Gamma berdiri di depan sebuah kamar VIP rumah sakit dengan gelisah. Kedua tangannya masih berada pada saku celananya. Meski raut wajahnya masih tampak tenang dan datar, tak bisa dipungkiri saat ini Gamma sedang memikirkan banyak hal.
Sedangkan Sera masih tergeletak lemas di atas brankar rumah sakit dalam ruangan itu. Perempuan itu harus menjalani rawat inap selama beberapa hari sampai kondisinya pulih dan stabil.Mau tidak mau Gamma harus menyetujui usulan dokter agar Sera beristirahat total. Lebih parahnya lagi sekarang ia sedang bersandiwara menjadi suami Serra.Dokter sudah memanggilnya beberapa saat yang lalu dan memberitahunya kabar yang seharusnya membuatnya bahagia— jika saja ia sudah menikah. Tetapi kali ini tidak. Kabar itu justru membuatnya pusing tujuh keliling.Gamma tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua ketakutannya selama dua minggu ini benar-benar terjadi. Malam yang kalap itu menghadirkan sebuah janin yang kini berusia dua minggu dalam perut Sera.Anaknya. Darah dagingnya, keturunan keluarga Pranadipta.Berulang kali Gamma memijit pelipisnya. Kepalanya saat ini terasa mau pecah. Pikirannya berkecamuk pada banyak hal. Hal serupa juga dirasakan William yang tengah berdiri mendampingi Gamma."Dia hamil," gumam William yang tidak dijawab dengan reaksi apapun oleh Gamma. "Mau tidak mau kau harus bertanggung jawab, Gam."Sementara Gamma mengacak rambutnya prustasi. "Menikah tanpa cinta kau pikir itu mudah? Lagipula aku sudah bilang padanya aku tidak mau bertanggung jawab atas malam itu.""Sudah kukatakan kemarin, jika benar dia hamil jangan jadi pria pengecut," balas William lagi."Tapi untuk ini—""Yang aku tahu, seorang Gamma Pranadipta tidak pernah mundur melawan apapun! Kau harus menikahinya, Gamma."Laki-laki itu belum menjawab. Hanya terdiam dan bersandar pada dinding berkelir biru muda di belakangnya. Jika benar dia harus menikah, apakah ia siap menjalani rumah tangga itu tanpa cinta?Sementara William hanya berdiri dengan kedua tangan bersedekap. Tidak tahu lagi harus bagaimana ia menyelesaikan masalah bosnya itu. Kemarin,Gamma memang meminta William untuk memberikan kompensasi sebagai permintaan maaf kepada perempuan itu, Karena ia pikir memang kesalahan biasa yang tidak akan menimbulkan kekacauan.Tetapi, sekarang, begitu tahu perempuan itu sedang mengandung, William tidak bisa memberikan solusi selain menikahi Sera.Tak berapa lama kemudian, tiga orang perawat keluar dengan membawa peralatan medis yang sudah mereka gunakan. Lantas Gamma menggiring langkahnya ke ruang bangsal dimana perempuan itu beristirahat. Sementara William mengikuti langkah para suster menuju administrasi.Saat Gamma menginjakkan kakinya di sana, penampakan Sera yang terkulai lemas adalah hal yang pertama kali dilihatnya. Perempuan itu tidur dengan posisi miring ke kanan, kedua matanya terpejam, dan dahinya berkerut. Satu tangan Sera gunakan untuk menahan perutnya yang terasa mual. Satu tangannya lagi ia gunakan sebagai alas tidur.Meski begitu, Gamma tahu bahwa Sera masih sadar sepenuhnya."Kau perlu sesuatu?" tanya Gamma saat melihat perempuan itu membuka mata. Sepertinya ia menyadari kedatangan Gamma.Bukannya menjawab Sera justru melemparkan sebuah pertanyaan tanpa menatap Gamma. "Kenapa kau membawaku ke sini?"Gamma lalu melangkah mendekati Serra dan Berdiri di samping kanan ranjang perempuan itu. "Tak penting. Tugasmu hanyalah beristirahat."Namun, saat Gamma sudah berada di hadapan Sera, perempuan itu justru mengangkat tangan dan mengibaskannya pelan. "Menjauhlah, kau membuatku mual," perintah perempuan itu.Dahi Gamma spontan mengkerut. "Apa maksudmu?" Pria itu kemudian memastikan dirinya sendiri barang kali ada sesuatu yang salah dengannya."Bau parfummu membuatku mual," jelas Sera lagi dengan nada yang malas.Helaan napas kasar keluar dari bibir pria itu. Memangnya bisa begitu? Perempuan hamil selalu ada-ada saja. Gamma lantas menarik kursi di samping Sera dan duduk di