Kelopak mata cantik itu bergerak-gerak, dengan perlahan menampakkan sedikit iris mata indah milik gadis yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit yang serba putih itu. Sebelum kelompoknya terbuka sempurna, kening pucat itu mengernyit. Sinar dari cahaya lampu kamar itu menyilaukan matanya. Bibir tipis itu melenguh pelan."Ngghhhhh ...."Melihat gadis di hadapannya siuman, pria yang sedari tadi menungguinya menegakkan posisi duduknya. Wajah tampannya sedikit mendekat pada wajah pucat Reanna, meneliti setiap ekspresi wajah ayu nan pucat itu."Kamu sudah sadar, Rea." Ia menghela napas lega, setelah beberapa jam lalu sempat merasa begitu khawatir dengan keadaan gadis di hadapannya. Bahkan ia sampai membatalkan janji temunya yang tersisa untuk hari ini. Ia tidak tega meninggalkan gadis yang selama ini begitu berjasa membantunya menjaga Kia sendirian, karena ia tahu Reanna hanya tinggal seorang diri di ibu kota ini.Sementara Tisha, gadis pirang itu sedang sangat sibuk hari ini, floristnya
Suara merdu burung gereja yang bernyanyi di luar jendela sana menjadi pengiring sang surya yang mulai menampakkan kemilau sinarnya. Kelopak mata itu bergetar ketika cahaya hangat menyentuh perlahan separuh wajah sedikit pucat Reanna, yang membuat gadis itu refleks hendak mengangkat tangan kanannya, hendak menghalau pendar yang menyilaukan mata.Namun, usahanya gagal. Tangan kanannya terasa berat seakan ada sesuatu yang menindihnya. Dan ketika mata indah gadis itu hendak memeriksanya, seketika ia tertegun. Pipinya terasa memanas, diiringi dentuman jantungnya yang berdetak lebih cepat dari sebelumnya.'Pak dokter?' batinnya.Kepala dengan rambut pirang yang tampak acak-acakan adalah hal pertama yang menyambut pandangannya. Pria itu tertidur dengan menggenggam tangannya!Sungguh, jantung Reanna seakan hendak melompat dari tempatnya. Apalagi ketika dokter tampan itu mulai membuka kelopak mata, menampakkan iris biru menenangkan miliknya.Pria itu menguap kecil dengan menutupi mulutnya meng
Reanna sedikit terkejut saat menyadari bahwa ayah dari gadis kecil yang bersamanya ini tiba-tiba sudah berada di belakang mereka, seperti hantu saja. Benar, pria yang baru saja datang itu adalah dr. Adams."Ah, Pak dokter ... kapan sampai?" gadis itu bertanya dengan pandangan mata mengikuti gerakan tubuh jangkung itu—yang kini menduduki kursi di hadapan dirinya dan Kia."Sejak kalian asyik mengobrol sampai-sampai tidak menyadari kehadiran saya.""Girls time, Pak." Celetukan Reanna sukses membuat dokter tampan dengan kemeja hitam itu terkekeh.Setelahnya, pandangan mata biru dari pria dewasa itu memperhatikan putri kecilnya yang meletakkan sendok di atas piringnya yang masih setengah terisi."Sudah selesai makan, Sayang?" pria itu bertanya dengan penuh perhatian."Cuapin!" namun, bibir mungil itu justru mencebik, kemudian mendorong piringnya ke hadapan Sang ayah.Ah, manjanya sedang kambuh."Baiklah." Dan tentu saja Sang ayah menerimanya dengan senang hati. "Saya dengar dari obrolan k
Pintu itu berderit, diiringi suara langkah kaki yang terlihat begitu ringan perlahan mendekati sosok seorang pria berambut pirang. Pria jangkung bertubuh atletis itu sedang memasang jas berwarna hitam pada tubuh tegapnya di depan sebuah cermin di dalam kamarnya, cermin besar yang dulu sering digunakan mendiang istrinya ketika bersolek.Kedua mata wanita baya itu menatap teduh punggung tegap di hadapannya, secercah senyuman perlahan terukir kala melihat betapa tampan dan gagahnya sosok itu.Dia Joana Adams, adalah ibu dari si dokter tampan yang saat ini sedang meneliti pantulan penampilannya sendiri. Ia sedikit terkekeh geli ketika melihat refleksi kening putranya berkerut, menatap padanya dari kaca cermin besar itu."Tumben sekali kamu terlihat sangat rapi. Mau ke mana, Nak?" wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu bertanya, langkahnya semakin mendekati sang putra."Aku akan makan malam dengan temanku, Ma," jawab pria itu tanpa menoleh. Ia cukup menatap mata sang ibu dari
