Share

salah sasaran

Ingar-bingar terdengar memekakkan telinga Reanna. Pria dan wanita berbaju kurang bahan memenuhi penglihatannya sejauh mata indah itu memandang. Ia menyapukan tatapannya ke segala penjuru ruangan temaram nan penuh sorot lampu warna-warni itu, dan ia merasa tidak cocok duduk di sini.

Ia memakai pakaian yang masih bisa dikatakan wajar, tidak terlalu seksi menurutnya. Ia hanya memakai gaun berwarna hitam selutut tanpa lengan dan menguncir tinggi rambut gelapnya. Namun, entah mengapa mata para pria yang ada di sana terasa selalu memperhatikannya. Ia merasa tidak nyaman.

Gadis itu meraih tas tangannya, mengambil handphone dari dalamnya. Ia berpikir dapat membunuh waktu dengan bermain telepon genggam miliknya, sembari menunggu Tisha kembali. Sahabatnya itu sedang memesankan minuman untuk mereka.

"Segelas Coca-Cola untukmu, dan segelas Long Island Ice Tea untukku."

Ucapan Tisha sedikit membuatnya kaget, sahabatnya itu tiba-tiba sudah ada di depan mata. Tentu Reanna segera kembali memasukkan handphonenya ke dalam tas kecil yang berwarna senada dengan gaunnya di atas meja.

"Terima kasih," ucap gadis manis itu saat melihat Tisha meletakkan dua buah gelas berkaki dengan warna cairan yang hampir mirip itu di atas meja mereka.

"Kamu ingin turun ke sana?" Tisha menunjuk ke lantai dansa, banyak pria dan wanita sedang meliukkan tubuhnya menikmati alunan musik di bawah sana.

"Tidak," jawab Reanna, singkat. Ia tidak mungkin mau turun ke sana saat kedua matanya tanpa sengaja menangkap seorang pria dan wanita saling bercumbu di antara banyak pasangan lainnya. Ia risi.

"Lalu, kenapa kamu diam saja? Setidaknya ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu." Tisha menatap penuh perhatian pada sahabatnya. Tangan kanannya terulur, menggenggam tangan kiri Reanna yang ada di atas meja. "Kita ini masih bersahabat 'kan, Re?"

Reanna terdiam cukup lama, ia menimbang-nimbang apakah harus menceritakan masalahnya pada Tisha atau tidak. Jujur saja hatinya pun sudah terlalu lelah menyimpan kisah menyedihkan itu untuk dirinya sendiri. Mungkin jika ia membaginya dengan sang sahabat, hatinya akan merasa lebih baik, pikirnya.

"Sebenarnya aku bingung, Sha." Gadis itu mendongak, membalas tatapan Tisha. "Kemarin semuanya masih baik-baik saja, tidak ada yang aneh dengan perilakunya. Tapi—" ucapan Reanna terpotong oleh sesak yang tiba-tiba kembali meremas dadanya.

Melihat hal itu, Tisha mempererat genggaman tangannya, menguatkan. Reanna menghela napas panjang sebelum melanjutkan kata-kata, berusaha membuang sesak yang memenuhi paru-parunya.

"Wanita yang tadi siang bersamanya sedang hamil, Sha. Dia menghamili wanita itu. Sulit sekali aku mempercayainya." Pada akhirnya gadis itu menangis. Niatnya untuk tak lagi menghabiskan air mata untuk lelaki itu gagal sudah.

Mata Tisha membola, tangan kanannya secara refleks menutup mulutnya. Ia speechless.

"Aku tidak menyangka lelaki dingin seperti Kalandra bisa melakukan hal seperti itu." Tisha terlalu terkejut mendengar fakta itu dari mulut Reanna, sehingga ia tidak bisa berkata-kata. Biar bagaimanapun, Kalandra terlihat seperti lelaki baik-baik selama ini di matanya.

Mungkin jika ia berada di posisi Reanna, ia tidak akan sekuat gadis itu. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya ngilu.

"Katakan padaku, apa salahku, Sha?! Selama ini aku selalu setia padanya. Aku tidak pernah menuntut apa pun darinya, meskipun itu hanya sekedar memintanya menemuiku. Aku mengerti betapa sibuknya ia bekerja. Tapi ternyata ...." Reanna kembali tersedu, dengan air mata yang membanjiri kedua pipinya. "Kenapa dia jahat sekali padaku?" gadis itu meratap pedih. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang memerah karena menangis.

Tisha hanya mampu menatap Reanna dengan prihatin. Ia sangat tahu bagaimana sakit hatinya gadis itu. Padahal mereka sudah bertunangan, dan setahu Tisha mereka juga sudah merencanakan pernikahan di akhir tahun ini. Yah, meskipun ia juga tahu jika Kalandra belum secara resmi bertemu keluarga Reanna.

Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Menghamili wanita lain? Astaga ... Tisha masih tidak menyangka jika Kalandra sebrengsek itu.

Tisha mengusap punggung bergetar Reanna, berusaha meredakan tangis pilunya. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.

"Kamu mengenal wanita itu, Re?" setelah keheningan yang cukup lama di antara mereka, Tisha kembali bertanya.

Reanna menghapus jejak air matanya setelah ia sudah merasa lebih tenang. Ia tidak akan menangis lagi setelah ini.

