"Adek apa-apaan sih, buat Pakdhemu marah dosa tahu," ucap Riski sambil melaju dengan motor kesayangannya."Biarin aja, mulut nggak bisa direm, menceramahi orang nomor satu tapi nggak mau di kritik, aneh 'kan Bang?" teriaknya dari belakang."Memang si Lia kenapa, memang dia ada buat salah sama kamu Dek?""Kalau Abang tahu apa yang terjadi sama Lia, Huuuf bisa mengomel sepanjang jalan kenanga, Bang!""Nantilah Ayu cerita kalau sudah sampai di rumah aja, diatas motor bising, nggak dengar suaranya Abang kaya liliput," sahutnya dengan tertawa renyah. "Oke dah kalau begitu."Tak lama kemudian sampailah mereka di rumah mereka, satu-satunya rumah pemberian Pak Sugimin walaupun tidak luas."Assalamualaikum!""Walaikumsalam!""Maaf Pak agak lama, biasa Pakdhe ada aja yang dipermasalahkan," jawab Ayu yang baru datang."Bapak santai dulu di sini, Ayu buatkan pisang goreng kesukaan Bapak," ucap Ayu yang bergegas ke dapur. "Nggak usah repot-repot Yu, Bapak hanya sebentar cuma mau baikkin sepeda terus pulang." "Ih Bapak kaya sama orang lain saja, ya nggak apa-apalah Pak, buatnya cuma sebentar nggak pakai lama." "Pak, numpung Ayu masih buat pisang goreng, Riski mau lihatin bengkel Riski yang bentar lagi launching nih Pak," ucapnya penuh semangat. "Ya sudah terserah kalian sajalah, Bapak ngikut aja!” sahutnya dengan tersenyum. Riski memperlihat tempat bengkelnya yang sederhana, hanya sebuah ruangan sebesar 4×5 meter, itu pun adalah teras rumah yang di samping di sulap menjadi sebuah bengkel. Dengan ketekunan dan kegigihannya bengkel itu sedikit demi sedikit telah diisi pernak pernik kebutuhan motor. Riski mengumpulkan dari gaji dia sebagai pelayan atau penjaga warung makan di pinggir jalan itu. Pak Sugimin merasa bangga dengan menantunya itu, selain sopan dan baik bersikap, ternyata Riski mempunyai keahlian menjadi montir. "Bapak salut sama kamu dari hasil kamu kerja, kamu bisa buka bengkel seperti ini. Bapak doakan semoga usaha barumu ini lancar ya," ucap mertuanya dengan ramah. "Aamiin, terima kasih Pak dukungannya, suatu hari Pak, Riski akan buat bengkel ini menjadi terkenal dan laris karena dengan doa dan restu Bapak selalu ada buat kami." "Sini Pak Riski betul in sepedanya, Bapak duduk saja sambil minum kopi dan bentar lagi pisang gorengnya matang." "Nggak usah biar Bapak saja, malah Bapak senang betul in sendiri serasa jiwa Bapak ini kembali muda, mana sini pinjam peralatanmu, tapi bolehkan sekalian yang lain Bapak bagus in sedikit sepeda Bapak ini, gratiskan?" tanyanya semringah. "Loh Bapak memang bisa?" tanya Riski penasaran. "Iya Bang, Bapak dulu sebelum jadi juragan sembako, Bapak kerja di bengkel juga, dan mengerti semua tentang motor atau mobil, cuma nggak ada yang nurun keahlian Bapak ini, alias pemalas." "Kecuali Bang Ridho, dia bukan pemalas tapi dia lebih suka jadi koki handal, dia sama kaya ibu suka masak, makanya sekarang dia menjadi koki handal hotel bintang 5 di Jakarta," ucap Ayu bangga pada Kakaknya yang nomor dua. Dengan cekatan Pak Sugimin memperbaiki sepeda lamanya yang penuh kenangan bersama istrinya. "Tuh lihat, sudah bereskan?" ucap Pak Sugimin dengan bangga memperlihatkan sepedanya yang telah selesai diperbaiki. "Wah hebat, Riski kira Bapak nggak bisa eh ternyata ahli juga, kenapa Bapak nggak buka bengkel