Share

meet you (again)

Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.

Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.

Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.

Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?

Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan dirinya pada kursi tunggu terdekat. Ini akan memakan waktu yang lama, sebab ia adalah pasien terakhirnya. Gadis itu duduk dengan tidak nyaman, tangannya kembali meremas pusat rasa sakit di perutnya.

'Bisa-bisa aku pingsan lebih dulu sebelum menemui dokter itu!' batinnya.

Dan ... setelah waktu yang cukup lama bagi Reanna, akhirnya nama gadis itu dipanggil oleh seorang suster dengan sebuah map di tangannya.

"Pasien atas nama Reanna Anggoro."

Setelahnya, gadis itu bangkit dan mengekori langkah perawat berbaju putih itu.

***

"Selamat malam, Dok." Reanna menyapa seorang dokter yang sedang memeriksa sebuah map yang suster tadi berikan padanya.

"Malam. Atas nama Reanna Anggoro?"

Saat dokter itu mendongak, seketika Reanna terdiam menatapnya.

Sungguh, ini di luar ekspektasinya. Ia mengira jika dokter yang akan ditemuinya adalah dokter tua yang mengenakan kacamata tebal seperti dokter yang ia sempat temui tadi.

Tapi ini ... bahkan untuk beberapa saat ia melupakan ketampanan Kalandra.

"Keluhannya ... kram perut, benar?" dokter tampan berambut pirang itu kembali bertanya, memastikan.

"Benar, Dok."

Setelah itu, dokter yang ber-nametag Nathanael Adams itu kembali memeriksa hasil pemeriksaan awal milik Reanna; rekam medisnya.

"Di sini tertulis, Anda sudah telat datang bulan selama tiga hari." Kacamata yang dikenakan dokter itu sedikit berkilat ketika menatap Reanna. Namun, hal itu tidak menutupi iris mata biru yang ada di baliknya.

"Siklus haid saya memang sering kacau, Dok." Reanna menjawabnya. Entah kenapa setelah bertemu dr. Adams rasa sakit di perutnya sedikit mereda. Ia bersyukur akan hal itu.

Dokter itu terlihat meneliti raut wajah di depannya. Entah bagaimana ia merasa familier dengan gadis di depannya. Ia lantas melepas kacamatanya, menatap Reanna dengan serius.

"Apa ... kita pernah bertemu sebelumnya?"

Mendengarnya Reanna merasa terkejut.

"Bertemu? Sepertinya tidak, Dok." Mustahil ia pernah menemuinya. Reanna baru pertama kali ini menemui dokter kandungan selama hampir dua puluh tiga tahun usianya.

Dokter tampan itu hanya mengedikkan bahu mendengar jawaban Reanna. Ia kembali memakai kacamata bacanya. "Mungkin cuma perasaan saya saja. Saya merasa kita pernah bertemu di suatu tempat."

"Benarkah?" Reanna kembali bertanya. Kali ini ia tidak menutupi keterkejutannya. Apakah wajahnya sangat pasaran?

"Kita lanjut ke pemeriksaan saja." Namun, dokter itu segera mengalihkan pembicaraan. "Silakan ke toilet dan bawa sampel urine Anda ke sini." Lanjut dokter itu, yang seketika membuat mata cantik Reanna membola.

Untuk apa ia membawa sampel urine?

"Tunggu, apa maksudnya ini?" rasa kagum yang pada awalnya tumbuh, sekarang musnah seketika. Ia menatap dokter itu dengan alis menukik, marah. "Anda mengira saya hamil?! Saya ini masih gadis, Dokter. Saya belum menikah!"

Yah, perempuan yang sedang PMS memang emosinya gampang meledak.

Melihat respons tidak menyenangkan dari pasiennya, dokter itu jadi mengingat sesuatu tentang gadis yang ia temui di pub. Tingkah laku gadis di depannya ini sama bar-barnya.

"Ah, sekarang saya baru ingat," ucap dr. Adams tiba-tiba. Kemudian ia melirik perawat yang berdiri di samping kursinya. "Suster, tolong keluar sebentar, saya ada urusan pribadi dengan pasien ini."

Suster itu membungkukkan badannya sebelum pergi meninggalkan Reanna dan dokter yang terus menatap gadis itu dengan geram.

Setelah tubuh suster itu raib di balik pintu, dokter tampan itu kembali melepas kacamatanya. Kedua mata biru itu menatap sengit pada wajah memerah karena marah gadis di hadapannya.

"Kamu gadis gila yang semalam di pub itu 'kan?!" nada formalnya hilang seketika.

"Anda bilang saya apa?! Gadis gila?!" Reanna bangkit, lantas mendekatkan wajahnya dengan kening berkerut pada wajah tampan dokter di depannya. "Hey, jaga ucapan Anda ya, Dok! Tidak sepantasnya seorang dokter berkata seperti itu pada pasiennya!" Lanjutnya dengan nada bicaranya yang naik satu oktaf.

