Dalam fisiologi, senyum adalah ekspresi wajah yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula di sekitar mata. Kebanyakan orang senyum untuk menampilkan kebahagiaan dan rasa senang. Dan hal tersebutlah yang terjadi pada Nathan. Pria blasteran itu seakan tak pernah berhenti tersenyum seharian. Bahkan ketika dirinya harus pulang larut malam karena banyaknya jadwal operasi, raut bahagia itu tetap terpatri. Bagaimana tidak? Setiap kali dirinya memikirkan jika ketika ia pulang nanti akan ada Reanna yang menyambutnya, dadanya terasa dipenuhi euforia."Hmm ... sepertinya cuaca hari ini sangat cerah, ya? Berbeda sekali dengan hari-hari lalu yang selalu mendung," sindir Arvi yang berjalan di sisinya menuju parkiran. Sesekali mata Si dokter anak itu kedapatan melirik ke arah Nathan dengan senyum jenaka."Tidak perlu menyindir begitu, Ar. Aku tahu maksudmu." Nathan justru terkekeh ringan menanggapinya. Ia meraih kunci mobil di saku celana saa
Puas. Satu kata yang kini berada dalam benak Reanna ketika baru saja selesai menyisir rambut halus gadis kecil di depannya. Lihat saja, bahkan hanya dengan merapikan sedikit surai pirang Kia, balita itu sudah terlihat begitu istimewa. "Kamu cantik sekali, Sayang." Tak pelak bibir mungil itu merekah setelah mendengar pujian dari kakak tersayangnya, sebuah senyuman ceria terangkai dari wajah imutnya ketika menatap pantulan wajahnya sendiri pada cermin di hadapannya. Gadis kecil itu melirik sekilas melalui ekor mata pada wanita yang duduk di belakangnya."Kuncil dua, Kak~""Baiklah. Sesuai permintaanmu, Sayang." Wanita itu kembali menyunggingkan senyuman. Kedua tangannya kembali terangkat, kembali menyisir rambut gadis kecil itu lalu membaginya menjadi dua.Dari arah kanan mereka, muncul sosok Tisha yang baru saja melayani seorang pelanggan. Gadis cantik dengan rambutnya yang terurai panjang itu melayangkan sebuah senyuman ketika netranya menangkap sosok Kia beserta Reanna. Ia menduduk
"Mau pulang dulu?" pertanyaan Nathan memecah keheningan di dalam mobil hitam yang tengah melaju. Netra biru itu melirik pada Reanna melalui spion dalamnya. "Untuk?" wanita yang duduk di belakang kursi pria itu tampak mengerutkan keningnya. Jari-jemarinya tak henti menyisir lembut surai pirang balita yang tertidur dengan berbantalkan pahanya."Berganti baju misalnya?"Kerutan pada kening Reanna semakin dalam saja, ia masih belum mengerti atas pertanyaan Nathan. "Memangnya kita mau ke mana?""Ke rumahku. Mama dan Papa sudah menunggu." Pria blasteran itu menjawab begitu ringan, membuat kepala Reanna mengangguk-angguk paham di kursi belakang. "Sepertinya memang harus pulang dulu. Aku akan berganti baju dengan yang lebih baik," putus wanita itu pada akhirnya. Biar bagaimanapun ia harus terlihat lebih sopan di hadapan calon mertua, 'kan? Pakaian yang ia kenakan sekarang terasa terlalu santai baginya. "Apa ada acara penting?""Sangat penting." Nathan menjawab cepat seraya mengangguk mantap
Reanna mendongak secepat yang ia bisa atas pertanyaan kakaknya. Jantungnya berdentum kencang di dalam rongga dada. Ah, ia belum menceritakan soal putusnya hubungan dirinya dengan lelaki yang namanya baru saja disebutkan oleh Bastian. Dan kini ia bingung harus mengatakan apa.Sedangkan Danudirja pun tampak mengernyit saat mengingat nama tersebut. Seingat pria baya itu, Kalandra memanglah nama yang sering Reanna perkenalkan padanya lewat sambungan telepon beberapa bulan lalu."Kalandra siapa, Rea?" Joana yang mendengar nama lelaki asing keluar dari mulut Bastian membuatnya menatap menyelidik pada calon menantunya. Tentu hal tersebut membuat Reanna semakin pusing dibuatnya. 'Apakah aku jujur saja?' batinnya seraya sesekali meremas rok di atas pangkuannya.Ketika raut panik mendominasi wajah adiknya, Bastian yang duduk di samping sang ayah terkekeh puas. Pria itu tahu dengan pasti bahwa lelaki yang duduk di samping adiknya itu bukanlah Kalandra Adi Sucipta; tunangan yang sering diceritak
