan seorang ayah yang tidak pernah dia rasakan.

 

Hanya karena kedudukan, kekuasaan yang haus dengan ambisi di dalam hati, kini hati Rizki sudah di tata dengan baik, tinggal menyisakan puing-puing yang memang sulit di satukan.

 

"Ki, Ayu terima kasih sudah membuat Bapak betah di sini, dengan kesederhanaan yang kalian punya membuat Bapak kagum kepada kalian."

 

"Tetaplah seperti ini, jangan kamu rubah walaupun kelak kamu menjadi orang sukses dan jika kamu mempunyai anak wariskanlah ilmu yang bermanfaat seperti kalian punya."

 

"Bapak pulang dulu kasihan ibumu sendiri di rumah, Assalamualaikum!"

 

"Walaikumsalam, hati-hati di jalan ya Pak!" teriak Ayu.

 

"Iya Nduk!"

"Kasihan Bapak ya Bang, seharusnya di usia senjanya Bapak tinggal menikmati hasil keringatnya, ini harus bekerja di pasar sebagai buruh panggul," ucap Ayu sembari melihat Pak Sugimin berlalu pergi menggunakan sepeda ontelnya.

 

"Bapak memang keras kepala, nanti kalau sakit gimana, Abang juga nggak tega ngelihat nya, punya keluarga kaya begitu semua, tidak ada yang menghargai Bapakmu Yu," geram Rizki.

 

"Ya udah mau magrib kita masuk yuk, nggak baik di luar," ucap Riski sambil memeluk pundak Ayu dan berbalik masuk ke rumah.

 

Udara pagi hari sangat sejuk, sesejuk hati yang ingin merangkul angin namun tak bisa digapai hanya bisa dirasakan.

Matahari pun masih malu-malu untuk mengeluarkan sinarnya.

Riski yang sudah bangun dari subuh sudah mulai beraktivitas membantu pekerjaan sang istri.

Begitulah Riski bila dihari minggu, dia akan mengambil alih peran istrinya membersihkan rumah sampai mencuci pakaian.

 

Setiap hari sebelum azan berkumandang Ayu sudah pergi ke rumah Pak Sugimin untuk membantu ibunya berjualan nasi kuning.

 

Rumah Pak Sugimin memang tidak jauh hanya berjarak dua rumah tetangga.

 

Dulu waktu masih berjaya, Pak Sugimin memang sudah menyiapkan tanah untuk masing-masing anaknya membangun rumah, dan semua terealisasi, kecuali Ridho karena keinginannya melanjutkan sekolah di kota dan mengejar cita-citanya diapun menjual tanahnya untuk membiayai sekolahnya sendiri.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status