saja dulu?" tanya Riski seketika. "Dulu pernah Ki, Bapak buka bengkel cuma bangkrut juga uangnya nggak muter soalnya yaitu dipakai buat anak-anak Bapak, setiap ada keuntungan dari bengkel selalu di ambil mereka, malah mereka nggak pernah bantuin Bapak di bengkel," jawab mertuanya yang tertunduk lesu. "Bang, Bapak itu sebenarnya suka kerja di bengkel, cuma dulu nggak ada yang bantuin, punya anak cowok tiga yang pengangguran tetapi kalau menghabiskan uang Bapak nomor satu," sahut Ayu sembari meletakkan pisang goreng yang hangat teman untuk ngopi. "Mari Pak, makan dulu numpung hangat," ucap Riski menemani mertuanya untuk bersantai sejenak. Ki, Bapak numpang salat Ashar dulu ya takut keburu," sahutnya seraya pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. "Iya Pak, kalau gitu sama-sama saja, Riski juga belum salat Ashar," ucapnya dengan tersenyum. Selesai Shalat mereka duduk kembali di teras rumah sebentar dan Riski membuka obrolan pertama. "Oh ya Dek, tadi kamu bilang sama Pakdhe Sukirman tadi siang maksudnya apa sih, Abang nggak ngerti?" tanyanya yang masih penasaran. "Loh memang kenapa lagi dengan Pakdhemu Yu?" tanya Pak Sugimin seraya meyomot pisang goreng yang masih ada, karena beliau sangat suka dengan pisang goreng. "Oh, itu sebenarnya Lia itu hamil duluan, usia kandungannya sudah 2 minggu," jawab Ayu santai. Mendengar perkataan Ayu, Pak Sugimin langsung tersedak dengan pisang goreng itu. "Uhuk! Uhuk! Uhuk! Ayu bergegas masuk ke dalam mengambil segelas air putih untuk Pak Sugimin. "Aduh maaf in Ayu, Pak!" ucap Ayu yang panik melihat Bapaknya tersedak. "Nggak apa-apa Yu, Bapak cuma kaget saja dengan omonganmu tadi," sahut Bapaknya yang sudah mulai membaik dari batuknya. "Iya Dek, Abang saja kaget, memang kamu tahu dari mana jangan memfitnah orang kalau belum tahu kebenarannya bisa gibah namanya," ucap Riski mengingatkan istrinya. "Ayu itu tahu dari mata kepala sendiri. Ayu pernah lihat dia pergi ke rumah sakit bersama pacarnya itu tapi bukan yang ini yang dinikahi, bahkan Ayu sempat merekam mereka saat ngomong berdua ya siapa tahu bisa menjadi bukti andalan kalau kepepet," sahutnya dengan santai. Lalu Ayu membuka ponselnya dan menunjukkan bukti rekaman itu ke mereka. Seketika mereka kaget dan syok, Pak Sugimin tidak henti-hentinya beristigfar melihat rekaman itu. Rekaman berdurasi lima menit itu menjadi bukti nyata kalau memang si Lia telah bermain api di belakang Rangga yang telah menjadi suaminya sekarang. Ayu juga melihatkan rekaman pada saat berbicara dengan dokter kandungan untuk memastikan Lia sudah hamil berapa minggu. "Ya wes Nduk, jangan kamu sebarkan kasihan mereka bisa menjadi aib bagi keluarga," ucap Pak Sugimin dengan lembut. "Iya Dek, yang penting kita sudah tahu, tapi kasihan juga si Rangga bukan anaknya yang dikandung Lia," sahut Riski. "Biarkan mereka tahu sendiri, lebih baik kamu simpan saja bukti itu, siapa tahu suatu saat nanti diperlukan," ucap Pak Sugimin. "Iya Pak, Ayu akan simpan sebaik mungkin." Menjelang senja, Pak Sugimin berpamitan pulang, suasana yang hangat membuat Riski bisa menemukan kehangatan seorang ayah yang tidak pernah dia rasakan. Hanya karena kedudukan, kekuasaan yang haus dengan ambisi di dalam hati, kini hati Rizki sudah di tata dengan baik, tinggal menyisakan