Suasana di restoran itu begitu tenang, hanya terdengar alunan lembut lagu romantis yang dimainkan oleh sekelompok band di salah satu sudut ruangan besar. Ornamen-ornamen klasik menghiasi setiap sudutnya, sedangkan di dinding sekitarnya terdapat berbagai macam lukisan artistik yang memanjakan mata.Reanna mengedarkan pandangan, menatap satu-persatu pengunjung di setiap meja dari tempat duduknya; mereka saling berpasang-pasangan. Sesuatu menggelitik hatinya ketika pada akhirnya tatapannya jatuh pada wajah tampan itu, wajah tampan yang saat ini sedang menyuap spaghetti dengan tenang ke dalam mulutnya.Ia dan si dokter berambut pirang berada di meja yang sama, hanya berdua, dan dengan suasana yang mendukung. Ia merasa seperti sedang melakukan dinner romantis saja.Dan ... pipi itu memerah ketika memikirkan hal konyol yang sempat hinggap di kepala cantiknya."Kenapa?" pertanyaan yang meluncur dari bibir merah kecokelatan itu sedikit membuat Reanna tersentak dari lamunan."Tidak apa-apa, Pa
Malam semakin kelam ketika kedua pasang kaki itu melangkah keluar dari restoran tempat makan malam mereka berdua. Mereka berjalan beriringan dalam diam menelusuri trotoar di depan toko-toko yang berderet rapi bersama para pejalan kaki lain, hendak menuju ke parkiran.Suasana canggung masih mendominasi keduanya. Apalagi ketika gadis manis itu mengingat kejadian memalukan yang ia lakukan pada saat di dalam tempat makan tadi. Andai bisa, ia ingin menghilang saja sekarang.Entahlah, ia tak lagi bisa mengontrol emosinya ketika dokter tampan itu menawarkan bahu untuknya menangis, hingga ia berakhir tersedu dan meraung dalam dekapannya. Hangat dan nyaman melingkupi tubuhnya kala itu.'Dekapan ya?' Reanna berucap dalam hati.Ia menggelengkan kepalanya ketika memori itu muncul pada kepala cantiknya. Tentu saja dengan pipinya yang merona.Makan malamnya memang kacau, mungkin juga bersama dengan keadaan hatinya. Tapi ia bersyukur karena ada dr. Adams di sampingnya. Setidaknya ada satu orang yang
Hari berganti dengan begitu cepatnya. Sang mentari kembali menyinari dunia dengan kemilau hangatnya, menyentuh dedaunan rimbun hingga mencipta bayangan pada bidang datar di bawahnya, tepat di bawah kaki Reanna.Pagi ini begitu cerah, memberikan semangat baru bagi gadis berambut sekelam malam itu. Ia tersenyum, kemudian menguncir tinggi rambutnya, hendak kembali berkutat pada pekerjaannya. Satu keranjang berisi berbagai warna bunga sudah menunggu untuk diangkutnya ke dalam toko bunga tempat ia bekerja.Namun, sebelum langkah kaki itu memasuki pintu, sebuah suara menghentikan pergerakannya."Ternyata secepat itu kamu berpaling dariku, Rea." Ucapan datar tetapi menusuk itu terdengar jelas pada kedua telinga Reanna.Gadis itu meletakkan keranjang yang menutupi penglihatan, dan seketika matanya membulat sempurna kala atensinya menangkap sosok Kalandra, sosok yang membuatnya menangis terluka di hari ulang tahunnya.Sejak kapan pria itu ada di sana?Kalandra berdiri bersandar tepat di sampin
Dunia terasa tidak pernah adil bagi Reanna. Ketika melihat surat undangan Kalandra, lagi-lagi awan mendung menyelimutinya. Pernikahan Kalandra akan dilaksanakan satu minggu lagi, tapi ia rasanya belum siap mental untuk menghadiri.Reanna melipat kedua lengan di atas meja kayu tempat biasanya ia merangkai bunga, menatap kosong sampul undangan hitam itu dengan wajah murung. Pekerjaannya memang belum dimulai, sedang menunggu instruksi dari Si pemilik toko bunga. Sedangkan si imut Kia terlihat sedang fokus mencorat-coret buku gambarnya."Pagi-pagi begini sudah melamun. Kenapa?" tanya Tisha. Ia mendudukkan diri di sisi Reanna. Ada sebuah catatan kecil di tangannya yang berisi daftar pesanan hari ini.Reanna tidak langsung menjawabnya. Ia justru kedapatan menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menoleh pada Tisha. "Kenapa ya, Sha? Semua orang seakan begitu mudah menemukan kebahagiaan mereka, tetapi kenapa aku tidak?""Kenapa kamu bilang begitu? Ada apa?" sebagai seorang sahabat, tentu Ti