"Seharusnya kamu juga jaga kelakuanmu. Tidak baik bagi seorang gadis menempel-nempel pada pria dewasa seperti saya." Dokter itu menatap jengkel pada Reanna, kedua tangannya bersedekap sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kamu bahkan mencoba mencium saya semalam."

Setelah mendengar pengakuan dokter itu, seketika amarah Reanna menghilang. Berganti dengan rasa terkejut serta malu yang begitu dalam. Wajahnya masih memerah, tetapi kali ini karena malu yang tak bisa ia sembunyikan.

"B-benarkah? J-jadi ... yang dikatakan Tisha benar? Anda orangnya?" tanya Reanna, seakan tidak percaya. Ia memundurkan dirinya dan menjatuhkan diri di kursi yang tadi ia duduki. Mata cantiknya menatap kosong pada mata biru di hadapannya.

"Ya." Dokter itu menjawab singkat. Tidak tahu kenapa, ia justru melebih-lebihkan kejadian semalam. Gadis itu memang menempel padanya seperti perangko, tetapi gadis itu sama sekali tidak berusaha menciumnya.

Ah, tapi biar saja, toh gadis itu tidak mengingatnya.

"Astaga ..." Reanna menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. "Maafkan saya, Dok. Saya tidak tahu. Semalam benar-benar di luar kendali saya." Gadis terlihat benar-benar menyesal.

Namun, ternyata dokter itu masih begitu kesal padanya.

"Kamu lihat bekas merah ini?" dokter itu menunjuk bekas merah yang saat ini terlihat membiru di pipinya. "Ini perbuatanmu."

Melihat apa yang ditunjukkan sang dokter, membuat gadis itu menunduk malu sekaligus merasa bersalah di saat yang bersamaan.

"Saya benar-benar minta maaf, Dok. Maafkan saya." Reanna mendongak. "A-anda boleh melaporkan saya ke polisi jika Anda mau."

dr. Adams terlihat menghela napas panjang setelah melihat ketulusan sang gadis meminta maaf padanya. "Ya sudahlah ... tidak perlu. Berhubung kejadian itu bertepatan dengan ulang tahun saya, saya maafkan kamu."

Reanna mendongak dengan cepat setelah mendengarnya. Ia seakan menemukan oasis di tengah padang pasir yang tandus. "Sekali lagi terima kasih, Dokter. Dan ... selamat ulang tahun, meskipun sedikit telat."

"Thanks."

"Kalau boleh tahu, ulang tahun yang ke berapa, Dok?" Reanna memberanikan diri untuk beradu pandang pada dokter tampan itu.

"Tiga lima. Memangnya kenapa kamu bertanya?"

Reanna kembali dibuat terkejut mendengar jawaban dokter di hadapannya. "Wah, saya sama sekali tidak menyangka umur Anda segitu. Anda jauh terlihat lebih muda dari umur anda yang sebenarnya."

Yah, pada awalnya Reanna mengira jika dr. Adams ini sepantaran dengan mantan tunangannya, Kalandra yang saat ini berusia dua puluh tujuh tahun, hampir empat tahun jarak usia pria itu dengan dirinya.

"Berhenti basa-basinya. Setelah ini kamu harus ikut dengan saya."

Entah sudah ke berapa kali Reanna terkejut dengan ucapan dokter tampan nan awet muda di depannya ini.

"Huh? Ke mana?" Ia ... tidak akan diculik 'kan?

"Ke rumah saya. Kamu sedang mencari tasmu, bukan?"

Dan ... Reanna merasa disiram air dingin nan menyejukkan setelahnya. Tanpa dijelaskan pun ia mengerti jika dokter itulah yang menemukan tas—beserta isinya—miliknya.

"Iya, benar. Syukurlah ... saya kira sudah hilang."

"Semalam kamu meninggalkannya di meja bartender, dan tadi pagi saya lupa membawanya. Seharusnya malam ini saya berniat ke counter handphone untuk membuka kunci layar handphonenya, supaya saya bisa menghubungi nomor di dalamnya dan mengembalikan handphonemu. Tapi, syukurlah jika kita sudah bertemu," jelas dokter itu panjang lebar.

Seulas senyum lega terukir begitu saja pada bibir tipis Reanna.

"Terima kasih, Dok. Sekali lagi terima kasih ... ternyata Anda sangat baik. Maafkan saya yang tadi sempat menilai Anda buruk." Gadis itu berkali-kali membungkuk berterima kasih pada sang dokter.

"Makanya jangan sekali-sekali menilai orang hanya dari luarnya saja. Kita lanjutkan pemeriksaan?"

"Baiklah." Reanna mengangguk dan kembali menduduki kursinya dengan nyaman.

.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status