puing-puing yang memang sulit di satukan. "Ki, Ayu terima kasih sudah membuat Bapak betah di sini, dengan kesederhanaan yang kalian punya membuat Bapak kagum kepada kalian." "Tetaplah seperti ini, jangan kamu rubah walaupun kelak kamu menjadi orang sukses dan jika kamu mempunyai anak wariskanlah ilmu yang bermanfaat seperti kalian punya." "Bapak pulang dulu kasihan ibumu sendiri di rumah, Assalamualaikum!" "Walaikumsalam, hati-hati di jalan ya Pak!" teriak Ayu. "Iya Nduk!""Kasihan Bapak ya Bang, seharusnya di usia senjanya Bapak tinggal menikmati hasil keringatnya, ini harus bekerja di pasar sebagai buruh panggul," ucap Ayu sembari melihat Pak Sugimin berlalu pergi menggunakan sepeda ontelnya. "Bapak memang keras kepala, nanti kalau sakit gimana, Abang juga nggak tega ngelihat nya, punya keluarga kaya begitu semua, tidak ada yang menghargai Bapakmu Yu," geram Rizki. "Ya udah mau magrib kita masuk yuk, nggak baik di luar," ucap Riski sambil memeluk pundak Ayu dan berbalik masuk ke rumah. Udara pagi hari sangat sejuk, sesejuk hati yang ingin merangkul angin namun tak bisa digapai hanya bisa dirasakan.Matahari pun masih malu-malu untuk mengeluarkan sinarnya.Riski yang sudah bangun dari subuh sudah mulai beraktivitas membantu pekerjaan sang istri.Begitulah Riski bila dihari minggu, dia akan mengambil alih peran istrinya membersihkan rumah sampai mencuci pakaian. Setiap hari sebelum azan berkumandang Ayu sudah pergi ke rumah Pak Sugimin untuk membantu ibunya berjualan nasi kuning. Rumah Pak Sugimin memang tidak jauh hanya berjarak dua rumah tetangga. Dulu waktu masih berjaya, Pak Sugimin memang sudah menyiapkan tanah untuk masing-masing anaknya membangun rumah, dan semua terealisasi, kecuali Ridho karena keinginannya melanjutkan sekolah di kota dan mengejar cita-citanya diapun menjual tanahnya untuk membiayai sekolahnya sendiri.
Dan terbukti hasilnya tidak mengecewakan, Ridho berhasil menggapai cita-cita menjadi koki handal.Sebenarnya Ridho selalu mengirimi uang setiap bulan dua juta rupiah kepada Pak Sugimin, karena gaji Ridho kurang lebih bisa mencapai enam jutaan di kota.Namun Pak Sugimin masih sungkan memakai uang hasil jerih payah anaknya, uang itu hanya digunakan saat keperluan mendadak saja, sehingga Pak Sugimin tidak ingin mengutak-atik uang itu, begitu juga dengan Bu Yati beliau sepemikiran dengan suaminya.Tidak ada yang tahu kalau Ridho mengirimi uang kecuali Riski dan Ayu. Pak Sugimin memang selalu menceritakan semua masalah paling banyak bercerita dengan Rizki menantu kesayangan, karena ketiga anaknya yang laki-laki sibuk bekerja sehingga membuat mereka sombong dan angkuh kepada orang tuanya sendiri.Ketiga anaknya hidup dengan bercukupan dengan keluarga barunya itu. Mereka tidak pernah mau membantu Bu Yati atau Pak Sugimin yang sudah berusia senja yang masih aktif bekerja keras.Kecuali Mbak N