Kafe yang biasa Reanna dan Tisha kunjungi siang ini memang cukup lengang. Hanya ada beberapa meja yang terisi, sedangkan mereka memilih duduk di kursi yang berada di teras, sehingga mereka dapat sekaligus melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalanan."Tidak ada Kia, sepi ya?" Ucapan tiba-tiba Tisha membuat Reanna menoleh padanya, sejenak menghentikan suapan nasi daun jeruk ke dalam mulutnya. "Iya, Kia sedang di rumah neneknya," ungkapnya membenarkan. Tanpa balita cantik itu di sekitarnya, memang rasanya seperti ada yang kurang bagi Reanna. Setelahnya, ia meneguk segelas jus jeruk untuk melepas dahaga.Kepala Tisha mengangguk-angguk. Namun, secara spontan ingatannya kembali pada hari kemarin, seiring rasa ingin tahu yang datang. Sebelum mengatakan apa yang ada di kepalanya, Tisha lebih dulu membasahi tenggorokannya dengan segelas es teh pesanannya. "Serius, kamu benar-benar membuatku penasaran. Kemarin Pak dokter mengajakmu ke mana?" tanyanya."Dia mengajakku ke rumah orang tuaku
Tidak biasanya Bastian bangun sesiang ini, ketika mentari pagi sudah hampir naik sepenggalah. Ia semalaman susah tidur, dan baru bisa terlelap ketika pukul empat pagi. Entah kenapa setiap kali ia mengingat bahwa adik tersayangnya akan segera menikah, ia merasa tidak rela.Sambil mengucek sebelah mana, Bastian membuka pintu kamarnya. Langkah kaki panjang itu lalu bergerak menuju dapur, hendak memasak seperti tugas biasanya. Namun, ketika ia sampai di ambang pintu, atensinya mendapati bahwa di atas meja makan sudah tersaji beberapa masakan yang sepertinya masih panas, terlihat dari asap yang mengepul di atasnya. Dari aroma menggugah selera yang masuk ke dalam hidung mancung pria itu, Bastian yakin bahwa masakan yang telah siap santap di sana memiliki cita rasa yang luar biasa. Tanpa sadar kedua kaki pria itu menjejak mendekat untuk melihat lebih jelas masakan jenis apa yang terhidang di sana.Dan ... kedua mata sehitam jelaga Bastian berbinar seketika. Ia segera duduk di salah satu kur
"Sebentar, Kak. Rea akan angkat telepon dulu."Bastian hanya menganggukkan kepala untuk merespons izin adiknya. Sedangkan Reanna segera berjalan sedikit menjauh untuk mengangkat telepon yang ternyata dari calon suaminya, Nathan."Ya, Mas?" tanyanya pada seseorang di seberang telepon sana. Sejenak terdengar suara gemersik sebelum suara maskulin Nathan memasuki indera pendengaran Reanna."Kenapa kamu pulang ke rumah tidak memberitahuku, Rea?"Reanna terdiam selama beberapa detik mendengar pertanyaan Nathan. Meskipun ia sudah menduga jika Sang calon suami akan bertanya demikian, namun ia tetap merasa setitik rasa tak enak hati mengingat dirinya yang pergi tanpa izin. "Maaf, Mas. Aku tahu kalau Mas Nathan sedang sangat sibuk, jadi aku tidak mau mengganggu." Pada akhirnya hanya itu yang mampu Reanna ucapkan sebagai alasan."Pesan darimu tidak akan pernah menggangguku. Jangan diulangi, aku tidak suka." Nathan menjawab dengan sedikit nada ketus di seberang telepon sana. Meski begitu, Reanna
"Pagi, Kak Tian."Bastian segera menoleh saat suara feminin Reanna memasuki gendang telinganya, sejenak mengalihkan atensi pria gondrong itu dari televisi yang menampilkan game GTA. Ya, Bastian memang suka bermain playstation. Apalagi ketika hari minggu begini, tanpa ada kegiatan. Kening pria itu mengerut saat melihat penampilan Reanna dan Kia yang tampak rapi dengan pakaian yang biasa digunakan untuk berolah raga; celana training dan kaos oblong, tak lupa sepatu joging melekat di kedua kaki mereka."Kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanyanya, namun tidak melepas cekalan joystick dari kedua tangannya."Reanna dan Kia mau jalan-jalan pagi, keliling perkebunan." Reanna menjawab riang, lalu mengalihkan atensinya pada gadis kecil yang sedari bergandengan tangan dengannya. "Ya kan, Sayang?""Iya! Cama Papa juga." Gadis cilik nan imut yang kini berkuncir dua itu menimpali dengan penuh semangat, sebab ini merupakan pertama kalinya bagi Kia yang akan joging bersama kakak kesayangannya. Dia