Share

Dear, Pak Dokter
Dear, Pak Dokter
Author: Riri riyanti

awal kisah

"Will you marry me?"

Pipi gadis itu memerah, bersamaan dengan kedua telapak tangannya menutupi bibir berlipstik nude miliknya. Wajah jelita itu terlihat begitu terkejut sekaligus bahagia di saat yang hampir sama kala kedua mata indahnya menatap sebuah cincin bertahtakan permata kecil berwarna putih yang ditujukan oleh sebuah tangan besar untuknya.

"Baby, kenapa diam saja?" suara lelaki itu kembali terdengar kala sang gadis hanya termangu, seakan khawatir jika lamaran tersebut akan di tolak oleh pemilik paras cantik tercintanya; kekasihnya.

Tak lama, terdengar tawa renyah yang meluncur dari bibir tipis sang gadis, ujung jemari lentiknya terlihat mengusap kedua butir air bening di kedua sudut matanya; tangis bahagia, sebelum menjawab pertanyaan lelaki di hadapannya.

"Yes, I will!" gadis itu menjawab mantap. Raut wajah ayu itu tersenyum manis, seiring desahan napas lega yang terdengar dari si lelaki.

"Thanks, Rean—"

Sebelum kalimat dari sang pria terucap sempurna, suara bantingan barang terdengar cukup kencang setelahnya, seiring matinya televisi di depan gadis yang meringkuk di kaki ranjang. Tangis pilunya terdengar begitu menyesakkan.

Ia mengabaikan begitu saja benda persegi berukuran besar yang baru saja ia lempar dengan remote control, hingga asap keluar dari dalam tabungnya. Sungguh, Ia sudah tidak lagi peduli tentang bagaimana nasib televisi cembung layar dua puluh satu inchi yang ia beli dengan uang sisa gaji yang sudah susah payah ia kumpulkan selama beberapa bulan itu. Hatinya begitu sakit, bahkan lebih remuk dari keadaan benda di depannya yang kini menjadi rongsokan.

Ia baru saja menonton video amatir yang di rekam oleh tunangannya saat lelaki itu melamarnya, beberapa bulan yang lalu. Ia sangat bahagia kala itu, di mana hubungan mereka sebagai sepasang kekasih akan segera berubah menjadi pasangan suami-istri, ikatan cinta yang telah lama mereka bina akan segera bermuara pada hubungan serius; pernikahan.

Bagaimana tidak? Mereka sudah empat tahun lamanya berpacaran, empat tahun merajut impian bersama, empat tahun menghadapi suka dan duka, empat tahun dalam tawa dan air mata. Dan sebentar lagi mereka akan menjadi keluarga yang seutuhnya.

Yah, setidaknya itulah impiannya.

Nyatanya impian terkadang tak sejalan dengan kenyataan.

Gaun malam berwarna kelam cantik itu masih melekat di tubuhnya. Polesan makeup waterproof masih setia menempel pada wajah yang kini penuh derai air mata. Ia masihlah terlihat jelita meskipun kedua pipinya terdapat jejak hitam bekas maskaranya yang luntur. Rambut lurus nan berkilau itu terlihat kusut tak teratur.

Seharusnya ia pulang dari makan malam bersama sang kekasih dengan meninggalkan rasa bahagia. Tapi, siapa sangka yang terjadi justru sebaliknya?

Ia hancur sehancur-hancurnya. Marah semarah-marahnya. Dan kecewa, itu hal yang paling mendominasi perasaannya. Ia tak sedikit pun menyangka jika lelaki yang amat ia cintai dan percaya akan dengan tega mengkhianatinya.

'Dia hamil anakku.'

Suara frustrasi lelaki itu kembali berputar di kepalanya, sukses kembali memporak porandakan hatinya, meremas kuat jantungnya hingga ia merasa sesak.

Dengan isakan yang tertahan, ia menekuk lutut, memeluk kakinya, menenggelamkan wajah dengan sejuta kesedihan itu pada kedua lengannya. Benaknya kembali mengingat setiap serpihan memori indah bersama Kalandra, tunangannya, sebelum ia akan mengubur dalam-dalam segalanya.

