Nathan mendudukkan diri di kursinya setelah melepas kacamata baca yang awalnya bertengger di hidung mancungnya. Dokter kandungan yang tergolong masih muda itu menangkap raut tegang sepasang suami istri yang duduk berhadapan dengannya, bersekatkan meja kayu. Wajah Si istri yang tengah hamil besar menampilkan ekspresi khawatir, sedang sang suami di sisinya dengan setia menggenggam salah satu tangannya. Mereka berdua tampak seperti pasangan harmonis di kedua mata biru Nathan, maka pria blasteran itu mengukir senyuman."Bagaimana hasilnya, Dok?" Si suami yang pertama mengawali sesi konsultasi."Dari hasil USG yang sudah kita lakukan tadi, bisa kita lihat bahwa janin tumbuh dengan sehat dan sempurna. Keadaan tali plasenta masih bagus, air ketuban masih cukup banyak. Hanya saja kepala janin masih juga belum masuk panggul," jelas Nathan apa adanya. Ia menunjuk pada kertas cetak USG di tangannya sambil sesekali menatap wanita hamil itu. Kalimat terakhirnya sukses membuat raut cemas si wanita
Salah satu Mall ternama di pusat kota itu memang selalu ramai pengunjung, tak terkecuali malam ini. Kebanyakan didominasi oleh pasangan muda-mudi yang sedang menikmati waktu berdua, entah sekedar untuk jalan-jalan atau berbelanja bersama.Tisha sudah terlihat menjinjing sebuah paperbag di tangan kiri. Isinya adalah sepasang baju tidur dengan merk cukup terkenal, tentu ia membelinya sebagai kado pernikahan untuk Kalandra dan Olivia. Meskipun ia menaruh benci pada kedua calon mempelai, namun dirinya pun tidak ingin dicap pelit oleh mereka, terlebih calon suami gadis itu merupakan pemilik salah satu stasiun televisi swasta di negara ini.Di sebelahnya ada sosok Reanna, gadis manis itu tampak berjalan santai sambil menggandeng tangan kecil Kia. Dari raut wajahnya, ia tampak sedang kebingungan. Tatapan mata indah itu bergerak ke sana kemari. Menatap pada toko satu, ke toko lainnya, seakan sedang mencari sesuatu yang mungkin saja dapat menarik perhatiannya."Sudah hampir jam 8, kamu sudah m
Sepiring mie goreng pesanannya hanya ia aduk pelan dengan sumpit. Entah kenapa raut wajah mendung Reanna seakan tak mau hilang dari kepala pria itu. Tadi pagi ketika ia mengantarkan putrinya ke Carnation florist, kedua mata gadis manis yang menjadi pengasuh Kia tampak sembab. Jika tebakannya benar, pasti Reanna menangis semalaman.Kafetaria rumah sakit siang itu memang cukup ramai. Banyak staf rumah sakit yang memilih untuk mengisi perutnya di sana, tak terkecuali Nathan dan Arvi. Mereka berdua menikmati makan siang di meja yang sama, makanya Arvi menyadari ada hal yang berbeda di raut wajah teman makannya itu."Earth to Nathan!" Ucapan tiba-tiba dokter anak itu sukses membuat Nathan terkejut."Sialan! Kamu hampir membuatku jantungan, Ar!" umpat si dokter berambut pirang. Ia menatap tajam sahabatnya. "Salah sendiri kamu melamun terus. Lihat, bahkan makan siangku hampir habis, sedangkan punyamu seakan belum tersentuh sama sekali." Arvi menatap bergantian antara isi piringnya kemudian
Nathan menyugar rambut pirangnya ke belakang ketika angin sore berhasil membuat tatanannya berantakan. Setelah menutup pintu mobilnya, langkah kaki panjang itu bergerak menuju pintu kaca Carnation florist. Lonceng yang berada di atas daun pintu itu berdenting."Pak dokter, selamat sore." Tisha yang berada di meja kasir langsung menyapanya dengan senyum seindah bunga. Meskipun gurat lelah terpetak jelas di wajah si pria dewasa, namun ketampanannya tiada luntur di mata gadis itu."Sore, Nona." Nathan balas menyapa, pula membalas senyumannya. "Bagaimana kabarmu?""Seperti yang Anda lihat, kabar saya selalu baik, Pak. Ah, silakan duduk dulu." Tisha menunjuk tempat duduk di sisi kanannya. Namun, pria itu masih tak juga bergeser dari tempatnya berdiri. Ia hanya tersenyum sopan."Terima kasih. Kia mana?" tanyanya."Di sana, Pak." Tisha beralih menunjuk karpet bulu di sudut ruangan, di atasnya terbaring sosok Kia. "Kia baru saja tertidur beberapa menit lalu. Jadi, jangan berbicara terlalu ker
Nathan dan Arvi melangkah bersama melintasi lorong rumah sakit ketika senja telah menampakkan kemilau jingga. Atribut dokter milik keduanya sudah tertanggal, menyisakan kemeja yang tergulung sebatas siku. Pekerjaan telah usai, dan kini mereka akan kembali ke rumah masing-masing untuk melepas lelah.Setelah melewati pintu kaca besar di bagian depan gedung rumah sakit, Nathan merogoh kunci mobilnya dari saku celana sebelah kanan. Ia melirik Arvi lewat sudut mata, dan kening dokter obgyn itu mngernyit. Pasalnya raut muka Sang sahabat tampak tak secerah biasanya."Apa yang terjadi dengan wajahmu, Ar?" tanyanya seraya turun dari undakan menuju parkiran di sisi kiri."Memangnya wajahku kenapa?" namun Arvi justru menjawab pertanyaan Nathan dengan pertanyaan lain."Kamu tampak kesal." Nathan berucap ringan. Ia membalikkan badan, berdiri bersandar pada bagian belakang mobilnya sambil bersedekap. "Jangan suka menekuk muka, nanti kamu bisa cepat tua. Tidak lucu kan kalau kamu sudah terlihat seper
Suara cempreng Kia menggema di dalam ruang keluarga bernuansa putih itu. Televisi layar datar berukuran empat puluh dua inchi itu menyala dengan Elsa dan Anna, si tokoh dalam film animasi favorit gadis kecil itu menghiasi layar kacanya. Bibir mungilnya sesekali mengalunkan lirik lagu Let it go yang menjadi soundtrack film laris itu, tentu saja dengan berlompat-lompatan mengikuti gerakan tokoh di depannya, tanpa memperdulikan keberadaan sang ayah yang duduk di sofa tepat di belakang tubuhnya. Ah, balita itu memang super aktif.Pria dengan rambut pirang itu terlihat duduk dengan gusar di tempatnya. Sesekali mata biru itu melirik pada arloji hitam di pergelangan tangannya kemudian mengambil napas panjang. Benar apa kata orang, menunggu merupakan hal yang sangat menyebalkan, dan Nathan mengalaminya kali ini.Malam ini ia akan menemani Reanna untuk menghadiri pesta pernikahan mantan kekasih gadis itu, sesuai janjinya.Dokter tampan itu sudah terlihat begitu rapi malam ini. Blazer hitam yan
Pesta pernikahan itu mengusung konsep outdoor garden party, kursi kayu dan meja yang berbalut kain putih tersebar ke berbagai penjuru taman sejauh mata Reanna memandang, dengan lampu-lampu kecil berwarna putih menghiasi setiap sisi atap yang ditumbuhi tanaman merambat. Suasana romantis menguar dari setiap sudut tempat itu, meskipun dengan cahaya yang sedikit redup. Dan di ujung sana, tepat di pelaminan yang terdapat bunga putih di sekelilingnya terlihat sepasang mempelai yang tersenyum dengan bahagia.Setelah menyerahkan kadonya pada seorang penerima tamu, Reanna menghentikan langkahnya tanpa sadar. Rasa ragu itu kembali menyeruak, diiringi jantungnya yang kembali bertalu hebat dalam rongga dadanya ketika melihat pria itu menatapnya dari kejauhan sana. Senyuman pria bertuxedo putih itu perlahan menghilang ketika mereka bertemu pandang. Sedangkan mempelai wanita dengan gaun putih berekor itu terlihat tidak menyadari kehadirannya."Tersenyumlah, Rea. Angkat kepalamu dan perlihatkan pada
"Terima kasih untuk malam ini, Pak. Berkat Bapak, saya bisa melalui semua ini dengan begitu mudah." Reanna berucap sebelum menjejakkan kaki ke atas paving halaman rumah kontrakannya, keluar dari mobil Nathan. Ia benar-benar merasa lega setelah melewati satu malam yang awalnya terasa begitu berat untuknya."Sama-sama." Nathan melepas sabuk pengamannya, lalu bergegas turun dari mobil untuk menghampiri gadis manis itu. Hal yang sukses membuat Reanna mengerutkan dahi."Bapak mau mampir dulu?" tanyanya.Alis-alis pirang Nathan naik semua saat balas menatap Reanna. Ia sudah berada di sisi gadis itu sekarang. "Memangnya boleh?""Boleh-boleh saja. Memangnya kenapa?" jawab Reanna dengan polosnya, membuat Nathan menyeringai ke arahnya."Kamu ... tinggal sendirian, bukan?""Iya, Pak." Reanna menjawab pertanyaan pria itu seringan kapas. Tak menaruh curiga sedikit pun. "Bukankah saya pernah bilang kalau saya anak rantau?""Itu dia pointnya, Rea. Saya masih seorang pria kalau kamu lupa. Kalau kamu m