sana. Menghiraukan perintah perempuan itu untuk menjauh."Setelah ini apa yang akan kau lakukan?" tanya Gamma dengan nada datarnya membuat Sera menatap serius laki-laki di sampingnya.Perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya. "Memangnya aku harus apa?""Seperti yang aku katakan tadi. Aku tidak akan bertanggung jawab atas kehamilanmu itu." Jawaban Gamma mengundang tawa sumbang dari Sera."Dan seperti yang aku katakan, aku tidak akan meminta pertanggungjawabanmu!" jawab Sera tak kalah ketus.Dengan rahang yang masih mengeras, Gamma kembali memuntahkan kalimatnya. "Tapi anak itu hanya akan mempersulit hidupmu!"Sejurus kemudian, Sera menatap laki-laki yang kini duduk di depannya. Ia akui Gamma adalah sosok pria tampan idaman para wanita. Namun, sayangnya, tindakan yang dilakukan Gamma justru membuat perspektif Sera menjadi berbeda. Tidak ada kekaguman, tidak ada simpati terhadap pria itu. "Lalu? Kau mau aku melakukan apalagi? Sudah kubilang, kau bisa hidup dengan tenang. Biar aku yang mengurus anak ini, aku tidak minta apapun darimu!"Gamma menghela napasnya kembali. Pria itu lantas mengarahkan pandangannya kepada Sera. Mengamati setiap inci wajah perempuan itu dengan seksama. Lalu setelahnya pria itu berkata, "Gugurkan anak itu!"Mendengar itu, Mata dan bibir Sera membulat sempurna. Tidak percaya jika Gamma memintanya melakukan hal sekejam itu. Ia memang tidak menginginkan janin itu hadir dalam hidupnya, tetapi bukan berarti ia menjadi seorang pembunuh. Melenyapkan nyawa yang tumbuh tak bersalah.Sera meremas selimut yang digunakan untuk menutupi tubuhnya. Sungguh ia geram dengan orang-orang seperti Gamma. Menghalalkan segala cara agar namanya terlihat bersih."Aku tidak tahu bagaimana ibumu mendidikmu. Tetapi, aku tidak akan pernah menjadi seorang pembunuh, apalagi melenyapkan nyawa anakku sendiri.""Jangan membawa nama ibuku! Ini masalah antara kau dan aku!" tegas Gamma dengan rahang yang semakin mengetat.Sera lantas tersenyum miring. "Dengar juga, Tuan Gamma! Aku memang tidak menginginkan anak ini hadir dalam hidupku. Tapi sampai kapan pun aku tidak akan melenyapkan anak ini!"Di sisi lain, Gamma tidak ingin kalah. Pria itu masih bersikukuh dengan keinginannya. "Kuberi tahu, dia akan membuat hidupmu semakin menderita. Jadi, lebih baik kau gugurkan anak itu, dan masalah antara kita selesai."Kedua alis Sera kembali bertaut. apakah pria itu tidak berpikir kalau dengan mengugurkan anak ini, masalah tidak akan selesai begitu saja? Bukankah Gamma adalah pria yang berpendidikan?"Jika kau takut suatu hari nanti anak ini akan mencarimu, kau salah! Aku tidak akan pernah memberi tahu siapa ayahnya. Dia pasti malu kalau tahu ayahnya adalah seorang pengecut!" sentak Sera membuat Gamma melebarkan matanya. Kedua tangan pria itu mengepal sempurna."Gugurkan anak itu atau—"Secepat kilat Sera menggelengkan kepalanya."Tidak! Silakan pergi kalau kau ke sini hanya menyuruhku melenyapkan anak ini!" perintah Sera dengan nada datarnya.Gamma kembali memejamkan matanya sesaat. "Jadi, kau tetap tidak mau mengugurkan anak itu?"Raut wajah Sera berubah menjadi dingin, tak gentar dengan sosok Gamma terlihat menakutkan. Perempuan itu memperlihatkan kilatan amarah di kedua bola matanya, lalu dengan sangat tegas menjawab, "Ya! Biar kuurus anak ini sendiri! Kau tidak perlu repot-repot peduli atau khawatir aku akan menuntutmu masalah ini. Jadi pergilah!"Gamma menuruti perintah Sera. Pria itu bangkit berdiri lalu berjalan menuju ke luar ruangan. Namun, ayunan kakinya terhenti ketika ia berada di ambang pintu. Lelaki itu diam, selanjutnya berkata, "Kalau begitu, kita menikah minggu depan."Hai, guys. Ini adalah novel pertama saya, semoga suka ya! Jangan lupa Vote and comment. Sincerely, Sinar Rembulan 🤍