Ya, ia akan menangis sepuasnya malam ini, dan ia berjanji keesokan harinya ia akan menjadi gadis yang lebih kuat lagi. Ia tidak akan lagi menangisi kisah cintanya yang berakhir menyedihkan ini.

***

"Sedang apa?" pria itu menghampiri seorang wanita yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjangnya; sedang serius membaca sebuah buku. Tangan kanan wanita itu sedang membuka sebuah halaman dari buku yang ia pegang.

Wanita itu mendongak, menatap pria yang baru saja memasuki kamar mereka, kemudian tersenyum manis.

"Kamu melihatnya sendiri, Sayang." Ia menunjukkan sampul bukunya.

Pria itu tersenyum saat mengetahui jika buku yang dibaca sang istri tak lain adalah buku tentang tata cara mengasuh anak. Ia tahu, istrinya sangat antusias menyambut kelahiran bayi pertama mereka.

"Tidurlah. Tidak baik ibu hamil tidur larut malam." Pria itu membelai dengan sayang rambut halus wanitanya, kemudian ikut berbaring di sisinya.

"Baiklah. Aku akan jadi istri penurut malam ini." Wanita itu menurut, ia menutup buku yang lumayan tebal itu kemudian meletakkannya di atas meja yang berada di sisi tempat tidur mereka.

"Kemarilah." Pria itu merentangkan tangannya.

Tentu rentangan tangan besar itu disambut oleh senyum malu-malu sang istri, sebelum wanita itu menenggelamkan tubuhnya pada pelukan hangat suaminya; itu merupakan posisi favoritnya.

"Kamu tahu, tempat ternyaman untuk tidurku di mana, Sayang?" wanita itu bertanya dalam dekapan suaminya, tentu hal itu memancing senyuman jahil keluar dari bibir merah kecokelatan si pria.

"Di mana, hm?" pria itu pura-pura tidak tahu. Ia segera mendaratkan sebuah ciuman sayang pada puncak kepala wanitanya. Entah Kenapa ia sangat merindukan momen tersebut. Ia ... seperti sudah lama sekali tidak melakukan hal tersebut pada Istrinya.

"Di sini. Dadamu adalah bantal ternyaman bagiku, Nathan." Wanita itu berucap dengan jari lentiknya menyentuh pelan dada bidang sang suami.

Nathanael Adams, pria berambut pirang itu terkekeh ringan, tangannya yang bebas mengacak pelan rambut panjang lembut istri dalam dekapan, "Yah ... begitu pula denganku. Sepertinya akan terasa aneh jika tidak ada kamu dalam pelukanku saat tidur. Seperti ini." Ia mengeratkan pelukannya.

Namun, di detik berikutnya ia terdiam, Ia merasa seperti pernah melakukan hal itu di masa lalu. Tetapi ia memilih mengabaikannya.

"Tapi kamu harus terbiasa seperti itu, Sayang."

Pria itu sedikit terkejut saat istrinya justru mendorong dadanya, kemudian menatap protes pada mata birunya.

Pria itu mengerutkan keningnya tak suka. "Kenapa berkata begitu?"

"Dia." Sang wanita meraih tangan suaminya, mengarahkannya pada perutnya yang buncit. "Jika bayi kita lahir nanti, semua akan berubah, Sayang. Dia akan menjadi prioritas kita. Kamu harus mulai terbiasa tidur tanpa memelukku," ungkapnya kemudian.

Pria itu tetap tidak merubah mimik wajahnya. Namun, tangan besar itu mulai membelai sayang tempat calon anaknya yang sedang berkembang.

"Aku akan tetap memelukmu, saat anak kita sudah terlelap adalah giliranku." Ia tersenyum menang di akhir kata, dengan tatapannya yang tak lepas dari wajah cantik istrinya. Ia tak tahu mengapa, tapi perasaannya ingin terus memandangi wajah itu. Ia merasa sudah sangat lama merindukannya.

"Kamu ini ...." kini giliran sang istri yang mengacak kasar rambut pirangnya. Dan pria itu hanya bisa tertawa menanggapinya.

"Apakah sudah waktunya?" tanya pria itu saat menyadari betapa besarnya kandungan sang istri, usapannya tak berhenti.

