Sepiring mie goreng pesanannya hanya ia aduk pelan dengan sumpit. Entah kenapa raut wajah mendung Reanna seakan tak mau hilang dari kepala pria itu. Tadi pagi ketika ia mengantarkan putrinya ke Carnation florist, kedua mata gadis manis yang menjadi pengasuh Kia tampak sembab. Jika tebakannya benar, pasti Reanna menangis semalaman.Kafetaria rumah sakit siang itu memang cukup ramai. Banyak staf rumah sakit yang memilih untuk mengisi perutnya di sana, tak terkecuali Nathan dan Arvi. Mereka berdua menikmati makan siang di meja yang sama, makanya Arvi menyadari ada hal yang berbeda di raut wajah teman makannya itu."Earth to Nathan!" Ucapan tiba-tiba dokter anak itu sukses membuat Nathan terkejut."Sialan! Kamu hampir membuatku jantungan, Ar!" umpat si dokter berambut pirang. Ia menatap tajam sahabatnya. "Salah sendiri kamu melamun terus. Lihat, bahkan makan siangku hampir habis, sedangkan punyamu seakan belum tersentuh sama sekali." Arvi menatap bergantian antara isi piringnya kemudian
Nathan menyugar rambut pirangnya ke belakang ketika angin sore berhasil membuat tatanannya berantakan. Setelah menutup pintu mobilnya, langkah kaki panjang itu bergerak menuju pintu kaca Carnation florist. Lonceng yang berada di atas daun pintu itu berdenting."Pak dokter, selamat sore." Tisha yang berada di meja kasir langsung menyapanya dengan senyum seindah bunga. Meskipun gurat lelah terpetak jelas di wajah si pria dewasa, namun ketampanannya tiada luntur di mata gadis itu."Sore, Nona." Nathan balas menyapa, pula membalas senyumannya. "Bagaimana kabarmu?""Seperti yang Anda lihat, kabar saya selalu baik, Pak. Ah, silakan duduk dulu." Tisha menunjuk tempat duduk di sisi kanannya. Namun, pria itu masih tak juga bergeser dari tempatnya berdiri. Ia hanya tersenyum sopan."Terima kasih. Kia mana?" tanyanya."Di sana, Pak." Tisha beralih menunjuk karpet bulu di sudut ruangan, di atasnya terbaring sosok Kia. "Kia baru saja tertidur beberapa menit lalu. Jadi, jangan berbicara terlalu ker
Nathan dan Arvi melangkah bersama melintasi lorong rumah sakit ketika senja telah menampakkan kemilau jingga. Atribut dokter milik keduanya sudah tertanggal, menyisakan kemeja yang tergulung sebatas siku. Pekerjaan telah usai, dan kini mereka akan kembali ke rumah masing-masing untuk melepas lelah.Setelah melewati pintu kaca besar di bagian depan gedung rumah sakit, Nathan merogoh kunci mobilnya dari saku celana sebelah kanan. Ia melirik Arvi lewat sudut mata, dan kening dokter obgyn itu mngernyit. Pasalnya raut muka Sang sahabat tampak tak secerah biasanya."Apa yang terjadi dengan wajahmu, Ar?" tanyanya seraya turun dari undakan menuju parkiran di sisi kiri."Memangnya wajahku kenapa?" namun Arvi justru menjawab pertanyaan Nathan dengan pertanyaan lain."Kamu tampak kesal." Nathan berucap ringan. Ia membalikkan badan, berdiri bersandar pada bagian belakang mobilnya sambil bersedekap. "Jangan suka menekuk muka, nanti kamu bisa cepat tua. Tidak lucu kan kalau kamu sudah terlihat seper
Suara cempreng Kia menggema di dalam ruang keluarga bernuansa putih itu. Televisi layar datar berukuran empat puluh dua inchi itu menyala dengan Elsa dan Anna, si tokoh dalam film animasi favorit gadis kecil itu menghiasi layar kacanya. Bibir mungilnya sesekali mengalunkan lirik lagu Let it go yang menjadi soundtrack film laris itu, tentu saja dengan berlompat-lompatan mengikuti gerakan tokoh di depannya, tanpa memperdulikan keberadaan sang ayah yang duduk di sofa tepat di belakang tubuhnya. Ah, balita itu memang super aktif.Pria dengan rambut pirang itu terlihat duduk dengan gusar di tempatnya. Sesekali mata biru itu melirik pada arloji hitam di pergelangan tangannya kemudian mengambil napas panjang. Benar apa kata orang, menunggu merupakan hal yang sangat menyebalkan, dan Nathan mengalaminya kali ini.Malam ini ia akan menemani Reanna untuk menghadiri pesta pernikahan mantan kekasih gadis itu, sesuai janjinya.Dokter tampan itu sudah terlihat begitu rapi malam ini. Blazer hitam yan
