Share

BAB 4 — PENGUJI KEHAMILAN

Dua minggu kemudian.

Di tempat lain.

Seorang perempuan sedang terduduk lemas, bibirnya pucat dan terkatup rapat menahan rasa mual masih mendominasi. Pagi ini sudah terhitung empat kali ia mengunjungi kamar mandi, menumpahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Sera, merasa aneh dengan tubuhnya beberapa hari terakhir. Terlebih, selepas malam yang suram itu.

Oh, tidak! Itu malam yang menjijikan baginya!

Tangan Sera kini meremas-remas pakaian yang ia gunakan. Berulang kali dirinya menggigit bibirnya sendiri sembari memijit kepalanya yang terasa pening. Apa benar dugaannya, jika ada sesuatu yang tumbuh dalam tubuhnya? Ia gelisah, sungguh. Sudah dua minggu perempuan itu menantikan periode haid yang seharusnya datang satu minggu yang lalu, tetapi sampai hari ini ia tak kunjung mendapatkannya.

"Aku harus bagaimana?" desahnya frustasi.

Daya kerja otaknya untuk berpikir tiba-tiba menurun. Seperti orang bodoh yang tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa saat ia termenung, mengambil napas panjang saat rasa mual mulai menyerangnya lagi.

Lalu, dengan sekuat tenaga Sera bangkit berdiri. Kemudian, perempuan itu membawa langkah kakinya ke dalam sebuah ruangan, menghampiri sebuah kabinet kecil berwarna putih. Tangannya terulur mengambil sebuah benda pipih berwarna putih biru yang ia beli di apotek beberapa hari yang lalu.

Sejenak, ia terpejam sebelum melangkah kembali ke kamar mandi. Berharap dalam hati, semoga malam itu tak menjadikan hidupnya lebih buruk.

Perempuan bertubuh ramping itu lantas menuju kamar mandi, menampung urinnya pada sebuah wadah kecil. Setelahnya, ia mencelupkan benda yang ia ambil tadi selama beberapa detik sembari merapalkan doa-doa untuk menyelamatkan hidupnya dari malapetaka.

Namun, sayang. Semua doa yang ia ucapkan itu sia-sia. Mimpi buruk yang takutkan justru terjadi, ketika ia mendapati dua garis merah muncul dalam alat penguji kehamilan itu.

Mata dan bibirnya membulat sempurna. Bibir pucat yang tipis itu bergetar, tubuhnya menggigil dan pandangannya mulai berkabut. "Enggak mungkin! Ini enggak mungkin!"

Kalimat penyangkalan itu terus lolos dari bibirnya. Tetapi, itu tidak berguna karena tak bisa mengubah sebuah fakta. Ada sebuah kehidupan dalam perutnya yang masih rata!

Tanpa aba-aba, segelintir air telah lolos dari pelupuk mata. Meluncur bebas tanpa perintah.

"Kenapa kau harus tumbuh dalam tubuhku? Aku tidak sanggup jika harus menghidupi kita berdua kau, tahu?" ujarnya menatap kosong langit-langit di atas kepalanya.

Menikmati gemuruh dalam dada yang kian menggila. Sekarang, Sera harus melakukan apa? Siapa yang akan bertanggung jawab atas ini semua?

Hidupnya sudah sulit. Dia selalu dipandang sebelah mata, sekarang ia malah menambah masalah. Orang akan mencelanya habis-habisan. Mempermalukan dirinya karena mengandung tanpa suami.

Apalagi, semua orang mengenalnya bekerja di club malam.

Laki-laki itu telah menghancurkan hidupnya! Sudah puaskah ia sekarang? Entah di mana rimbanya pun, Sera tidak tahu. Pun, ia tidak mau menemuinya.

"Dasar laki-laki berengsek!" pekiknya histeris seraya memukul dirinya sendiri. Namun, itu tidak lama karena setelahnya terdengar bunyi bell apartemen miliknya.

Secepat kilat, Sera mengusap wajahnya, membersihkan jejak-jejak air yang mengalir deras di sana. Perempuan itu mematut dirinya di cermin sebentar. Memastikan bahwa wajahnya tak buruk saat menemui seseorang.

***

Ketika pintu terbuka, seorang laki-laki berstelan jas sudah berdiri di depan apartemennya. Orang itu berdiri tegap, membawa sebuah tas kulit yang terlihat mahal.

'Siapa dia?'

Pria yang membawa tas itu lantas menerbitkan senyum sekilas ke arahnya. Sebelumnya, Sera mengingat-ingat kembali apakah ia mengenalnya? Setahunya, ia sudah melunasi cicilan hutang yang harus dibayarkan bulan ini.