Seketika bola mata wanita itu meredup kemudian menunduk, menatap tangan suaminya yang membelai sayang tempat janinnya berkembang. Ia terlihat bimbang.

"Sebenarnya ada sedikit hal yang mengganggu pikiranku, Nathan," ungkapnya dengan sedikit ragu.

"Katakanlah."

"Anu ...." wanita itu seakan merasa berat untuk mengatakan apa yang sedang bersarang dalam angan. Ia seperti tengah menimbang-nimbang apa yang akan ia ucapkan.

"Hm?"

Wanita itu menatap kedua mata biru suaminya dengan pandangan pilu sebelum berucap. "Jika ... seandainya aku meninggal saat melahirkan, bagaimana?" sang istri bertanya takut-takut.

Kerutan di dahi Pria itu semakin dalam setelah mendengar pertanyaan istrinya. Sejujurnya ia merasa takut jika hal itu benar terjadi. Ia sangat tahu bagaimana proses melahirkan itu berlangsung, ia adalah seorang dokter kandungan.

"Jangan berkata seperti itu lagi, Anya. Aku tidak suka pertanyaanmu." Meskipun kesal, namun pria itu tetap melembutkan ucapannya. Kedua mata birunya menatap cemas kedua mata istrinya yang mulai berkaca-kaca.

"Ta-tapi aku takut ...." dan air bening yang tergenang dalam pelupuk mata wanita itu akhirnya tumpah, seiring rasa sakit yang menghujam jantung si pria kala melihat seorang yang dicintainya meneteskan air mata.

Lagi-lagi ia merasa pernah berada di posisi itu.

Mengabaikan rasa aneh dalam hatinya, pria itu segera memeluk tubuh istrinya lebih erat, berusaha membuang rasa tidak enak di dalam dada.

"Sstttt ... kamu akan baik-baik saja, oke?" ia berbisik pelan, tangannya yang bebas mengusap perlahan punggung bergetar sang istri. "Kamu harus yakin, kamu dan juga bayi kita akan selamat. Aku sangat mencintaimu. Jangan pernah berpikir sedikit pun untuk pergi lebih dulu dariku." Kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibir merah kecokelatannya.

Wanita itu mengurai pelukannya, menatap teduh wajah suaminya kemudian membelai rahang tegasnya. Senyuman manis terbit dari bibirnya yang bergetar akibat menangis.

"Aku juga sangat mencintaimu, Nathan. Lebih dari apapun yang kamu tahu. Aku akan selamanya tinggal di sini." Jari lentik itu kembali menyentuh dada bidangnya.

Namun, entah mengapa senyuman itu terlihat semakin jauh dari pandangan mata birunya, seiring tubuh sang istri yang semakin tak terjangkau oleh kedua tangan besarnya. Hatinya terasa diremas.

Pria itu menatap kosong pada sosok sang istri yang terlihat memudar di hadapannya, setetes air mata turun di pipinya. Ia kini sadar bahwa ia sedang bermimpi.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Carilah penggantiku, secepatnya. Untuk anak kita." Ucapan itu terdengar menggema di telinga sang pria sebelum sosok istrinya benar-benar menghilang dari pandangan.

"Anya, jangan pergi ...."

.

.

"ANYA!"

Pria itu terduduk dengan cepat, napasnya memburu disertai keringat dingin membasahi pelipisnya. Pandangan matanya lurus ke depan, tepat di depan potret besar Anya; istrinya yang sudah meninggal hampir tiga tahun lamanya.

Ah, ia baru saja bermimpi, dan itu terasa sangat nyata.

Dan mimpi itu membuatnya mau tidak mau kembali pada kenyataan pahit di hidupnya, bahwa orang yang sangat ia cintai di dunia ini sudah tidak lagi menapaki bumi yang sama dengan dirinya. Ia kembali merindukannya, rindu yang tak akan mungkin ada penawarnya.

Pria itu mengusap wajahnya kasar, kemudian mendesah lelah. "Haahhhhhh ..."

.

Bersambung...

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Diego
Very good...
goodnovel comment avatar
Rendra Uyee
Keren banget ini cerita
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status