Suasana di restoran itu begitu tenang, hanya terdengar alunan lembut lagu romantis yang dimainkan oleh sekelompok band di salah satu sudut ruangan besar. Ornamen-ornamen klasik menghiasi setiap sudutnya, sedangkan di dinding sekitarnya terdapat berbagai macam lukisan artistik yang memanjakan mata.Reanna mengedarkan pandangan, menatap satu-persatu pengunjung di setiap meja dari tempat duduknya; mereka saling berpasang-pasangan. Sesuatu menggelitik hatinya ketika pada akhirnya tatapannya jatuh pada wajah tampan itu, wajah tampan yang saat ini sedang menyuap spaghetti dengan tenang ke dalam mulutnya.Ia dan si dokter berambut pirang berada di meja yang sama, hanya berdua, dan dengan suasana yang mendukung. Ia merasa seperti sedang melakukan dinner romantis saja.Dan ... pipi itu memerah ketika memikirkan hal konyol yang sempat hinggap di kepala cantiknya."Kenapa?" pertanyaan yang meluncur dari bibir merah kecokelatan itu sedikit membuat Reanna tersentak dari lamunan."Tidak apa-apa, Pa
Malam semakin kelam ketika kedua pasang kaki itu melangkah keluar dari restoran tempat makan malam mereka berdua. Mereka berjalan beriringan dalam diam menelusuri trotoar di depan toko-toko yang berderet rapi bersama para pejalan kaki lain, hendak menuju ke parkiran.Suasana canggung masih mendominasi keduanya. Apalagi ketika gadis manis itu mengingat kejadian memalukan yang ia lakukan pada saat di dalam tempat makan tadi. Andai bisa, ia ingin menghilang saja sekarang.Entahlah, ia tak lagi bisa mengontrol emosinya ketika dokter tampan itu menawarkan bahu untuknya menangis, hingga ia berakhir tersedu dan meraung dalam dekapannya. Hangat dan nyaman melingkupi tubuhnya kala itu.'Dekapan ya?' Reanna berucap dalam hati.Ia menggelengkan kepalanya ketika memori itu muncul pada kepala cantiknya. Tentu saja dengan pipinya yang merona.Makan malamnya memang kacau, mungkin juga bersama dengan keadaan hatinya. Tapi ia bersyukur karena ada dr. Adams di sampingnya. Setidaknya ada satu orang yang
Hari berganti dengan begitu cepatnya. Sang mentari kembali menyinari dunia dengan kemilau hangatnya, menyentuh dedaunan rimbun hingga mencipta bayangan pada bidang datar di bawahnya, tepat di bawah kaki Reanna.Pagi ini begitu cerah, memberikan semangat baru bagi gadis berambut sekelam malam itu. Ia tersenyum, kemudian menguncir tinggi rambutnya, hendak kembali berkutat pada pekerjaannya. Satu keranjang berisi berbagai warna bunga sudah menunggu untuk diangkutnya ke dalam toko bunga tempat ia bekerja.Namun, sebelum langkah kaki itu memasuki pintu, sebuah suara menghentikan pergerakannya."Ternyata secepat itu kamu berpaling dariku, Rea." Ucapan datar tetapi menusuk itu terdengar jelas pada kedua telinga Reanna.Gadis itu meletakkan keranjang yang menutupi penglihatan, dan seketika matanya membulat sempurna kala atensinya menangkap sosok Kalandra, sosok yang membuatnya menangis terluka di hari ulang tahunnya.Sejak kapan pria itu ada di sana?Kalandra berdiri bersandar tepat di sampin
Dunia terasa tidak pernah adil bagi Reanna. Ketika melihat surat undangan Kalandra, lagi-lagi awan mendung menyelimutinya. Pernikahan Kalandra akan dilaksanakan satu minggu lagi, tapi ia rasanya belum siap mental untuk menghadiri.Reanna melipat kedua lengan di atas meja kayu tempat biasanya ia merangkai bunga, menatap kosong sampul undangan hitam itu dengan wajah murung. Pekerjaannya memang belum dimulai, sedang menunggu instruksi dari Si pemilik toko bunga. Sedangkan si imut Kia terlihat sedang fokus mencorat-coret buku gambarnya."Pagi-pagi begini sudah melamun. Kenapa?" tanya Tisha. Ia mendudukkan diri di sisi Reanna. Ada sebuah catatan kecil di tangannya yang berisi daftar pesanan hari ini.Reanna tidak langsung menjawabnya. Ia justru kedapatan menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menoleh pada Tisha. "Kenapa ya, Sha? Semua orang seakan begitu mudah menemukan kebahagiaan mereka, tetapi kenapa aku tidak?""Kenapa kamu bilang begitu? Ada apa?" sebagai seorang sahabat, tentu Ti