"Kenapa si Rizki, Nduk, kok kaya panik gitu, ada apa toh?" tanya Ibu disela-sela melayani pembeli."Ayu juga nggak tahu Bu, cuma tadi pulang mau pergi sebentar ke kota ada perlu, nanti di hubungi lagi, ada apa ya Bu?" tanya balik Ayu yang sempat bingung."Ada apa toh Bu, nanti saja ngomongnya tuh masih banyak yang belum dilayani!" ucap Pak Sugimin yang ikut membantu Bu Yati membuatkan minuman.Nisa kakak ipar Ayu juga membantu di sana, namun tiba-tiba Lukman dan Reza datang ke warung Bu Yati bersama anak dan istrinya masing-masing.Mereka memang tidak tahu malu sudah tidak membayar malah seenaknya mengambil makan sendiri.Beberapa orang yang melihatnya sangat geram dengan tingkah laku mereka, di saat banyak pembeli dengan mudahnya mereka membaur mengambil makanan sendiri dalam porsi yang tak sewajarnya pula."Eh, jangan gitu dong kamu nggak lihat Ibumu lagi melayani saya, ini malah kamu grasak-grusuk di situ, hargai dong pembeli," ucap Bu Nani sewot."Kok situ yang marah, suka-suka
"Coba kamu telepon dia, sudah di mana, memang dia ngomong apa sih sama kamu Nduk?""Tadi Ayu nggak terlalu memperhatikan Bang Rizki ngomong apa, soalnya tadi 'kan banyak orang jadi nggak konsen.""Sebentar deh Bu, Ayu coba telepon Bang Rizki dulu.""Gimana Yu, nyambung nggak?""Nggak Bu, malah nggak aktif HP-nya Bu.""Ya udah nanti kamu coba saja lagi, siapa tahu sudah bisa nyambung, mungkin baterainya habis kali belum di cas."Namun tiba-tiba terdengar suara Pak Sugimin yang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah dan langsung menyalakan televisi yang ada di ruang tamu."Ada apa toh Pak, grasah-grusuh gitu?""Bapak mau nyalakan televisi Bu, ada berita tentang kecelakaan itu loh Bu pengusaha Wiranata Group keluarganya ada yang kecelakaan Bu, tadi pagi!""Innalilahi wainalillahi roji’un ...""Terus siapa yang kecelakaannya, kok bisa sih Pak, di mana Pak?" "Walah Bu, Bapak saja masih cari beritanya di TV nih, apa sudah lewat ya sekilas infonya," tanya Pak Sugimin yang masih kebingungan."Nah
Azan berkumandang dengan syahdu, setiap lantunannya menyiratkan penuh makna, udara yang masih dingin dikala subuh tak membuat Ayu menarik selimutnya kembali.Ayu bergegas ke luar kamar menemui ibunya yang sedang sibuk di dapur sebelum subuh."Bu, maaf Ayu kesiangan bangun!" ucapnya yang masih menguap karena baru bangun."Nggak apa-apa Nduk, ada Bapak yang bantuin, hari ini Bapakmu nggak ke pasar katanya nggak enak badan, ayo kita salat dulu baru nyambung lagi kerjanya," sahut Bu Yati langsung mematikan semua kompornya dan bergegas masuk ke kamar mandi mengambil air wudu.Ayu pun mengikuti ibunya dari belakang."Bapak mana Bu, katanya nggak enak badan?""Biasalah Bapakmu bilang nggak enak badan tapi yaitu pergi ke masjid salat di sana," jawab Ibu tersenyum.Setelah selesai salat subuh mereka langsung kembali melakukan rutinitas seperti biasanya.Memang tidak terlalu banyak menyita waktu karena bahan-bahan dan bumbu sudah dipersiapkan oleh Ayu dari tadi sore, sehingga tinggal mencampurk
Ayu menghampiri dua wanita yang berpakaian lusuh itu. Yang satu wanita itu terlihat sangat tua mungkin berkisaran 50 tahunan dengan jilbab hitam instan yang sudah pudar warnanya, memakai baju gamis hijau tosca namun banyak tambalan di mana-mana.Sedangkan yang satunya lagi kelihatan lebih muda sekitaran umur tiga puluhan, dengan memakai jilbab instan berwarna merah marun dengan gamis celana panjang hitam dan kaos panjang yang kedodoran."Maaf Bu, mau pesan apa makan sini atau dibungkus?" tanya Ayu dengan ramah kepa5da kedua wanita pemulung itu."B-boleh saya menumpang duduk di sini Mbak, sebentar saja Ibu saya kecapean berjalan kaki dari ujung kesini," jawab wanita muda itu mungkin dia adalah anaknya ibu tua itu."Boleh silakan duduk Mbak, Ibu, sebentar saya ambilkan air minum dulu," ucap Ayu sambil berlari kecil mengambil minum untuk kedua wanita itu.Tak lama kemudian Ayu membawakan dua gelas air putih untuk kedua wanita itu."Silakan di minum dulu Mbak, Ibu!" "Te-terima kasih Mba