Suara ketukan pintu berkali-kali terdengar, tetapi tidak mampu membuat Gamma tersadar dari lamunannya yang entah sedang berada di mana. Pria itu duduk di bibir ranjang, menatap kosong pada jendela kamar yang sedang terbuka lebar.Seperginya Gamma dari rumah sakit tadi, entah mengapa sekarang ia merasa tidak tenang. Ada banyak hal yang bercampur menjadi satu dalam benaknya. Apa perempuan itu baik-baik saja? Batinnya bertanya-tanya. Namun, logikanya berusaha menyadarkannya. Kenapa juga dia harus peduli dengan Sera? Ah, perempuan itu semakin membuatnya pusing. Ditambah lagi, ia telah meloloskan kata-kata yang tidak ingin ia lakukan.Mungkin, kalimat yang tepat untuk Gamma saat ini adalah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua minggu lalu pernikahannya dengan Rosa batal, dan minggu depan, ia harus menikahi perempuan yang tidak ia inginkan hadir dalam hidupnya.Beberapa detik setelahnya terdengar suara pintu terbuka. William telah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu hanya bisa menggeleng ket
Suara ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai juga panggilan dari istrinya terdengar jelas di telinga Gamma. Wanita itu memanggil namanya berulang kali. Namun, pria itu berusaha mengabaikannya, menulikan telinga, bahkan mempercepat tempo langkahnya. Ia sedang memburu waktu untuk cepat-cepat berada dalam kantornya. Tetapi bukan Serra jika ia tidak memiliki tekad yang kuat. Sebelum suaminya menjauh, Serra buru-buru melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk menyusul Gamma dan mengikutinya dari belakang. "Gamma! Tunggu dulu!" cegahnya seraya menahan lengan Gamma, membuat pria itu menghentikan langkahnya dengan malas. diiringi dengan decakan kesal yang keluar dari bibir pria itu. "Apa lagi? Kau membuang waktuku, aku harus bekerja!" tegurnya setelah membalikkan badan dan berhadapan dengan perempuan itu. Sementara Serra justru memberikan reaksi yang berbeda. Tatapannya datar dan rahangnya mengatup rapat. Tak berapa lama kemudian, Perempuan itu melemparkan map beserta kertas putih yang d
Di kantor. Gamma baru saja tiba di ruangannya setelah ia selesai rapat dengan kolega bisnisnya. Program pembangunan sebuah hotel yang berada di pulau Bali menguras Pikirannya hingga berakibat pada kepalanya yang terasa pening tiba-tiba. Padahal, pagi tadi ia sudah sarapan seperti biasa dan sudah makan siang sebelum rapat dimulai tadi. Pun biasanya ia tak ada masalah bila terlambat makan siang. Pria itu memejamkan mata, menahan rasa sakit yang kini kian menjalar di kepalanya. Di susul dengan rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya. Apa ia telah salah makan? Argumen itu tentu tidak mungkin, makanan yang dipesan sekretarisnya selalu dari tempat catering yang sama dan Gamma juga sudah berulang kali makan menu tersebut. Tidak ada masalah selama ini. Namun, siang ini ia merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Gamma lalu menekan-nekan layar pada ponselnya yang kini telah menyala dalam genggaman. Detik setelahnya ia mendekatkan benda pipih itu di telinganya. Pada dering yang ketiga barula
Aroma kaldu yang menguar di seluruh ruangan membuat lengkungan di bibir Serra terbit dengan sempurna. Ada senandung kecil yang ia nyanyikan setelah mencicipi hasil masakannya sore ini. Hari ini entah mengapa perutnya bisa diajak berkompromi. Bahkan, rasa mual yang beberapa hari belakangan menderanya juga seakan sirna, sekalipun ia mencicipi atau mencium bau amis.Sudah empat jam lebih pula ia berkutat di dapur hanya untuk memasak satu panci kecil sup ayam dan ikan nila goreng. Bukan tanpa alasan ia membuat dua menu itu, sejak kemarin keinginannya untuk menyantap makanan itu sangat besar.Ya, Serra memang sengaja memasak porsi kecil saja, itu pun sudah cukup untuknya dan Gamma—Jika pria itu mau.Besar harapannya agar pria itu mau makan malam di rumah ini. Walaupun sikap Gamma menyakitinya, tapi dalam hati yang paling dalam, ia ingin menjadi istri yang berbakti pada suaminya sendiri.Meskipun hanya sembilan bulan lamanya. Sekalipun Serra hanyalah istri yang terpaksa Gamma nikahi. Setida