"Selamat pagi, Nona Sera," sapa laki-laki itu seraya menarik sudut bibirnya dengan ramah. Tunggu dulu, Dari mana pria itu tahu namanya? Benak Sera bahkan tak bisa mendapatkan jawabannya.

"Se-selamat pagi ... ada perlu apa, Sir?" tanya Sera dengan kalimat yang terbata-bata.

Lantas, orang itu mengulurkan tangannya untuk dijabat. "Saya William," ujarnya bersamaan saat Sera membalas jabat tangannya dengan ragu. Perempuan itu masih bertanya-tanya, siapa pria bernama William ini, dan apa kepentingan terhadap dirinya?

"Boleh saya masuk?" pinta William setelah Sera melepaskan jabat tangannya.

Sera segera mengangguk dan mempersilakan William untuk mengikuti langkahnya. "Silakan duduk, maaf tempat saya seadanya."

William hanya tersenyum sebagai jawaban memaklumi apa kata-kata Sera. Memang, tempat ini sama sekali tidak mirip dengan Apartemen. Lebih mirip dengan rumah susun. Lelaki itu mendudukan diri pada kursi kosong di depan Sera tanpa rasa ragu.

"Saya asisten pribadi Tuan Gamma. Beliau juga akan kemari, saat ini masih dalam perjalanan sebentar lagi pasti tiba."

Dahi Sera spontan berkerut. Siapa pria bernama Gamma? Sungguh laki-laki ini misterius baginya. "Maaf kalau aku bertanya lancang tapi aku tidak mengenal Anda. Apa sebelumnya kita pernah bertemu?"

"Kita baru sekali bertemu."

Sera hanya mengangguk saja. "Lalu ada perlu apa, sampai Anda menemuiku? Jika bicara tentang hutang, aku sudah membayarnya pada bank bulan ini."

"Ini bukan perkara hutang, Nona Sera. Tetapi, ini menyangkut nama baik Anda dan atasan saya," jawab pria itu lagi membuat Sera makin tidak paham.

"Memangnya siapa atasan Anda, Tuan, William?"

"Sudah saya katakan di awal, beliau adalah Tuan Gamma Pranadipta."

"Maaf, sebelumnya, tapi aku tidak pernah memiliki urusan dengan seseorang bernama Gamma Pranadipta."

Laki-laki itu tersenyum manis. "Setelah Tuan Gamma datang, saya yakin Anda mengingatnya dan tahu dengan jelas siapa atasan saya."

"William benar, kau pasti masih sangat mengingatku!" sahut sebuah suara berat yang menginterupsi pembicaraan mereka dari arah pintu masuk. Sera segera melemparkan pandangannya ke arah pintu. Namun, tatapannya berubah menjadi tajam saat tahu siapa pemilik suara berat itu.

"Kau?" Bahkan, Sera hampir berdiri melihat siapa yang masuk tanpa izin dalam rumahnya.

Seorang pria dengan setelan jas berwarna biru tua sedang berdiri angkuh di depan pintu dengan kedua tangan berada di saku celananya. Oh astaga! Laki-laki ini adalah orang yang tidak pernah ingin Sera temui!

Laki-laki yang tengah menghadirkan bencana besar dalam hidupnya.

“Mau apa kau datang ke sini?” Sera menghadiahi tatapan tajam kepada Gamma.

"Oh, baiklah, kalimat sapaan yang luar biasa. Apa kau tidak mau mempersilakan aku duduk, Nona Manis?"

ASTAGA!!! Batin Sera memaki keras-keras.

Pria ini benar-benar tidak tahu malu! Setelah apa yang ia perbuat malam itu, sekarang pria ini justru bersikap seakan-akan ia adalah orang yang istimewa? Cih! Tak Sudi!

Sera yang tidak ingin berurusan lebih lama dengan mereka, lantas menghela napas kasar. Bahkan, tangan perempuan itu sudah mengepal sempurna. "Cepat, katakan saja apa maksud kedatangan kalian!" katanya tanpa mempersilakan Gamma duduk.

Tidak ada jawaban dari William. Pria itu justru tersenyum dan membuka tasnya selepas itu mengeluarkan beberapa lembar kertas putih yang dipenuhi dengan barisan tinta yang diketik rapi. Sementara itu, Gamma yang tak mendapat sambutan baik dari Sera langsung duduk bergabung dengan William, mengabaikan tatapan membunuh dari perempuan itu.

"Anda tentu bertanya untuk apa kami datang ke sini. Ini bersangkutan dengan insiden yang terjadi antara Anda dengan Tuan Gamma dua minggu yang lalu di Nine Night Club."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
M Arsya Alli
seru bgt cerita nya
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
makin seru nih
goodnovel comment avatar
Yustin Milla
seru ini cerita kk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status