Suara ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai juga panggilan dari istrinya terdengar jelas di telinga Gamma. Wanita itu memanggil namanya berulang kali. Namun, pria itu berusaha mengabaikannya, menulikan telinga, bahkan mempercepat tempo langkahnya. Ia sedang memburu waktu untuk cepat-cepat berada dalam kantornya. Tetapi bukan Serra jika ia tidak memiliki tekad yang kuat. Sebelum suaminya menjauh, Serra buru-buru melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk menyusul Gamma dan mengikutinya dari belakang. "Gamma! Tunggu dulu!" cegahnya seraya menahan lengan Gamma, membuat pria itu menghentikan langkahnya dengan malas. diiringi dengan decakan kesal yang keluar dari bibir pria itu. "Apa lagi? Kau membuang waktuku, aku harus bekerja!" tegurnya setelah membalikkan badan dan berhadapan dengan perempuan itu. Sementara Serra justru memberikan reaksi yang berbeda. Tatapannya datar dan rahangnya mengatup rapat. Tak berapa lama kemudian, Perempuan itu melemparkan map beserta kertas putih yang d
Di kantor. Gamma baru saja tiba di ruangannya setelah ia selesai rapat dengan kolega bisnisnya. Program pembangunan sebuah hotel yang berada di pulau Bali menguras Pikirannya hingga berakibat pada kepalanya yang terasa pening tiba-tiba. Padahal, pagi tadi ia sudah sarapan seperti biasa dan sudah makan siang sebelum rapat dimulai tadi. Pun biasanya ia tak ada masalah bila terlambat makan siang. Pria itu memejamkan mata, menahan rasa sakit yang kini kian menjalar di kepalanya. Di susul dengan rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya. Apa ia telah salah makan? Argumen itu tentu tidak mungkin, makanan yang dipesan sekretarisnya selalu dari tempat catering yang sama dan Gamma juga sudah berulang kali makan menu tersebut. Tidak ada masalah selama ini. Namun, siang ini ia merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Gamma lalu menekan-nekan layar pada ponselnya yang kini telah menyala dalam genggaman. Detik setelahnya ia mendekatkan benda pipih itu di telinganya. Pada dering yang ketiga barula
Aroma kaldu yang menguar di seluruh ruangan membuat lengkungan di bibir Serra terbit dengan sempurna. Ada senandung kecil yang ia nyanyikan setelah mencicipi hasil masakannya sore ini. Hari ini entah mengapa perutnya bisa diajak berkompromi. Bahkan, rasa mual yang beberapa hari belakangan menderanya juga seakan sirna, sekalipun ia mencicipi atau mencium bau amis.Sudah empat jam lebih pula ia berkutat di dapur hanya untuk memasak satu panci kecil sup ayam dan ikan nila goreng. Bukan tanpa alasan ia membuat dua menu itu, sejak kemarin keinginannya untuk menyantap makanan itu sangat besar.Ya, Serra memang sengaja memasak porsi kecil saja, itu pun sudah cukup untuknya dan Gamma—Jika pria itu mau.Besar harapannya agar pria itu mau makan malam di rumah ini. Walaupun sikap Gamma menyakitinya, tapi dalam hati yang paling dalam, ia ingin menjadi istri yang berbakti pada suaminya sendiri.Meskipun hanya sembilan bulan lamanya. Sekalipun Serra hanyalah istri yang terpaksa Gamma nikahi. Setida
Derit pintu yang terbuka terdengar di telinga Gamma. Tetapi pria itu masih setia memejamkan mata dan engggan melihat siapa yang datang. Rasa sakit pada kepala kian menjadi-jadi. Ia terbaring lemah di kasur yang hanya berukuran singgle pada kamar bernuansa putih itu. Gamma terpaksa menghilangkan ego saat ia tidak kuat berjalan lebih lama apalagi menaiki tangga untuk berisitirahat di kamarnya. Ia menurut saja ketika Serra berinisiatif membawa Gamma ke kamar wanita itu. Mau tidak mau ia harus menurut dengan perintah istrinya. Karena nyatanya ia tak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan sakit seperti ini.Serra meletakkan nampan berisi satu piring nasih dan satu mangkuk sup ayam yang ia masak tadi, juga segelas air teh hangat pada . Dengan telaten Serra melepaskan jas, sepatu, dan ikat pinggang yang melekat pada tubuh kekar suaminya. Setelahnya Serra menempelkan punggung tangannya pada dahi Gamma. Suhunya masih tetap sama, Tidak ada perubahan. Kedua mata pria itu mengatup rapat, dahinya berk