"Loh ini apa lagi Yu, kami kan sudah makan gratis terus dapat barang bekas, terus ini lagi" tanya Bu Nur heran."Iya Bu, ini titipan dari Ibunya Ayu, jangan di tolak pamali, kata Ibu buat bekal di jalan.""Wah terima kasih banyak ya Yu, memang nggak salah Iki memilih istri seperti kamu," ucap Bu Nur keceplosan."Apa Bu?""Oh bukan maksud ibu saya, kamu mengingatkan adik saya yang sudah lama meninggal, sifatnya mirip seperti kamu Mbak Ayu," kilah Indah sedikit gugup."Kalau begitu saya tinggal dulu Bu Nur, Mbak Indah lagi banyak pembeli, kasihan Ibu kewalahan, permisi!""Iya, nggak apa-apa titip salam buat Ibunya, terima kasih banyak besan, eh salah mak-maksudnya ibumu!" ucap Bu Nur keceplosan."Iya, Bu," sahut Ayu sembari meninggalkan mereka berdua dengan sedikit bingung.Bu Nur dan Indah tersenyum bahagia melihat Ayu secara jelas di depan mata mereka berdua.Selang beberapa menit Bu Nur dan Indah pergi dari warung itu, karena make up nya mulai luntur karena keringat."Gimana penyamar
Akan tetapi, saat ingin memberi pelajaran kepada Pak Sukirman, langkahnya terhenti saat melihat Ayu yang sedang lewat dan singgah di rumah Pak Sukirman."Walah Pakdhe jangan suka marah-marah nanti cepat tua loh!" "Ups maaf salah, Pakdhe kan sudah tua ya?""Ini lagi ikut campur, ngapain kamu ke sini, nggak takut di hina lagi, tebal muka ya kamu, tapi memang ya namanya juga orang miskin pasti lah ya kuat mental biar di hina orang," hardiknya dengan lantang."Ya elah Pakdhe nggak boleh loh kaya gitu, nanti kalau Pakdhe miskin juga gimana, nanti ada ide cerita sama temanku yang suka buat novel judulnya gara-gara menghina aku jatuh miskin," ucap Ayu sembari meledek."Kamu sok ngatur, masih bau kencur juga, terus apa yang kamu bawa itu?" selidik Pak Sukirman dengan mata mendelik."Tadi Ibu mau kasih nasi kuning, karena hari ini nasi kuning Ibu alhamdulillah laris manis, jadi kata beliau mau bagi-bagi rezeki, tapi kayanya nggak jadi lebih baik kasih orang lain saja deh.""Pakdhe kan nggak
"Ini Neng ayuk makan, numpung masih hangat!" ucap Bu Surti tersenyum."Apa!""Nasi kuning lagi, oh ya aku lupa tadi Ayu kan kasih anak ini makanan, duh bisa meledak perutku ini, jadi benaran sakit karena kebanyakan makan, bagaimana ini?" gerutunya dalam hati."Bodoh banget sih aku, ngapain juga pura-pura sakit perut, aduh dilema deh aku, niat mau menguji kesabaran orang malah aku yang kena, gimana nih?" tanyanya dalam hati."Ayuk Neng, dimakan dulu!""Bu, bagaimana kalau kita makan sama-sama saja, kasihan mereka sepertinya dari tadi menahan lapar, soalnya saya juga lebih senang jika ada yang menemani saya makan, ayuk Bu, lebih baik anak-anak ini makan juga," ajak Linda.Arif dan adik-adiknya melihat wajah ibunya dulu, setelah Bu Surti menganggukkan kepalanya dengan tanda setuju, barulah mereka dengan cepat mengambil piring masing-masing dan sudah duduk kembali di teras rumah yang beralaskan koran.Bu Surti mengambil makanan dan menjatahnya di piring-piring mereka masing-masing.Seketi