Derit pintu yang terbuka terdengar di telinga Gamma. Tetapi pria itu masih setia memejamkan mata dan engggan melihat siapa yang datang. Rasa sakit pada kepala kian menjadi-jadi. Ia terbaring lemah di kasur yang hanya berukuran singgle pada kamar bernuansa putih itu. Gamma terpaksa menghilangkan ego saat ia tidak kuat berjalan lebih lama apalagi menaiki tangga untuk berisitirahat di kamarnya. Ia menurut saja ketika Serra berinisiatif membawa Gamma ke kamar wanita itu. Mau tidak mau ia harus menurut dengan perintah istrinya. Karena nyatanya ia tak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan sakit seperti ini.Serra meletakkan nampan berisi satu piring nasih dan satu mangkuk sup ayam yang ia masak tadi, juga segelas air teh hangat pada . Dengan telaten Serra melepaskan jas, sepatu, dan ikat pinggang yang melekat pada tubuh kekar suaminya. Setelahnya Serra menempelkan punggung tangannya pada dahi Gamma. Suhunya masih tetap sama, Tidak ada perubahan. Kedua mata pria itu mengatup rapat, dahinya berk
Begitu Serra membuka mata, Gamma buru-buru menjatuhkan dirinya tepat di ceruk leher istrinya. Mata laki-laki itu terpejam, Berpura-pura ia tak punya tenaga untuk bangkit berdiri. Sementara Serra yang baru saja terbangun merasa bingung. Mengapa Gamma berada di sini, dan sekarang pria itu sedang berada dalam pelukannya.Samar-samar wanita itu juga teringat mengapa ia tidur di ruang tengah. Serra hanya berniat menonton televisi untuk menunggu rasa kantuknya, tetapi ia malah ketiduran di tempat itu."Gamma? Kau baik-baik saja?" tanya Serra seraya menepuk lengan lelaki itu. Namun, suaminya hanya merespon dengan erangan kecil. Tubuhnya tak bisa bergerak akibat tertindih badan Gamma yang lebih besar dari tubuhnya. "Kau perlu sesuatu?""Air," jawab Gamma sekenanya. "Kalau begitu, lepas dulu, aku tidak bisa bergerak!" Dengan sekuat tenaga, Serra mendorong tubuh suaminya agar bisa memberinya ruang untuk bangkit. Sungguh pada posisi yang seperti sangat tidak mengenakkan hati. Hembusan napas Gam
Keesokan harinya.Suara air mendidih, membuat Serra yang tengah mencuci daun bawang terpaksa beralih untuk mengecilkan api. Aroma santan semakin menyeruak tatkala ia mendekat ke arah panci berisi bubur yang kini meletup-letup. Kemudian Serra meraih sebuah pisau tajam untuk memotong daun bawang yang ia cuci tadi menjadi ukuran yang lebih kecil. Sesekali dirinya kembali sibuk dengan kegiatan mengaduk bubur.Dalam suasana hening yang demikian, tiba-tiba terdengar suara Gamma yang berteriak memanggil namanya. "Iya! Sebentar," jawab wanita itu seraya menuangkan bubur ke dalam mangkuk putih bergambar ayam jago, tak lupa memberinya ayam suwir dan sedikit kaldu. Setelahnya Serra mematikan api sebelum ia membawa bubur itu meninggalkan dapur, menghampiri Gamma yang tadi memanggilnya.Dengan langkah tergesa, Serra berjalan ke arah kamar, tetapi pintu sudah terbuka dan ruangan itu kosong. Tak jauh dari situ ia mendengar bising, Serra mengandalkan indera pendengarannya untuk mencari sumber suara
William berulang kali mengetuk pintu juga menekan tombol bel bangunan bercat putih itu. Menanti sang penghuni yang tak kunjung keluar menampakkan batang hidungnya. Jika saja bukan Gamma yang memintanya datang ke rumah ini, ia tidak akan repot-repot membuang waktu tiga puluh menit untuk menyetir dan lima belas menit untuk berdiri di depan seperti ini. Sudah ke sekian kali pula William melirik arloji pada pergelangan tangannya, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ada seseorang di dalamnya. Sepi dan hening.Batin William lantas menggerutu. Sebenarnya Gamma ada di rumah atau tidak sih? Pria itu juga tidak menjelaskan alasan menyuruhnya ke rumah ini dan tidak memberikan alasan ia tidak datang ke kantor. Hanya menyuruhnya lewat pesan yang kurang lebih berisi seperti ini, [Ke rumah pukul 10.00, bawa dokumen proyek Jaksel. Cepat atau kupecat!]Bagaimana jika kau memiliki atasan seperti Gamma? Menyebalkan, bukan?Pria itu masih setia berdiri di depan pintu berwarna cokelat tua. Samar-samar ter