Share

premenstrual syndrome

"Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya.

"Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.

Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha.

"Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap.

"Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melenguh sambil mengigau. Tangan kirinya mengusap jejak air liur di pipinya. Reanna mengernyit jijik dibuatnya.

"Hey, Sha ... bangun sekarang! Ada yang harus kamu jelaskan padaku!" Reanna menguatkan guncangannya di tubuh Tisha, agar sahabatnya itu segera bangun. Ia sedikit kesal dengan sifat sahabatnya yang tukang tidur.

Dan usaha Reanna akhirnya membuahkan hasil. Mata gadis yang tidur di sisinya itu perlahan terbuka.

"Nghh? Oh, Rea?" Tisha mengucek matanya saat menatap wajah sahabatnya, kemudian menguap sebelum membangkitkan diri dari posisi nyamannya. "Kamu sudah bangun."

Reanna menatap Tisha dengan sebal. "Aku menunggu penjelasanmu."

Tisha sedikit melakukan peregangan pada tubuhnya sebelum menjawab pertanyaan Reanna. Dan hal itu sukses membuat Reanna berdecak tidak sabar.

"Ya, baiklah. Kamu mabuk berat dan menampar lelaki tak dikenal semalam," ungkap Tisha apa adanya.

Mendengar jawaban itu, sukses membuat Reanna mengerutkan kening tidak percaya.

"A-apa? Aku? Mabuk? Kenapa bisa? Bukankah kamu memesankanku cola?" tanya Reanna bertubi-tubi. Ia mulai ingat jika semalam ia dan Tisha datang ke kelab malam, dan seingatnya ia sama sekali tidak menyentuh alkohol; ia tidak tahan dengan minuman seperti itu.

"Kamu salah mengambil minumanku, Bodoh! Aku memesan minuman beralkohol tapi kamu mengira itu es teh," jelas Tisha pada akhirnya. Kedua tangannya bersedekap, menatap sebal pada wajah terkejut Reanna.

"Ya Tuhan ..." Reanna menutup mulutnya kaget. Pantas saja ia bisa mabuk, ternyata ia melupakan momen itu. "L-lalu bagaimana? Apa yang terjadi padaku selanjutnya?" sungguh, firasatnya buruk saat menanyakan hal itu.

Ah, Reanna jadi teringat saat pertama kalinya ia mencoba alkohol bersama Tisha. Ia menjadi pemain sirkus di depan banyak orang kala itu, dan sukses mempermalukan dirinya sendiri. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menyentuh minuman laknat tersebut.

Tapi apa ini? Apakah hal memalukan itu terulang kembali?

"Kamu menjadi bahan tontonan semalam. Aku melihatnya sendiri." Tisha tertawa terbahak di tengah ucapannya. Sedangkan Reanna membatu, firasat buruknya benar. "Kamu menempel-nempel pada lelaki itu. Kamu mengira jika lelaki itu adalah Kalandra. Kamu bilang 'aku mencintaimu, Kalandra~ Aku mencintaimu~' hahaha, lucu sekali," lanjut Tisha dengan ekspresi yang membuat Reanna bergidik ngeri. Ia seakan tak percaya jika ia benar-benar melakukan hal yang diceritakan oleh sahabatnya.

Reanna meraung dalam hati. Betapa memalukannya hal yang sudah ia perbuat!

"Semua itu gara-gara kamu, Sha! Kamu yang mengajakku ke pub! Aku ini sedang patah hati!" ucap Reanna dengan kesal. Ia kembali menatap wajah tidak bersalah itu dengan sebal. Kedua pipinya menggembung lucu saat gadis itu marah.

"Aku 'kan hanya mencoba menghiburmu. Mana aku tahu kalau akan menjadi seperti itu?" Tisha hanya mengedikkan bahunya acuh, kemudian mengalihkan pandangannya dari sang sahabat. Sejujurnya ia memang sedikit merasa bersalah, tapi gengsi untuk mengakuinya.

Reanna menghela napas panjang setelahnya.

"Ya sudahlah ..." ucap gadis itu pada akhirnya. Ia terdiam, benaknya tengah mengingat sesuatu. Sepertinya ... ada sesuatu yang kurang.

Ah, ia ingat sekarang!

Bukankah semalam ia membawa tas?

Mata cantiknya lantas memperhatikan ke sana dan kemari, mencari benda tersebut.

