Part 6 (“Ma, Pa, Aku Pulang!”)
****Aku menarik koperku sambil menjinjing tas. Memasukannya ke dalam bagasi mobil Mas Iden."Tolong, kamu jual mobil suami saya. Kalau ada yang minat, suruh hubungi saya. Untuk sementara waktu saya pakai dulu mobilnya," ucapku pada Zany, dia orang kepercayaan Papa yang kusuruh datang ke rumah. Sejauh ini aku belum menceritakan masalah ini pada Papa. Masih ada beberapa langkah yang harus kuambil sebelum papa tahu jika pernikahan putrinya ada diujung tanduk."Baik Bu,""Tolong kamu antarkan mobil saya pulang ke rumah Papa yah." Aku memberikan kunci mobilku pada Zany. Rencananya setelah dari pengadilan agama aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Rumah ini akan kujual, hasilnya untuk modal usaha."Siap Bu,""Kamu sudah sewa orang untuk jaga rumah ini?" Aku bertanya sambil menatap Zany, pria berambut gondrong itu menganggukkan kepala."Sudah Bu, mereka sebentar lagi sampai.""Terima kasih yah, kalau begitu saja jalan duluan."Aku memegang pintu mobil. Namun kututup kembali."Ada apa Bu?" tanya Zany."Itu pintu rumah sudah saya kunci belum yah?""Biar saya yang periksa, Bu." Zany berbalik badan, aku menunggunya kembali."Bagaimana Zan?""Pintu sudah di kunci,""Terima kasih banyak, maaf saya merepotkanmu.""Tidak merepotkan kok Bu, hati-hati di jalan."Aku melangkah masuk, dan duduk di jok kemudi. Segera menyalakan mesin mobil. Nampak Zany membuka gerbang rumah, aku melambaikan tangan padanya saat mobil yang kukemudikan mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah.Pernikahan yang kubina selama dua tahun itu telah menemukan titik lelah. Sampai pada akhirnya perpisahan adalah jalan untuk mengakhiri luka meski tidak seberapa. Setidaknya aku tidak perlu lagi tertawa dalam kepalsuan, termakan oleh bujuk rayu Mas Iden yang hanya berisi kebohongan.Setelah tiga puluh menit perjalanan. Mobil yang kukendarai berhenti di sebuah gedung 'Pengadilan Agama'. Setelah mematikan mesin mobil, mataku menelisik keadaan sekitar. Aku menghirup oksigen rakus sambil menguatkan diri sendiri.Kulihat beberapa orang lalu lalang, tidak banyak memang, mungkin mereka staf yang berkerja di sini. Atau bisa saja, segelintir orang yang melakukan hal yang sama sepertiku.Aku turun dari mobil, melangkah masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi itu. Memantapkan niatku dalam hati, tidak ada yang bisa kuperbaiki sekarang. Selama kami menjalani bahtera rumah tangga, dia baru belajar mencintaiku. Kasih sayang dan perhatian yang kucurahkan setiap saat nyatanya tidak ada harganya dimatanya.****Setelah mengikuti beberapa prosedur. Aku akhirnya berhasil mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan.Aku menatap amplop berwarna cokelat yang kugenggam. Di mana di dalamnya ada beberapa berkas dan persyaratan yang harus kuserahkan ke pengadilan agama.Aku memasukan amplop tersebut ke dalam tas, kemudian menjalankan kendaraan roda empat milik Mas Iden menuju jalan raya.Dari banyak jalan yang ada, berpisah adalah jalan yang kuambil, dari pada bersama dan saling melukai. Lebih baik pergi, dan menjalani kehidupan masing-masing.Aku yakin, sisa perhatian yang kuberikan pada Mas Iden akan menyiksanya. Suatu hari ia akan datang dengan segudang penyesalan. Saat hati itu tiba, aku akan mengatakan. Maaf, Mas, aku bukan tempat pembuangan sampah. Masa lalumu memungutmu, dan aku tidak akan melakukan hal itu.Sambil menunggu lampu kembali hijau, aku memutar lagu. Menikmati kesendirian dengan caraku.Kuturunkan kaca mobil, membiarkan udara masuk ke dalam dan mengisi rongga dada ini.Aku memicingkan mata, sebuah mobil berhenti di sebelahku. Bukan itu masalahnya, tapi ada sesuatu yang membuat semangatku dalam hitungan detik menggebu."Itu Sheri? Dengan siapa dia? What, mereka berciuman?"Aku cukup terkejut dengan pemandangan ini. Entah apa alasan yang membuat mereka dulu putus, dan kini menjadi sepasang suami istri. Yang jelas, aku tidak akan membiarkan pelakor itu menang. Dia memang berhasil memiliki raga dan jiwa suamiku. Tapi sayang, hal itu tidak akan berlangsung lama.Kali ini aku tidak boleh gegabah lagi. Aku harus mengumpulkan bukti-bukti yang akurat agar Sheri tidak bisa membuat alasan dan berkelit.Aku mencari benda pipih milikku, posisi mereka yang menguntungkan membuatku mudah mengambil foto mereka.Siapa pria itu?Aku seperti pernah bertemu dengannya.Suara klakson menyadarkanku. Buru-buru aku melanjutkan perjalanan. Kuharap wanita bernama Sheri itu tidak melihatku. Seingatku, ia memang tidak melirik ke samping.