Raut ceria menghiasi kedua wajah mereka. Setelah merasa cukup memeras keringat dengan berlari pagi, Reanna dan Kia segera pulang ke rumah. Cacing-cacing di dalam perut keduanya seakan telah berdemo meminta makan."Kami pulang ...." sembari menggendong Kia yang tampak kelelahan, Reanna membuka pintu rumahnya seraya mengucapkan salam."Keluyuran terus, ayo sarapan!" ketika langkah kaki Reanna sudah menjejak area ruang makan, Sang ayah menegur. Pria baya itu sudah duduk manis di salah satu kursi. Di atas meja makan sudah tertata rapi beberapa masakan sederhana; ada nasi yang masih mengepulkan asap, pula semangkuk besar sup ayam. Ah, tak lupa pula dengan sepiring tempe goreng yang tampak gurih dan renyah telah terhidang. Reanna menatap semua itu dengan kening mengernyit."Sarapan sudah siap? Siapa yang memasak, Ayah?" tanyanya setelah mendudukkan Kia di salah satu kursi."Kakakmu dan calon suamimu yang memasak bersama tadi.""Benarkah?" atas jawaban Sang ayah, kernyitan di kening Reanna
"Besok Rea akan kembali ke Jakarta, Kak." Reanna tiba-tiba berucap begitu ketika acara televisi yang mereka tonton malam itu sedang jeda iklan, membuat Bastian menoleh ke arahnya dengan sedikit kernyitan di dahi."Iya, Kakak tahu. Kenapa? Ada yang ingin kamu katakan?" tanya pria gondrong itu."Mas Nathan dan Kia sudah tidur.""Lalu?" mendengar jawaban adiknya, kerutan di dahi Bastian semakin dalam saja. Nathan dan Kia memang sudah masuk ke kamar Danudirja sejak beberapa menit lalu, lalu apa masalahnya?Sejenak Reanna tampak ragu untuk berucap, terlihat dari beberapa kali dirinya sempat meremas kedua tangannya di atas pangkuan. Namun, selang semenit kemudian perempuan itu memilih untuk mengatakan apa yang sedang ia pikirkan. "Reanna ingin jujur pada Kakak.""Katakan saja, Re. Kakak tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan selama ini." Bastian menegakkan posisi duduknya, menatap intens raut wajah adiknya seiring pikiran negatif menghampiri kepalanya."Sebenarnya ... Mas Nathan dan Kalandr
Refleksi di depannya terlihat begitu sempurna. Namun, entah kenapa tak sedikit pun terlihat senyuman terulas dari bibir merah kecokelatannya. Pria itu terdiam begitu lama di depan standing mirror itu, pandangan mata birunya menatap kosong pada pantulan dirinya. Tuxedo pengantinnya yang berwarna hitam telah melekat sempurna membungkus tubuh tegap nan gagahnya, sedangkan rambut pirangnya tertata rapi dengan sedikit pomade yang dibubuhkan. Penampilan dirinya seakan sudah siap untuk menuju altar, namun tidak dengan hatinya. Sejujurnya ia merasa sedikit gamang.Pria itu menghela napas panjang, dengan netra birunya ikut terpejam. Ia akan menikah, dan itu untuk yang kedua kalinya, di Gereja yang sama, hari ini, beberapa saat lagi. Hanya saja calon istrinya yang berbeda. Status duda yang selama ini ia sandang akan hilang, dan berganti menjadi suami orang.Apakah dirinya tidak senang?Tidak, bukan begitu. Tentu saja ada setitik kebahagiaan yang membuncah dalam dada pria itu. Reanna, calon ist
Sepasang pengantin itu memusatkan perhatian ke depan dengan tangan saling menggenggam, menatap pada seorang Pendeta yang menanyakan beberapa hal sebagai peneguhan pernikahan. Dan mereka menjawabnya dengan penuh keyakinan. Pemberkatan pun di mulai. Usai menjawab pertanyaan peneguhan dari Pendeta, kedua mempelai berdiri dan saling berhadapan, lantas mereka mengucapkan janji nikah secara bergantian, dipandu oleh Pendeta dan disaksikan oleh semua orang yang hadir di Gereja.Pria itu menatap dalam kedua iris indah di hadapannya, menyelami setiap ekspresi wanita yang akan segera menjadi istrinya. "Reanna Anggoro, aku mengambil engkau menjadi istriku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus."Rafalan kata-kata yang kel