"Ngomong-ngomong, di mana tasku?" tanya Reanna kemudian saat ia tidak menemukan apa yang ia cari di sekitarnya.

"Tas apa?" Tisha kembali menatap Reanna dengan pandangan bertanya.

"Tas yang kubawa semalam, Tisha!" Reanna meraung frustrasi. Firasat buruknya kembali muncul.

"Astaga!"

"Jangan bilang kamu meninggalkannya di sana?" Reanna melirik jengkel dengan ekor matanya.

"Aku tidak ingat jika kamu membawa tas. L-lagi pula semalam sangat kacau, aku jadi lupa. Maafkan aku ya, Re?" dan Tisha akhirnya meminta maaf juga. Kali ini ia memang benar-benar merasa bersalah.

Reanna menggigiti kukunya; tanda ia sedang khawatir, pasalnya ada benda penting di dalam tas itu. Ia takut jika benda tersebut hilang.

"Lalu bagaimana? Ada handphoneku di sana."

Tisha menatap ke sana-kemari, ia juga bingung harus bagaimana. Pengunjung kelab malam semalam sangat banyak, kemungkinan kecil jika benda tersebut tidak lenyap.

"K-kita akan mencarinya nanti malam. Semoga saja ada pegawai yang menyimpan tas itu."

***

"Papa cakit?" Kia menaruh sendok makannya. Mata bulat besar nan berkilau itu tak lepas memperhatikan wajah ayahnya. Benak gadis kecil yang memiliki rambut dan warna mata yang senada dengan milik sang ayah itu bertanya-tanya, bahkan keningnya berkerut lucu ketika sedang berpikir.

Tentu pertanyaan dari putrinya membuat sang ayah mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang ia bawa pada wajah cantik Kia.

"Kenapa, Sayang?" tanya Nathan. Anaknya ini memang perhatian sekali dengan dirinya. Meskipun masih sangat kecil, tetapi Kia begitu jeli jika ada yang berubah ataupun salah pada dirinya. Ah, sepertinya putri kecilnya ini mendewasa sebelum waktunya.

"Pipinya meyah." Kia menunjuk pipi ayahnya. "Kata Bibi, waktu Kia cakit demam wajah Kia juga meyah, Papa."

"Oh, ini?" Nathan memegang pipinya, kemudian tersenyum pada Kia. "Ini tidak apa-apa, hanya ... digigit nyamuk." Pria itu beralasan. Tidak mungkin 'kan kalau dia berkata itu bekas tamparan? Yah, meskipun tidak bisa ia pungkiri jika bekas merah itu masih terasa sedikit ngilu. "Kia khawatir?" tanyanya kemudian.

"Iya. Kia 'kan cayang cama Papa." Kia menjawab dengan bersemangat. Kedua mata biru itu bercahaya ketika menatapnya. Membuat sang ayah tidak tahan lagi untuk tidak mencium pipi bulat itu.

"Papa juga sayang, seratus kali lebih banyak sama Kia." Nathan mencium pipi seperti bakpao itu dengan gemas, bergantian kanan dan kiri. Tentu saja ia sangat menyayangi putrinya. Dialah satu-satunya peninggalan mendiang sang istri yang paling berharga baginya. Bahkan ia pun akan rela jika harus mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan buah hatinya.

"Kia ceyibu kayi lebih cayang Papa." Kia menjawab. Kedua lengan kecilnya melingkari leher sang ayah saat pria itu hendak menyudahi ciuman sayangnya. Kini gantian putrinya lah yang mencium pipinya. Tepatnya pada luka bekas tamparan gadis di kelab malam tadi malam. "Dah ... cembuh. Cudah Kia obati, Papa."

Nathan hanya terkekeh saat Kia meniup-niup bekas ciumannya sendiri. "Astaga, anak siapa ini? Kenapa pintar sekali menggombal, huh?" ujarnya, kemudian menggelitiki pinggang anaknya dengan gemas, seiring keluarnya tawa kencang yang mengalun ceria pada gendang telinganya.

"Kyahaha ... ahaha ... Papa geyi! Cudah ah ..." Kia meronta saat ayahnya mengangkat tubuh kecilnya pada pangkuannya yang nyaman.

"Salah sendiri kamu menggemaskan."

Kia hanya tertawa lebar setelahnya.

"Baiklah. Lanjutkan makanmu. Papa berangkat kerja dulu, ya?" Nathan kembali mendudukkan Kia pada kursinya, kemudian mencium puncak kepala putrinya.