****Suara deru mobil membuat Mang Acing membuka gerbang rumah."Eh, Neng Mauren! Mamang kira siapa?"Mang Acing menundukkan kepala, gegas kubawa mobilku masuk dan berhenti di halaman depan."Mama sama Papa ada di rumah, Mang?" tanyaku pada Mang Acing."Ada," jawab Mang Acing."Bisa tolong bantu aku, Mang.""Bantu apa Neng?" tanya Mang Acing.Aku berjalan menuju bagasi mobil, lalu membukanya."Tolong turunkan koperku, Mang. Berat soalnya?""Loh, ini kenapa Neng Mauren pulang bawa koper segala? Mas Idennya mana Neng?"Mamang Acing menurunkan koperku. Pintu bagasi kembali di tutup."Lagi ada ada urusan, Mang. Aku masuk dulu,""Mau Mamang bantu bawa kopernya, Neng?""Tidak perlu Mang, terima kasih.""Sama-sama, Neng."Selesai mengobrol sebentar dengan Mang Acing. Aku masuk ke dalam sambil menarik koperku.Kubuka pintu perlahan, lalu menengok ke sekitar.Mobil Papa ada, itu artinya Papa di rumah.Aku memaksa kakiku melangkah, menarik koper masuk ke dalam rumah."Ma, Pa, aku pulang!" Setengah berteriak aku memanggil mereka. Meninggalkan koperku begitu saja diruang tamu, dan mencari keberadaan orang tuaku."Mama, Mauren pulang?""Mama sama Papa ada di dapur, Ren!" Kudengar suara teriakan itu segera mempercepat langkah. Sedikit berlari ke arah dapur."Kamu ke sini sayang?" tanya Papa. Nampak Papa sedang menikmati secangkir kopi sambil menemani Mama memasak."Nih Mama masakin makanan kesukaanmu, rencananya malam ini mau kunjungi kamu. Eeh, kamu ke sini, mana Iden?"Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Mama mematikan kompor, sedangkan Papa meletakan cangkir kopi itu di meja."Mauren,""Aku pulang, dan aku tidak akan kembali pada Mas Iden! Maaf, aku tidak bisa mempertahankan rumah tanggaku. Dia kembali pada masa lalunya, dan aku memilih menyudahi hubungan kami!"Papa dan Mama terperangah, bola mata mereka membulat."Maksudmu?""Dia menikahi mantan pacarnya, Pa. Diam-diam mereka kembali menjalin hubungan di belakangku. Maaf, kalian masih mau kan menerimaku?"Mama memelukku, ia menangis. Padahal sedikit pun aku tidak mengeluarkan air mata."Mauren, kenapa bicara begitu, rumah ini rumahmu Nak. Kapan pun kamu pulang, kami akan selalu menerimamu."Aku membalas pelukan Mama, melirik Papa yang bergeming. Dadaku seperti dihujani batu menatap kedua orang tuaku. Bukan hanya aku yang kecewa, mereka pun merasakannya."Kemarilah, Papa ingin memelukmu!" ucap Papa sambil merentangkan kedua tangannya.Aku melepas diri dari Mama, Papa beranjak bangkit. Aku menenggelamkan wajahku di dadanya."Tidak Pa-pa Mauren, hal seperti ini sering kali terjadi.""Dia membohongiku, dia pura-pura mencintaiku. Kenyataannya—""Jangan katakan apa pun lagi. Jangan menangis Nak, air matamu tidak pantas keluar untuk pria bajingan seperti Iden.""Bukan aku yang menangis, tapi kalian." Aku tertawa hambar, jempolku bergerak mengusap sudut mata Papa yang berair. Mama membimbingku ke kamar, sedangkan papa mengambil koperku.Part 7 (Meminta Tolong Zany!)"Zany kunci rumah sudah kamu ganti?" Aku bertanya pada Zany melalui sambungan telepon. "Sudah Bu, tadi ada sedikit masalah. Mertua Ibu datang kemari."Begitulah cerita dari Zany, bisa kusimpulkan. Keluarga Mas Iden sekarang sedang ketar-ketir."Apa yang Ibu mertua saya lakukan?""Mengamuk Bu, dia hampir memecahkan jendela rumah. Beruntung para tetangga dan Pak RT datang."Aku menghela napas, menutup tirai jendela. "Bodyguard yang kamu sewa belum datang?""Sudah Bu, sekarang mereka sedang berjaga.""Baguslah, kamu cepat antar mobil saya ke rumah Papa yah.""Siap Bu,""Ya sudah kalau begitu, kamu hati-hati di jalan, Zan,""Siap Bu."Setelah mendengar jawaban Zany aku memutuskan panggilan. Berjalan ke arah ranjang, dan merebahkan tubuhku di sana. Aku membuka aplikasi galeri, mencari foto Sheri yang sedang berpagutan dengan pria lain.Foto ini bisa kujadikan senjata. Bisa kugunakan sebagai alat untuk mencari bukti-bukti lain. Aku diam, bukan berarti aku
Part 8 (Memiliki Keduanya?)