Pesta pernikahan itu mengusung konsep outdoor garden party, kursi kayu dan meja yang berbalut kain putih tersebar ke berbagai penjuru taman sejauh mata Reanna memandang, dengan lampu-lampu kecil berwarna putih menghiasi setiap sisi atap yang ditumbuhi tanaman merambat. Suasana romantis menguar dari setiap sudut tempat itu, meskipun dengan cahaya yang sedikit redup. Dan di ujung sana, tepat di pelaminan yang terdapat bunga putih di sekelilingnya terlihat sepasang mempelai yang tersenyum dengan bahagia.Setelah menyerahkan kadonya pada seorang penerima tamu, Reanna menghentikan langkahnya tanpa sadar. Rasa ragu itu kembali menyeruak, diiringi jantungnya yang kembali bertalu hebat dalam rongga dadanya ketika melihat pria itu menatapnya dari kejauhan sana. Senyuman pria bertuxedo putih itu perlahan menghilang ketika mereka bertemu pandang. Sedangkan mempelai wanita dengan gaun putih berekor itu terlihat tidak menyadari kehadirannya."Tersenyumlah, Rea. Angkat kepalamu dan perlihatkan pada
"Terima kasih untuk malam ini, Pak. Berkat Bapak, saya bisa melalui semua ini dengan begitu mudah." Reanna berucap sebelum menjejakkan kaki ke atas paving halaman rumah kontrakannya, keluar dari mobil Nathan. Ia benar-benar merasa lega setelah melewati satu malam yang awalnya terasa begitu berat untuknya."Sama-sama." Nathan melepas sabuk pengamannya, lalu bergegas turun dari mobil untuk menghampiri gadis manis itu. Hal yang sukses membuat Reanna mengerutkan dahi."Bapak mau mampir dulu?" tanyanya.Alis-alis pirang Nathan naik semua saat balas menatap Reanna. Ia sudah berada di sisi gadis itu sekarang. "Memangnya boleh?""Boleh-boleh saja. Memangnya kenapa?" jawab Reanna dengan polosnya, membuat Nathan menyeringai ke arahnya."Kamu ... tinggal sendirian, bukan?""Iya, Pak." Reanna menjawab pertanyaan pria itu seringan kapas. Tak menaruh curiga sedikit pun. "Bukankah saya pernah bilang kalau saya anak rantau?""Itu dia pointnya, Rea. Saya masih seorang pria kalau kamu lupa. Kalau kamu m
"Kak Lea, look! Kia gambal kuda poni. Bagus, tidak?" Kia berucap antusias ketika memamerkan sebuah gambar yang baru saja ia selesaikan pada Reanna. Mata besarnya berbinar seakan meminta penilaian. Mereka sedang berada di dalam mobil Nathan sekarang, sedang di jalan menuju arah pulang."Wah ... bagus sekali, Sayang!" tentu Reanna memberikan respons positif berupa pujian. Namun, alis-alis kelam itu nyaris bertaut saat menyadari setitik kejanggalan pada gambar Si balita. "Tapi, kenapa kakinya ada lima?" tanyanya sambil menahan tawa."Ini ekol, Kak! Yang ini kaki, ada empat." Tak menerima kritikan, Kia menunjuk-nunjuk bagian gambarnya dengan jari telunjuk mungilnya. Mukanya tertekuk ketika melirik Reanna, hal yang sukses membuat gadis manis itu tertawa."Astaga! Kamu menggemaskan, Kia! Sini Kakak gigit." Tak tahan dengan wajah imut yang tampak begitu lucu itu, Reanna meraih tubuh Kia kemudian mendudukkannya di paha. Beberapa kali ia menciumi pipi bak bapao itu, seakan benar-benar akan meng
"Yakin kamu bisa?" suara maskulin Nathan terdengar lirih, seakan memang sengaja agar orang lain tidak mampu mendengarnya kecuali Reanna. "Tentu saja, Pak. Asal Bapak tahu, saya ini jago di segala bidang." Reanna berucap dengan nada tak kalah lirihnya, membanggakan diri. Namun, tiba-tiba ia memekik kecil. "Ah!""Tuh, kan ... Pelan-pelan saja, Rea. Saya takut ada yang lecet." Nathan kembali berkata."Tidak apa-apa, Pak. Masih aman." Meskipun kalimat Reanna sarat akan makna bahwa dirinya baik-baik saja, tetapi napasnya yang sedikit terengah tak mampu membohongi pria blasteran itu."Jika kamu tidak sanggup, biar saya saja yang melakukannya. Kita bertukar posisi," ucap Nathan, mencoba memberikan bantuan. "Tidak perlu. Sebentar lagi akan sampai, Pak." Reanna lagi-lagi menolak niatan pria itu. Embusan napasnya terdengar memberat tiba-tiba sebelum akhirnya ia mendesah lega. "Ugh! Akhirnya masuk juga! Hufftt ... butuh effort yang cukup besar, mungkin karena saya jarang berolah raga." Kekehan