"Iya, Papa. Dadaahhhh ...."

***

Reanna menatap puas hasil karyanya merangkai beberapa tangkai bunga daisy menjadi sebuket bunga yang sangat cantik. Ini adalah pesanan ke sekian kali yang ia kerjakan hari ini. Sebuket bunga putih nan cantik yang akan menjadi wedding bouqeet untuk pengantin wanita.

Daisy putih bermakna cinta setia dan kepolosan. Tak heran jika banyak pria yang menggunakan bunga daisy putih disaat melamar gadis pujaannya, dan sebagai bunga tangan yang akan selalu digenggam mempelai wanita pada saat pernikahan nanti tentunya.

Gadis cantik itu tersenyum, tangan kanannya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ah, ia jadi berkhayal pada pernikahannya kelak. Jika ia menikah nanti, apakah ia juga akan menggenggam buket seperti ini?

Namun, sebelum pikirannya melantur ke mana-mana ia segera menggelengkan kepalanya. Kepala dengan rambut sekelam malam itu menunduk, kemudian tersenyum masam.

'Itu tidak mungkin. Bahkan calonnya saja tidak ada.' batinnya.

Setelahnya, gadis itu kembali memfokuskan pikirannya pada pekerjaannya. Ah, buketnya sudah jadi sekarang. Ia hanya perlu memasang plastic wrappingnya, dan pekerjaan akan selesai.

Tetapi, saat gadis itu mencoba bangkit dari posisi duduknya, ia memekik. Tiba-tiba saja perutnya terasa kram, dan itu sakit sekali. Ia mengurungkan niatnya untuk berdiri dan kembali duduk di kursinya. Bertepatan dengan itu, Tisha datang.

"Sha, aku istirahat sebentar, ya?" Reanna berucap, kedua tangannya meremas pelan perutnya.

Tisha menghentikan langkah kakinya, ia memperhatikan Reanna. Sahabatnya itu terlihat sedang tidak baik.

"Kamu kenapa, Re? Kamu pucat." Tisha mendudukkan diri di samping sang sahabat.

Reanna terlihat meringis kesakitan. "Ugh, entahlah. Perutku sakit sekali," ungkapnya.

"Kamu punya asam lambung?" Tisha kembali bertanya.

"Tidak. Akhhh!" ringisan Reanna semakin kuat, seiring menguatnya rasa sakit di perutnya.

Tentu saja hal itu membuat Tisha memandang khawatir pada Reanna.

"Mungkin kamu akan datang bulan, Re. Kamu selalu kesakitan jika mendekati tanggal merahmu, bukan?" Tisha berasumsi, sebagai sahabat ia tahu jika Reanna selalu mengalami premenstrual syndrome saat mendekati haid.

Sedangkan Reanna terdiam, mengingat tanggal berapa ia mendapatkan haid bulan lalu. Setelahnya, ia baru menyadari jika ia sudah melewatkan tanggalnya, bahkan sudah telat beberapa hari. Jadwal menstruasinya memang tidak pernah teratur sejak dulu.

"Beristirahatlah ... biar aku saja yang melanjutkan pekerjaanmu," lanjutnya Tisha.

"Sebelumnya tidak pernah sesakit ini. Ugh, sakit sekali." Reanna kembali meremas perutnya, membuat sahabatnya menjadi lebih khawatir dari sebelumnya.

"S-sepertinya kamu harus ke rumah sakit, Re. Aku akan mengantarmu." Tisha hendak bangkit, tetapi tangan Reanna segera menahannya.

"Kamu tak perlu mengantarku, Sha. Aku akan ke rumah sakit nanti setelah kerjaan ini selesai. Pesanan hari ini sedang banyak, maaf aku tidak bisa membantumu sampai selesai."

Tisha terdiam, menatap Reanna dengan intens seakan memastikan keadaan sahabatnya itu dalam keadaan baik-baik saja atau tidak. Ia sangat ingin mengantarkan Reanna, tapi seperti kata Reanna tadi, pekerjaan hari ini lumayan banyak, ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

"Baiklah," ucap Tisha pada akhirnya. "Kamu tidak perlu memaksakan diri, Re. Jika perlu bantuan, mintalah padaku." Gadis itu menepuk ringan pundak sahabatnya sebelum kembali pada kursi yang biasa ia duduki saat bekerja.

"Iya, terima kasih atas perhatiannya. Kamu memang satu-satunya sahabatku."

.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status