****Aku tidak menyangka kalau Mas Iden akan mendatangi kediaman Papa. Kendati demikian, kehadirannya di rumah ini membuat suasana menjadi tegang. Terlebih dia datang bukan sendirian, melainkan bersama Ibu dan saudara perempuannya."Ngapain kalian datang ke sini?" tanya Papa, sorot matanya tajam bak seperti pedang. Aku berdiri di ambang pintu, Mama dan Papa berusaha menghalangi Mas Iden masuk. "Kita ke sini mau ketemu, Mauren!" tutur Ibu mertuaku. "Buat apa? Sudah cukup kalian menyakiti putri saya?" murka Papa. "Aku minta maaf, Pa. Tolong biarkan aku bicara dengan Mauren!" Mas Iden memohon pada Papa. Memasang raut wajah memelas, dan ada sedikit penyesalan. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pergi kalian dari rumah saya!""Om Dedi jahat banget, masih untung kita datang ke sini baik-baik! Mauren udah ambil mobil Iden, usir Iden dari rumahnya sendiri!" ketus Kak Meli."Omong kosong!""Kalian salah paham. Mauren saja yang berlebihan, anakmu itu tidak
Part 9 (Rahasia Meli)**** "Terima kasih banyak, Pak," ucapanku pada Pak Ibrahim. Kami baru saja selesai berdiskusi. "Sama-sama, Bu, nanti jika ada berkas yang kurang. Saya akan langsung menghubungi Ibu," jawabnya. Aku menganggukkan kepala, memberikan senyuman tipis pada pria tampan yang ada di depanku ini. Kuperkirakan usianya sepantaran dengan Mas Iden. "Siap, Pak," "Kalau begitu saya pamit, Bu," "Hati-hati di jalan Pak." Kini giliran pria itu yang menganggukkan kepala. Ia lekas mengambil tas kerja miliknya di atas meja, lalu melangkah menjauh dariku. Setelah memastikan punggung itu menghilang dari penglihatanku. Diri ini kembali duduk. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Beberapa kali suara deringan berasal dari benda pipih ini. [Paket sudah sampai pada tujuan. Bu Meli histeris saat membuka paket tersebut.] Aku mengerutkan kening, tanpa bisa kutahan lengkungan tipis tertarik di sudut bibir. [Rekam dan kirim videonya pada saya.] Aku membalas cepat pesan yang Hengki kir
Part 10 (Kebakaran?) **** POV Iden. Aku masih tidak menyangka, kalau Mauren akan tahu hubunganku dengan Sheri. Rahasia yang selama ini kusembunyikan darinya terbongkar sudah. Dan ini lah yang terjadi, pernikahan kami sekarang ada di ambang kehancuran. Kalau boleh jujur, aku tidak mau kehilangan Mauren, tapi aku juga tidak bisa melepas Sheri. Aku ingin memiliki keduanya. Andai Mauren mau berbaik hati menerima pernikahan keduaku ini. Mauren benar-benar egois. Selama ini aku sudah berusaha mencintainya, akan tetapi bayang-bayang Sheri terus menari dalam benak ini. Aku yang tidak tahan lagi, akhirnya kembali dalam dekapan masa lalu. Harusnya Mauren mengerti. Apa tidak bisa memaklumi kekhilafanku ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? "Kembali lah pada masa lalumu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku di sini baik-baik saja. Terkadang sudah memiliki pun belum tentu dicintai. Jika suatu hari kamu menyesal, ingat aku tidak pandai memungut sampah." Dengan susah payah aku menel
Part 11 (Marah-marah Tidak jelas) **** Taksi yang kutumpangi berhenti di lokasi kejadian. Tempat di mana toko milikku kebakaran. Buru-buru aku keluar dari taksi. Melihat si jago merah sudah melahap habis tokoku. "Shit, masalah apa lagi ini?" gerutuku. Keramaian mengisi tempat ini, suara kebisingan dari pemadam kebakaran mendominasi. Tersisa bangunan yang hendak roboh, dan asap yang mengepul di udara. Isinya? Jangan tanya lagi. Sudah pasti hangus. Aku terus memaki dalam hati, segera mencari Seno. "Kamu di mana sekarang?" Aku menelepon Seno lantaran tidak menemukannya. "Ada di belakang toko, Pak," jawabnya. Setelah itu panggilan telepon langsung terputus. Aku mempercepat langkah, urat-urat leherku menegang. Belum selesai masalahku dengan Mauren. Kini toko ini malah kebakaran. Sesampainya di belakang toko, aku mengedarkan pandangan, mencari Seno di sekeliling. "Seno." Suaraku yang lantang memanggil namanya. Sesaat, pria itu menoleh. "Pak Iden," gumamnya sambil menghampiriku.
Part 12 (Paket Yang Dikirim Mauren) **** POV Mauren. Diruang tamu aku dan Zany sedang berdiskusi. Ada banyak hal yang sedang kami bahas. Melupakan sejenak urusanku dengan Mas Iden. Tadi siang ia menghubungiku, bertanya kenapa aku berubah. Memang ada orang yang baik-baik saja setelah dikhianati. "Bagaimana kalau foto ini, Zan?" Aku menunjukan foto Sheri pada Zany, meminta pendapat pria tersebut. "Yang ini, Bu?" tanya Zany mengambil foto tersebut dari tanganku. Hari ini rencananya, aku akan membuat Iparku dan Sheri itu makan tidak kenyang, tidur tidak pulas. Biar mereka tahu rasa sakit yang kurasakan sekarang. "Iya Zan." "Apa tidak ada foto lain, Bu. Foto ini kurang panas menurut saya," tutur Zany menekan kata panas. Aku memicingkan mata mendengar jawaban Zany, lalu menggelengkan kepala. "Tidak ada foto lain, Zan. Menurut saya foto itu yang paling panas," sambungku. Aku menatap kembali deretan foto yang ada di meja, foto-foto tersebut kudapatkan dari Hengki dan juga Zany. Aku
Part 13 (Paniklah!) **** "Bagaimana ini? Aku takut Mas Andriansyah akan tahu semuanya. Aku tidak mau hamil," lirih Meli pelan. Ia memeluk guling sambil menggelengkan kepala. Menurutnya, hamil hanya akan membuat tubuhnya jelek, tidak lagi seksi, dan lain sebagainya. "Kalau rahasiaku diketahui Mas Andriansyah. Aku pasti akan langsung diceraikan. Dan aku akan jadi janda." Meli bangun, lantas bersandar pada ranjang. Kepalanya berdenyut. Ia panik saat rahasia yang ia tutupi dari orang lain diketahui seseorang. Meli menatap ponselnya, layar benda pipih miliknya rentak. Beruntung ponsel tersebut masih bisa menyala. Ada beberapa notifikasi dari suaminya tertera di sana. [Meli, Mas hari ini pulang. Mas akan jemput kamu.] [Sayang, kamu sudah makan?] [Mas belikan kamu oleh-oleh. Kamu pasti suka.] Dan masih banyak lagi deretan pesan yang Andriansyah kirim. Meli bergeming, ia menatap memori card yang dikirim seseorang untuknya. Kira-kira siapa pelakunya, dari mana orang itu tahu rahasiany
Part 14 (Andriansyah Mulai Curiga?) ***** Malam harinya. Iden tidak bisa tidur, ia terus memikirkan Mauren. Ada saja perhatian Mauren yang membekas di ingatannya. Ia tidak pernah segelisah ini. Mauren tidak berarti apa-apa baginya. Namun semua itu berubah saat mereka berjauhan. Entahlah, Iden seakan sedang dilanda kerinduan yang mendalam. "Ada apa denganku?" Iden bertanya sambil menatap langit-langit kamar. Ia melirik ke kiri, melihat istrinya, Sheri tidur sambil memeluk Dea, putri kecilnya. "Kalau aku dan Mauren resmi bercerai? Apa Sheri bisa mengurusku seperti yang Mauren lakukan?" tanyanya lagi. Iden bangun, bersandar pada kepala ranjang. Kepalanya nyut-nyutan. Belum lagi pikirannya berkeliaran, di pandangnya Dea sekali lagi. "Aku mencintai Sheri, tapi aku tidak bisa kehilangan Mauren! Ahh, aku ini sebenarnya kenapa?" Kesal, Iden menarik rambutnya kasar. Ia dibuat bingung akan perasaanya. Apalagi sekarang, masalah datang bertubi-tubi menghampirinya. Badai yang sebelumnya ta