"Namanya Olive. Setahuku, dia teman sekantor Kalandra. Entahlah," jawab Reanna. Tangan kanannya mengambil salah satu minuman di atas meja, lantas meminumnya hingga tandas. Setelahnya, ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu kembali ke tempat semula dengan keras. "Fuaahhhhh!"

Sedangkan Tisha tampak melongo melihat Reanna meminum minuman itu dengan rakus. Ia merasakan firasat buruk.

"Ngg ... ngomong-ngomong, kamu salah mengambil minumanmu," ungkap gadis itu dengan sudut mata sedikit berkedut. Sahabatnya yang tidak tahan alkohol itu baru saja meminum minuman yang seharusnya miliknya!

"Ah? Bukankah itu es teh?" Reanna mengerutkan keningnya tidak mengerti. Memangnya kenapa kalau ia salah meminum minuman milik Tisha? Bukankah selama ini mereka sering berbagi minuman? Namun, sejujurnya Ia merasa es teh yang ia minum ini sedikit berbeda. "Rasanya aneh."

"Es teh? Astaga, Re ... itu bukan es teh seperti yang kamu pikirkan!" Tisha menatap tajam mata Reanna, ia merasa khawatir dengan reaksi tubuh gadis itu setelah meminum minuman yang memiliki kadar alkohol tinggi miliknya. Ia memperhatikan baik-baik segala ekspresi sang sahabat. Gadis berambut gelap itu sedang memegangi kepalanya. "Kamu ... baik-baik saja?"

"Kepalaku ... be-rat." Dan pada akhirnya kepala Reanna jatuh terkulai di atas meja tersebut.

"Hey, Rea!" Tisha berseru dengan panik. Ia menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya. Namun, tiada respons apa pun dari Reanna. Setelahnya, gadis itu segera berlari tergesa menuju pintu keluar dari tempat itu.

***

"Kamu ingin turun bersamaku?" Arvi menunjuk lantai dansa yang penuh sesak itu dengan ekor matanya.

Yah, pada akhirnya Arvi berhasil menyeret duda tampan itu ke tempat ini; kelab malam yang ia bicarakan saat ia mengunjungi ruangan praktik Nathan. Meskipun ia tahu pria pirang itu datang ke sini dengan terpaksa.

"Kamu saja," tolak Nathan. Pria itu kemudian mendudukkan diri di kursi tinggi yang ada di depan meja bartender. "Aku akan duduk dan minum di sini dengan tenang," lanjutnya.

Pria jangkung berwajah campuran negara benua Eropa itu terlihat sedikit berbincang dengan bartender yang ada di sana. Hiruk pikuk suasana di sekitarnya mengaburkan obrolan mereka.

"Yah, terserah kamu sajalah. Asal kamu yang traktir." Arvi bergumam dengan mengedikkan bahunya acuh, sebelum akhirnya tubuh besar itu menghilang dari pandangan mata biru Nathan, bersatu dengan lautan manusia di tengah sana.

***

"Ngghhhh ..." Reanna melenguh saat kesadarannya kembali. Ia mencoba mengangkat kepalanya yang terasa berkali-kali lipat lebih berat dari biasanya dengan sekuat tenaga. Matanya terpejam erat dengan ringisan di bibirnya ketika kepalanya terasa sakit, seakan baru saja terbentur sesuatu. Tangan kanannya otomatis terangkat untuk memijit keningnya. "Pusing."

Ia terdiam beberapa saat, menunggu sakit kepalanya mereda. Setelahnya, ia membuka kelopak matanya perlahan, dan ia mendapati pandangannya mengabur. Reanna mengucek matanya berkali-kali agar pandangannya kembali jelas. Namun, tidak berhasil.

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan dengan musik mengentak itu. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa berada di sini.

Namun, saat pandangan mata itu tanpa sengaja menangkap sesosok lelaki berkemeja biru dongker di depan sana, gadis itu segera bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah sempoyongan, Reanna berjalan mendekati sosok itu. Ia ... merasa mengenalnya.

Ah tidak, bahkan sangat mengenalnya.

Reanna berdiri tegak tepat di samping sosok lelaki yang sedang meminum minuman berwarna merah setelah posisinya sudah begitu dekat. Gadis itu menatap tanpa berkedip, dengan matanya yang entah sejak kapan sudah berkaca-kaca.

"Kal, kamu jahat sekali!" Reanna berteriak pada seseorang di depannya.

Mendengar suara dari sisinya, pria itu menoleh. Mata birunya mendapati seorang gadis tengah menatapnya dengan berlinang air mata. Pria itu mengerutkan alisnya, bingung.

"Maaf?" tanya pria itu tidak mengerti. Ia sama sekali tidak mengenali gadis itu. Apakah gadis di depannya ini salah orang?

Namun ...

Belum selesai rasa bingungnya, pria itu dikejutkan dengan tamparan yang dilayangkan secara tiba-tiba oleh gadis di depannya. Tamparan itu sangat keras, seakan dilakukan dengan sepenuh tenaga dan emosi yang meluap-luap sehingga membuat wajah tampan itu tertoleh dengan paksa dan meninggalkan bekas merah yang sangat kentara di pipi kirinya.

.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status