Hampa. Itulah kiranya yang Nathan rasakan selama Sang istri tak berada di sisinya. Tidur nyenyak tak lagi ia jumpa, makan pun tak lagi berasa nikmat di lidahnya. Semua hambar. Sudah hari ke dua Reanna berada entah di mana, membuat dokter tampan itu semakin terlihat kacau. Pria itu kembali menghentikan laju mobil hitamnya tepat di depan Carnation florist, entah sudah kali ke berapa selama Reanna menghilang. Setidaknya sehari tiga kali ia ke sana, dengan harapan Sang istri berada di tempat itu. Namun, hingga detik ini belum juga membuahkan hasil.Lapor polisi?Sudah. Dan hasilnya masih tetap sama. Entahlah ... Reanna begitu pandai bersembunyi darinya.Perlahan kaki panjang itu menuruni kendaraan roda empatnya, melangkah dengan gontai menuju pintu transparan di ujung sana."dr. Adams ... lama tidak bertemu?"Pria berambut pirang itu tersentak ketika sebuah suara berat menginterupsi langkah kakinya. Mata biru nan redup itu menoleh dengan spontan. "Kamu?!"Tepat di depannya, berdiri sosok
Ruang makan itu didominasi oleh suara dentingan alat makan yang saling beradu, tanpa percakapan sama sekali. Ada Kalandra dan juga Olivia yang duduk berdua di sana. Sepasang suami istri yang baru saja dikaruniai buah hati itu sedang menikmati makan malam bersama, sedangkan si bayi mereka biarkan tidur di ranjang bayi di dalam kamar mereka."Rea mana, Liv?" tanya Kalandra seraya memotong ayam panggang di atas piringnya. Ia menusuknya dengan garpu lalu menyuapnya ke dalam mulut dengan khidmat."Ada di kamar tamu." Olivia yang sedang menyantap sup jagung sejenak menghentikan gerakannya untuk menjawab pertanyaan Sang suami."Panggil dia, ajak dia makan bersama," titah pria itu, kali ini ia menatap tepat pada mata istrinya. Perintah yang sejujurnya membuat Olivia merasa sedikit tidak nyaman. Biar bagaimanapun, Reanna merupakan mantan tunangan suaminya. Pasti rasanya akan aneh saat mereka bertiga berada di satu meja, tetapi Olivia terlalu takut untuk berkata jujur tentang apa yang tengah i
Matahari sudah tepat di atas sana ketika langkah kaki Reanna menapaki pelataran Carnation florist. Setelah berpikir panjang, pada akhirnya ia memutuskan untuk kembali datang ke toko bunga tempat ia bekerja. Dan tentu saja ia harus menyiapkan hatinya untuk kemungkinan bertemu dengan suaminya. Ia sudah lelah bersembunyi. Lagi pula, melarikan diri tak akan membuat masalahnya terselesaikan, justru dapat membuatnya semakin runyam. Dan ia bukanlah seorang pengecut, ia harus menghadapi dan menyelesaikannya, apa pun yang terjadi. "Akhirnya kamu datang ke sini juga, Rea. Kukira kamu sudah melupakanku," ucap Tisha ketika kedua matanya menangkap sosok Sang sahabat yang beberapa hari terakhir ini tak menampakkan diri. Ia meninggalkan pekerjaannya begitu saja, lantas berlari menerjang Reanna, memeluknya."...." Sedangkan Reanna hanya diam saja, namun ia segera membalas pelukan sahabatnya seraya tersenyum tipis."Kamu ke mana saja, hah? Kenapa tidak bisa dihubungi selama berhari-hari?" cecar Tis
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba