Share

BAB 2 — KARTU IDENTITAS

Dering suara ponsel memaksa Gamma membuka kelopak mata. Kedua alis spontan menyatu ketika rasa pening menyerang kepala dan lampu terang itu membuat indra penglihatannya harus beradaptasi dengan cahaya.

Gamma mengerang. Ia terduduk sembari memegang dahinya. Rasa mual telah membawa sebagian isi perutnya berada diujung kerongkongan. Apa yang terjadi semalam ia tak mengingatnya dengan baik, hanya ingatan samar sebuah runtutan kejadian yang membawanya ke hotel ini.

Ah, ya, ia telah dikhianati kekasihnya. Lalu apalagi ini? Bau alkohol yang sangat pekat, baju berserakan di mana-mana, bantal dan guling bahkan terlempar dari tempat seharusnya. Lalu botol-botol minuman yang jumlahnya lebih dari tiga itu juga tergeletak begitu saja di lantai. Kamar hotel ini bagaikan kapal pecah.

Kacau.

Gamma lalu menyingkap selimut yang ia gunakan, and than, Damn! Dia tak mengenakan sehelai benang pun. Perlahan-lahan, ingatan Gamma mulai muncul walau masih berupa potongan puzzle. Semalam ia menghabiskan malam dengan bersenang-senang. Bersama dewi malam yang ... masih virgin, mungkin.

Ia pikir begitu karena ia melihat bercak darah yang cukup banyak di tempat tidurnya.

Gamma lalu meraih ponsel —yang masih berdering—yang tak jauh dari posisinya. Setelah berhasil membaca dengan baik siapa penelponnya, ia kemudian mengusap layar untuk menjawab panggilan.

Madam Lily.

"Ya, Madam?" jawab Gamma sedikit menahan mualnya.

["Gamma, Sesuai dengan pesan yang kukirim semalam, Aku janji, akan mengirimkan penggantinya malam ini. Gratis kau tak perlu membayar."]

Dahi laki-laki itu spontan berkerut. "Pengganti apa maksudmu, Madam?"

["Apa kau tak membaca pesanku? Semalam, Laura tidak bisa ke kamarmu karena dia jatuh dari tangga saat ingin turun dari lantai club dan sepertinya cideranya cukup parah."]

"Kau tak perlu minta maaf, Madam, justru aku yang harus berterima kasih karena kau sudah mengirimkan seorang gadis padaku."

["Gadis? Hei, berapa botol minuman yang kau teguk hingga pagi ini kau masih berhalusinasi?"]

"Ck! Aku sadar, aku tidak berhalusinasi. Bukankah, Madam sendiri mengirimkan aku gadis perawan?"

["Astaga, Jika aku mengirimkan gadis itu aku tak perlu repot-repot menelponmu, Gamma. Dan, ya, jaman sekarang sangat sedikit populasi gadis, kau harus ingat itu."]

Gamma menyugar rambutnya. Mendadak panik dan bingung siapa perempuan yang bercinta dengannya semalam? "A–apa? Jadi Madam tidak mengirim siapapun?"

["Sungguh, aku tidak mengirim siapapun, Gamma. Aku baru akan mengirimkannya malam ini. Bagaimana? Apa kau memberiku maaf untuk kesalahan ini?"]

Gamma terdiam sesaat berusaha mencerna kata-kata Madam Lily dan menggabungkan peristiwa yang ia ingat dengan baik. Namun pada akhirnya ia memilih menyerah sebelum mendapat jawaban. “Ck! Kau tak perlu mengirimkan siapapun lagi, Madam,” ujarnya kemudian.

["Jika kau berkata begitu, baiklah. Tetapi aku masih penasaran dengan siapa kau bermain semalam? Jika benar masih virgin, kau harus bertanggungjawab, Gamma. Karena bisa jadi perempuan yang kau jamah semalam adalah gadis baik-baik."] Madam Lily berkata dengan nada menakut-nakuti. ["Dan .... Pikirkan kemungkinan, Bagaimana jika dia hamil anakmu?"] Dengan tawanya yang menggelegar, sambungan telepon itu diputus oleh Madam Lily.

Gamma meremas rambutnya frustasi setelah melempar ponselnya ke arah samping. Damn, it! Kenapa bisa salah seperti ini? Bagaimana jika gadis itu benar-benar hamil? Sungguh ia tak melihat satu pun benda elastis yang selalu ia bawa kemana-mana itu.

Tidak lucu jika ia dituntut karena menghamili seorang perempuan yang tidak ia kenal, bukan? Ia tak yakin dengan darah itu. Namun kondisi saat ia terbangun sudah memperkuat hipotesa.

Gadis baik-baik?

Tidak mungkin! Jika benar gadis baik-baik maka tidak akan pergi ke tempat seperti ini. Ah, Gamma tak ingin memikirkan itu. Kepalanya makin berdenyut nyeri saja.

Perlahan Gamma beranjak dari tempat tidurnya, dengan kepala pening, ia memaksa tubuhnya untuk bergerak lalu memunguti satu persatu pakaiannya. Namun tangannya berhenti ketika mendapati sebuah kartu tanda pengenal.

ID Card Pegawai hotel ini.

[ Serra Adelina Putri. ]

***

“Apa kau yakin dia tinggal di apartemen itu? Bahkan, bangunan itu sama sekali tak terlihat layak ditinggali.” Gamma berbicara melalui telepon sembari terburu-buru menaiki anak tangga menuju kamar.

Pria itu baru saja sampai di rumahnya. Memang tidak langsung ke kantor, ada beberapa laporan yang harus ia ambil dan juga beberapa materi rapat yang ia tinggalkan. Rambutnya tidak lagi acak-acakan, baju tidak lagi kusut dan tentunya ia telah menjadi direktur yang siap bekerja di pagi hari — jauh dari pertama ia bangun tidur di hotel tadi—mungkin orang yang melihatnya tak akan menyangka jika semalam ia hancur berantakan.

[“Aku sangat yakin, Gamma. Awalnya aku sendiri memang tidak percaya karena tempat itu sungguh memprihatinkan. Tetapi, memang nyatanya seperti ini. Dari informasi yang aku peroleh, ia memang tinggal di sana. Serra Adelina Putri tinggal di kamar nomor 720. Tidak punya keluarga, dan bekerja sebagai pelayan hotel dengan gaji yang lebih rendah dari harga sewa apartemen.”]

Kedua alis Gamma semakin bertaut dalam. Bagaimana bisa seseorang menyewa apartemen jika gaji yang diperoleh saja lebih rendah? "Apa katamu? Bagaimana bisa?"

"Ya, dia bisa mendapatkan apartemen itu dari Madam Lily, si Tua itu yang membiayai apartemennya. Itu informasi yang aku dapatkan dari orang di sana."

Seorang pria menjelaskan dengan detail apa informasi yang baru saja ia dapat. Setelah menemukan ID Card tadi, Gamma meminta Wiliam —orang kepercayaannya—untuk menyelediki sang pemilik tanda pengenal itu.

“Ada lagi?” tanya Gamma setelah membuka pintu kamarnya. Kini lelaki itu berjalan ke sudut ruangan dan mengambil berkas-berkas yang harus ia bawa.

[“Sejauh ini, baru itu informasi yang aku dapatkan untuk Serra. Lagipula, untuk apa kau bertanya tentang gadis itu? Kurasa informasi ini sangat tidak penting.”]

“Bukan, hanya .... beberapa hari lalu dia melamar sebagai office girl, aku hanya ingin tahu saja,” jawab Gamma bohong, tentu tak mau jika Wiliam menertawakannya karena kekonyolan yang sudah ia lakukan semalam bukan? Gamma kembali berdeham, “Lalu untuk Adam? Apa kau memiliki informasi tentangnya?”

Wiliam bergumam pelan. [“Adam hari ini terbang ke Bali, dia mengambil jadwal penerbangan pagi. Dan, ya, dia pergi sendiri.”]

Gamma menyimak setiap penjelasan Wiliam seraya merapikan berkas-berkas bertumpuk itu ke dalam sebuah map. Setelahnya, pria itu duduk dengan kepala yang bertumpu pada sikunya seraya memijat kepala yang terasa sedikit pusing.

“Berapa hari dia pergi?”

[“Menurut sekretarisnya, dia pergi lumayan lama, sekitar dua mingguan.”]

“Baiklah, terima kasih, Will, tunggu aku di kantor aku punya sebuah rencana dan aku butuh kerja sama denganmu.”

Sambungan terputus setelah Wiliam mengiyakan apa kata-kata Gamma. Pria itu kemudian mengatur napas sejenak. Tangannya kini sibuk mengurut pelipisnya sendiri.

“Apa yang kau rencanakan, Sayang?” Mengetahui ada orang lain selain dirinya, Gamma menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sang ibu sedang berdiri membawa nampan berisi susu dan roti gandum. “Sepadat itu rencanamu, sehingga kau tak pulang semalam? Kau berhutang penjelasan padaku, Son.”

“Bu? Maaf, semalam aku —”

“Security dan Sekretarismu mengatakan jika pulang lebih awal.” Sang ibu meletakan segelas susu dan sepiring roti itu di meja Gamma. Sesaat kemudian, kedua netranya sejurus dengan manik hitam milik putranya. Menyusuri bulatan hitam itu begitu lekat, namun ada jawaban lain yang diberikan oleh mata Gamma.

“Aku —”

“Kau bahkan tidak menginap di apartemen Rossa.”

Ah, andai bukan ibunya, Gamma sudah memperingatinya untuk tak menyebut nama wanita itu lagi. Ia hanya bisa mendengkus lemah.

Baiklah, baiklah, berbohong jika ia tidur di kantor dan apartemen wanita itu rasanya tidak mungkin. Tidak ada pilihan. Akan lebih baik jika ia bicara apa adanya.

“Aku menginap di hotel, Bu, semalam ada meeting di club dan selesai tengah malam, jadi karena terlalu lelah, aku checkin hotel saja, maaf tidak mengabari ibu.”

Ibunya menggelengkan kepala saja. “Lain kali, kabari ibu. Biar ibumu ini tidak cemas.”

Pria itu lantas mengangguk. “Em, nanti Gamma akan adakan makan malam bersama dengan keluarga Rossa. Tolong ibu urus ya untuk masalah makanan?”

Raut wajah muram dari ibunya seketika berubah cerah. “Makan malam? Dalam rangka apa?”

“Malam ini, kan, perayaan 4 tahun hubungan kami. Gamma ingin memberikan kejutan kepada Rossa,” ujarnya sembari menerbitkan sebuah senyum kecil di bibirnya.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Novita dwi cahyani
best sih ceritanya
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
wah bakal ada pertunjukan seru nih di eps berikutnya
goodnovel comment avatar
octifinalis palupi
Penasaran nih baru spe bab 2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status