Part 13 (Paniklah!) **** "Bagaimana ini? Aku takut Mas Andriansyah akan tahu semuanya. Aku tidak mau hamil," lirih Meli pelan. Ia memeluk guling sambil menggelengkan kepala. Menurutnya, hamil hanya akan membuat tubuhnya jelek, tidak lagi seksi, dan lain sebagainya. "Kalau rahasiaku diketahui Mas Andriansyah. Aku pasti akan langsung diceraikan. Dan aku akan jadi janda." Meli bangun, lantas bersandar pada ranjang. Kepalanya berdenyut. Ia panik saat rahasia yang ia tutupi dari orang lain diketahui seseorang. Meli menatap ponselnya, layar benda pipih miliknya rentak. Beruntung ponsel tersebut masih bisa menyala. Ada beberapa notifikasi dari suaminya tertera di sana. [Meli, Mas hari ini pulang. Mas akan jemput kamu.] [Sayang, kamu sudah makan?] [Mas belikan kamu oleh-oleh. Kamu pasti suka.] Dan masih banyak lagi deretan pesan yang Andriansyah kirim. Meli bergeming, ia menatap memori card yang dikirim seseorang untuknya. Kira-kira siapa pelakunya, dari mana orang itu tahu rahasiany
Part 14 (Andriansyah Mulai Curiga?) ***** Malam harinya. Iden tidak bisa tidur, ia terus memikirkan Mauren. Ada saja perhatian Mauren yang membekas di ingatannya. Ia tidak pernah segelisah ini. Mauren tidak berarti apa-apa baginya. Namun semua itu berubah saat mereka berjauhan. Entahlah, Iden seakan sedang dilanda kerinduan yang mendalam. "Ada apa denganku?" Iden bertanya sambil menatap langit-langit kamar. Ia melirik ke kiri, melihat istrinya, Sheri tidur sambil memeluk Dea, putri kecilnya. "Kalau aku dan Mauren resmi bercerai? Apa Sheri bisa mengurusku seperti yang Mauren lakukan?" tanyanya lagi. Iden bangun, bersandar pada kepala ranjang. Kepalanya nyut-nyutan. Belum lagi pikirannya berkeliaran, di pandangnya Dea sekali lagi. "Aku mencintai Sheri, tapi aku tidak bisa kehilangan Mauren! Ahh, aku ini sebenarnya kenapa?" Kesal, Iden menarik rambutnya kasar. Ia dibuat bingung akan perasaanya. Apalagi sekarang, masalah datang bertubi-tubi menghampirinya. Badai yang sebelumnya ta
Part 15 (Bertemu Denganmu?)**** Keesokan paginya, Iden mendapatkan pesan dari Mauren. Hal sekecil itu membuat lengkungan tipis di sudut bibirnya terukir. Ia seperti orang yang mendapat undian berupa mobil. [Mas, kita bisa ketemu hari ini?] Begitulah kira-kira pesan yang Mauren kirim. Iden terlonjak, ia segera mengirim pesan balasan. Tidak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Aneh, dia yang tidak cinta, dia pula yang menahan rindu yang menyesakkan dada. Apa ini yang orang bilang, cinta datang terlambat. Ah, semoga ini bukan cinta. [Bisa.] Cukup lama Iden menunggu balasan dari Mauren. Ia menyeruput kopi sambil mengusap punggung si kecil yang ada di pangkuannya. Ting! [Di rumah kita, bawa anak kamu. Aku pengen kenalan. Cuma kita bertiga, jangan bawa siapa-siapa lagi selain putrimu.] Iden tersentak, ia memicingkan matanya. [Maksudnya, aku cuman boleh bawa Dea?] [Iya. Kalau kamu gak mau juga nggak pa-pa.] [Bukan begitu, Mas akan pulang ke rumah kita.] [Oke.] Balas Mauren c
Part 16 (Helaian Rambut Dea) ****Iden mendekat, ia mengikis jarak yang ada. Membuat Mauren lebih mudah mengamati bayi tersebut. Hasil buah hatinya bersama Sheri. Tidak ada yang mirip dengan Mas Iden, hidungnya, pipinya, alisnya, entah mengapa mata anak ini mengingatkanku pada Boy. Dia sahabat Mas Iden. Pikir Mauren. "Ren." Perempuan itu tersentak, lalu menyudahi lamunannya. "Kamu kenapa?" tanya Iden khawatir, pasalnya Mauren dari tadi diam saja sambil terus memandangi putrinya. "Aku nggak pa-pa, Mas," jawab Mauren. Iden mengembuskan napas, ia senang bisa bertemu Mauren. "Kamu gak kangen sama suamimu? Biasanya setiap hari kamu nempel terus?" Entah pertanyaan macam apa yang Iden ajukan. Mauren ingin memuntahkan isi perutnya mendengar hal itu. Demi Tuhan, bisa-bisanya Iden bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa pun padanya, dan juga hatinya ini. Bahkan luka yang Iden gores padanya masih basah, belum kering. "Itu dulu," "Apa bedanya dengan sekarang Mauren. Kamu ma