Nathan mendudukkan diri di kursinya setelah melepas kacamata baca yang awalnya bertengger di hidung mancungnya. Dokter kandungan yang tergolong masih muda itu menangkap raut tegang sepasang suami istri yang duduk berhadapan dengannya, bersekatkan meja kayu. Wajah Si istri yang tengah hamil besar menampilkan ekspresi khawatir, sedang sang suami di sisinya dengan setia menggenggam salah satu tangannya. Mereka berdua tampak seperti pasangan harmonis di kedua mata biru Nathan, maka pria blasteran itu mengukir senyuman."Bagaimana hasilnya, Dok?" Si suami yang pertama mengawali sesi konsultasi."Dari hasil USG yang sudah kita lakukan tadi, bisa kita lihat bahwa janin tumbuh dengan sehat dan sempurna. Keadaan tali plasenta masih bagus, air ketuban masih cukup banyak. Hanya saja kepala janin masih juga belum masuk panggul," jelas Nathan apa adanya. Ia menunjuk pada kertas cetak USG di tangannya sambil sesekali menatap wanita hamil itu. Kalimat terakhirnya sukses membuat raut cemas si wanita
Salah satu Mall ternama di pusat kota itu memang selalu ramai pengunjung, tak terkecuali malam ini. Kebanyakan didominasi oleh pasangan muda-mudi yang sedang menikmati waktu berdua, entah sekedar untuk jalan-jalan atau berbelanja bersama.Tisha sudah terlihat menjinjing sebuah paperbag di tangan kiri. Isinya adalah sepasang baju tidur dengan merk cukup terkenal, tentu ia membelinya sebagai kado pernikahan untuk Kalandra dan Olivia. Meskipun ia menaruh benci pada kedua calon mempelai, namun dirinya pun tidak ingin dicap pelit oleh mereka, terlebih calon suami gadis itu merupakan pemilik salah satu stasiun televisi swasta di negara ini.Di sebelahnya ada sosok Reanna, gadis manis itu tampak berjalan santai sambil menggandeng tangan kecil Kia. Dari raut wajahnya, ia tampak sedang kebingungan. Tatapan mata indah itu bergerak ke sana kemari. Menatap pada toko satu, ke toko lainnya, seakan sedang mencari sesuatu yang mungkin saja dapat menarik perhatiannya."Sudah hampir jam 8, kamu sudah m
Sepiring mie goreng pesanannya hanya ia aduk pelan dengan sumpit. Entah kenapa raut wajah mendung Reanna seakan tak mau hilang dari kepala pria itu. Tadi pagi ketika ia mengantarkan putrinya ke Carnation florist, kedua mata gadis manis yang menjadi pengasuh Kia tampak sembab. Jika tebakannya benar, pasti Reanna menangis semalaman.Kafetaria rumah sakit siang itu memang cukup ramai. Banyak staf rumah sakit yang memilih untuk mengisi perutnya di sana, tak terkecuali Nathan dan Arvi. Mereka berdua menikmati makan siang di meja yang sama, makanya Arvi menyadari ada hal yang berbeda di raut wajah teman makannya itu."Earth to Nathan!" Ucapan tiba-tiba dokter anak itu sukses membuat Nathan terkejut."Sialan! Kamu hampir membuatku jantungan, Ar!" umpat si dokter berambut pirang. Ia menatap tajam sahabatnya. "Salah sendiri kamu melamun terus. Lihat, bahkan makan siangku hampir habis, sedangkan punyamu seakan belum tersentuh sama sekali." Arvi menatap bergantian antara isi piringnya kemudian
Nathan menyugar rambut pirangnya ke belakang ketika angin sore berhasil membuat tatanannya berantakan. Setelah menutup pintu mobilnya, langkah kaki panjang itu bergerak menuju pintu kaca Carnation florist. Lonceng yang berada di atas daun pintu itu berdenting."Pak dokter, selamat sore." Tisha yang berada di meja kasir langsung menyapanya dengan senyum seindah bunga. Meskipun gurat lelah terpetak jelas di wajah si pria dewasa, namun ketampanannya tiada luntur di mata gadis itu."Sore, Nona." Nathan balas menyapa, pula membalas senyumannya. "Bagaimana kabarmu?""Seperti yang Anda lihat, kabar saya selalu baik, Pak. Ah, silakan duduk dulu." Tisha menunjuk tempat duduk di sisi kanannya. Namun, pria itu masih tak juga bergeser dari tempatnya berdiri. Ia hanya tersenyum sopan."Terima kasih. Kia mana?" tanyanya."Di sana, Pak." Tisha beralih menunjuk karpet bulu di sudut ruangan, di atasnya terbaring sosok Kia. "Kia baru saja tertidur beberapa menit lalu. Jadi, jangan berbicara terlalu ker