Siang itu Joana terlihat begitu sibuk di dalam kamar di rumah putranya. Ia dengan dibantu oleh seorang pembantu sedang mendekorasi kamar Si pengantin baru dengan hal-hal romantis, seperti meletakkan bunga-bunga mawar merah di sekitar tempat tidur dan juga menata berbagai jenis lilin-lilin aromaterapi. Hal yang sama persis yang ia lakukan ketika mendekorasi kamar hotel tempat Nathan dan Reanna menginap."Bi, menurut kamu kamar pengantinnya bagaimana?" sambil meregangkan persendiannya yang sedikit kaku, Joana bertanya. Tatapan mata wanita baya itu menyapu segala sudut kamar yang telah berhasil ia hias."Sudah oke, Nyonya. Pekerjaan Nyonya memang keren!" Si pembantu memberikannya sebuah ibu jari tanda mengapresiasi. "Haha. Tentu saja." Dan Joana menanggapinya dengan tawa bangga. "Baiklah, kita tinggal menunggu pengantinnya pulang ke rumah."Si pembantu tampak mengangguk patuh. Setelahnya ia menunduk hormat sebelum melangkah meninggalkan ruangan kamar beraroma harum semerbak itu, meningg
Senyuman manis itu terulas, seiring kedua tangan wanita itu yang telah selesai menarik risleting belakang gaun si balita, Kia. Ia baru saja memandikannya pagi ini, kemudian memakaikan putrinya baju.Putrinya ya?Ah, hatinya begitu bahagia ketika menyebut balita cantik nan lucu itu sebagai putrinya. Tak terasa sudah tiga hari Reanna telah resmi menjadi ibu sambung Kia, yang tentu saja sekaligus seorang istri dari dr. Nathanael Adams. Kehidupan pernikahan mereka biasa saja, seperti kehidupan rumah tangga pada umumnya. Ia menjalankan peran sebagai seorang ibu dengan baik; menjaga dan mengurus Kia dengan sepenuh hati. Pun sebagai istri yang semestinya; mereka tidur di kamar dan ranjang yang sama, hanya saja belum ada kontak fisik yang lebih intim dari hanya berpelukan saat terlelap. Bukannya ia tidak mau melayani suaminya, hanya saja ia belum siap. Lagi pula dokter tampan itu tak pernah sedikit pun memaksa dirinya untuk memenuhi kewajibannya yang satu itu. Dia pria yang begitu pengertia
"Mama ... Mama ... mau main itu~" Kia menunjuk sebuah arena mandi bola pada taman bermain yang berada di dalam Mall yang mereka kunjungi. Ah, mereka sudah berjalan-jalan hampir satu jam di pusat perbelanjaan itu, dan kini Reanna lelah. Namun, sepertinya putri kecilnya itu tidak merasakannya. Justru Kia semakin aktif saja berlari-larian di sana."Baiklah ... mainnya hati-hati ya, Mama tunggu di sini." Reanna melepaskan gandengan tangannya pada putrinya, kemudian mendudukkan diri pada bangku panjang terdekat. Sedangkan Kia, balita itu langsung berlari menuju tempat tujuannya. Reanna menghela napas, ia akan mengamati balita cantiknya dari sini saja."Dadah, Mama~"Wanita itu tersenyum kecil, kemudian membalas lambaian tangan Kia, tanpa menyadari jika ada seorang pria yang sedari tadi mengamatinya.Sosok lelaki dengan rambut gelap itu terlihat berjalan mendekat ke arah Reanna. Mata hitamnya tak sedikit pun beralih dari wajah cantik wanita yang sangat dicintainya, bahkan hingga detik ini.
"Sshhh..." suara desisan suaminya adalah hal pertama yang Reanna dengar ketika memasuki kamar mereka. Di depan meja rias itu terlihat sosok Nathan, Sang suami sedang menempelkan es batu yang dibalut handuk kecil pada lebam membiru di pipinya, bekas pukulan Kalandra.Reanna melangkah mendekat, menatap suaminya dengan khawatir. "Apakah sakit?"Pria berambut pirang itu menoleh, sedikit terkejut melihat kehadiran Sang istri. "Ah, tidak. Luka seperti ini tidak ada apa-apanya bagiku." Ia memberikan senyuman menenangkannya pada Reanna, seakan menegaskan bahwa dirinya baik-baik saja. "Apakah Kia tidur?""Iya, dia baru saja tidur. Sepertinya ia syok dengan kejadian tadi." Reanna menarik kursi kayu mendekat pada kursi bulat yang diduduki Sang suami, kemudian mendudukkan dirinya di atasnya. "Biar aku yang obati."Wanita itu meraih handuk putih yang telah basah itu dari tangan Sang suami, kemudian kembali menempelkannya pada pipi yang masih terlihat membiru di hadapannya dengan perlahan. "Akh!"