Part 17 (Secuil Perhatian)***"Mas harus pulang sekarang, ini Sheri nanyain Dea," ujar Iden membuat Mauren menoleh. "Ya sudah sana pulang," jawab Mauren. Iden menghela napas, lalu membuangnya perlahan. Berharap Mauren akan menahannya lebih lama lagi. Tapi apa kenyataannya, Mauren seakan tak perduli padanya. Perempuan itu bahkan terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya pada Iden. Secepat ini Mauren berubah. Istri pertamanya tak lagi sehangat dulu. Senyum menggembang tak lagi terukir dari sudut bibirnya. "Mauren—""Aku tidak akan menahanmu Mas, silakan lakukan apa yang kamu mau. Aku sudah tidak perduli," ungkap Mauren. Jantung Iden seakan berhenti berdetak, ia memalingkan muka, perasaannya makin tak karuan. Hanya itu yang Mauren ucapkan, namun berhasil membuat hatinya berdenyut nyeri. Perempuan itu bangkit dari duduknya, membantu Iden mengemasi barang-barang bawaannya. Terkadang manusia cepat sekali berubah. Hari ini kamu segalanya, besok kamu bukan lagi prioritas."Mas pesan
Part 18 (Amarah Yang Membara!) *** "Bagaimana kabarmu, Mauren?" tanya Andriansyah. Mereka sekarang ada di warung soto dekat rumah Mauren. "Kabarku baik. Aku dengar Kakak beli rumah?" Andriansyah menganggukkan kepala. "Iya, Kakak baru beli rumah. Meli bilang belum mau punya anak kalau kami masih tinggal dikontrakkan. Tapi setelah punya rumah, dia kelihatan ragu," jelasnya. Beberapa saat Mauren diam, dia menatap Andriansyah kasihan. "Oya Mauren, maaf, kakak mau tanya. Benar kalau Iden menikah lagi?" Andriansyah bertanya pada Mauren. Mereka sudah lama saling kenal, bahkan Andriansyah menganggap sudah Mauren seperti adiknya sendiri. "Iya, Mas Iden menikah lagi." "Jadi wanita yang tinggal di rumah Ibu itu istri kedua Iden?" "Iya, Kak." Andriansyah menarik napas, ia memperbaiki posisi duduknya yang terasa tak nyaman. "Maaf." "Untuk apa? Kakak tidak bersalah?" "Kakak tidak tahu, Meli menyembunyikan hal sebesar ini dariku." Iden menyeruput es jeruk yang ia pesan tadi. Ia memalin
Part 19 (Pertengkaran Hebat!) *** "Jelaskan foto-foto itu sekarang! Apa benar, kamu telah mengugurkan kandunganmu?!" Bagai disambar petir, sekujur tubuh Meli membeku. Tulang persendian perempuan itu melemas, Andriansyah dengan kasarnya melempar foto tersebut padanya. "Jawab, Mel!" hardik Andriansyah dengan suara menggelegar. Meli membisu, mulutnya seketika keluh. Jantungnya seakan berhenti berdetak. "Kenapa kamu diam saja? Kamu tega melenyapkan darah dagingmu sendiri? Kenapa kamu tidak bilang saja padaku, kalau kamu tidak Sudi punya anak dariku?" Tanpa aba-aba buliran bening meluncur dari pelupuk mata Meli. Perempuan itu menutup mulutnya dengan telapak tangan, syok lantaran suaminya telah mengetahui rahasia yang selama ini ia tutupi. "Maksud kamu apa Andriansyah? Meli tidak hamil, jangan menuduh anakku yang macam-macam. Mana mungkin anakku mengugurkan kandungannya. Kamu ini ngaco saja!" bentak Ibu Meli. Andriansyah tertawa kecil, ia berjalan mengitari Meli, lalu berhenti tepa
Part 20 (Obrolan Ditengah Heningnya Malam) *** "Kamu sudah coba hubungi suamimu, Mel?" tanya Sani. "Sudah, Bu, tapi belum di angkat," jawab Meli lesu. Ini sudah kesekian kaliannya Meli mencoba menghubungi suaminya. Pasalnya, sampai larut malam Andriansyah tak juga pulang ke rumah. Entah kemana perginya pria itu. Meli benar-benar khawatir. Ini untuk pertama kalinya Andriansyah tidak memberinya kabar. "Bu, aku takut. Bagaimana ini jika Andriansyah benar-benar menceraikanku," lanjutnya. Sani beranjak bangkit, ia merengkuh pundak putrinya. "Berpikir positif, mungkin Andriansyah butuh waktu." "Iya Kak, biarkan dulu beberapa hari. Aku yakin, Kak Andriansyah akan kembali pada Kakak," sahut Sheri sambil mengusap punggung kecil Dea. Ia datang ke sini lantaran Iparnya menangis meminta Iden untuk mencari suaminya. "Tapi Sher—" "Benar apa yang Sheri katakan, jangan terlalu kamu pikirkan. Harusnya Andriansyah mengerti alasanmu. Ini masalah kecil, suamimu saja yang lebay." Sani berujar sa