Begitu Serra membuka mata, Gamma buru-buru menjatuhkan dirinya tepat di ceruk leher istrinya. Mata laki-laki itu terpejam, Berpura-pura ia tak punya tenaga untuk bangkit berdiri. Sementara Serra yang baru saja terbangun merasa bingung. Mengapa Gamma berada di sini, dan sekarang pria itu sedang berada dalam pelukannya.Samar-samar wanita itu juga teringat mengapa ia tidur di ruang tengah. Serra hanya berniat menonton televisi untuk menunggu rasa kantuknya, tetapi ia malah ketiduran di tempat itu."Gamma? Kau baik-baik saja?" tanya Serra seraya menepuk lengan lelaki itu. Namun, suaminya hanya merespon dengan erangan kecil. Tubuhnya tak bisa bergerak akibat tertindih badan Gamma yang lebih besar dari tubuhnya. "Kau perlu sesuatu?""Air," jawab Gamma sekenanya. "Kalau begitu, lepas dulu, aku tidak bisa bergerak!" Dengan sekuat tenaga, Serra mendorong tubuh suaminya agar bisa memberinya ruang untuk bangkit. Sungguh pada posisi yang seperti sangat tidak mengenakkan hati. Hembusan napas Gam
Keesokan harinya.Suara air mendidih, membuat Serra yang tengah mencuci daun bawang terpaksa beralih untuk mengecilkan api. Aroma santan semakin menyeruak tatkala ia mendekat ke arah panci berisi bubur yang kini meletup-letup. Kemudian Serra meraih sebuah pisau tajam untuk memotong daun bawang yang ia cuci tadi menjadi ukuran yang lebih kecil. Sesekali dirinya kembali sibuk dengan kegiatan mengaduk bubur.Dalam suasana hening yang demikian, tiba-tiba terdengar suara Gamma yang berteriak memanggil namanya. "Iya! Sebentar," jawab wanita itu seraya menuangkan bubur ke dalam mangkuk putih bergambar ayam jago, tak lupa memberinya ayam suwir dan sedikit kaldu. Setelahnya Serra mematikan api sebelum ia membawa bubur itu meninggalkan dapur, menghampiri Gamma yang tadi memanggilnya.Dengan langkah tergesa, Serra berjalan ke arah kamar, tetapi pintu sudah terbuka dan ruangan itu kosong. Tak jauh dari situ ia mendengar bising, Serra mengandalkan indera pendengarannya untuk mencari sumber suara
William berulang kali mengetuk pintu juga menekan tombol bel bangunan bercat putih itu. Menanti sang penghuni yang tak kunjung keluar menampakkan batang hidungnya. Jika saja bukan Gamma yang memintanya datang ke rumah ini, ia tidak akan repot-repot membuang waktu tiga puluh menit untuk menyetir dan lima belas menit untuk berdiri di depan seperti ini. Sudah ke sekian kali pula William melirik arloji pada pergelangan tangannya, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ada seseorang di dalamnya. Sepi dan hening.Batin William lantas menggerutu. Sebenarnya Gamma ada di rumah atau tidak sih? Pria itu juga tidak menjelaskan alasan menyuruhnya ke rumah ini dan tidak memberikan alasan ia tidak datang ke kantor. Hanya menyuruhnya lewat pesan yang kurang lebih berisi seperti ini, [Ke rumah pukul 10.00, bawa dokumen proyek Jaksel. Cepat atau kupecat!]Bagaimana jika kau memiliki atasan seperti Gamma? Menyebalkan, bukan?Pria itu masih setia berdiri di depan pintu berwarna cokelat tua. Samar-samar ter
Gamma sedang membutuhkan konsentrasi yang tinggi saat ponsel di sebelahnya meraung meminta perhatian. Tanpa menoleh pun ia tahu jika panggilan itu bukan berasa dari ponsel miliknya, melainkan milik Serra. Ponsel berwarna putih dengan seri yang sudah jauh tertinggal peradaban itu berdering terus menerus. Gamma saja tidak tahu bagaimana cara menggunakannya, meskipun sudah menggunakan teknologi layar sentuh.Awalnya ia acuh saja, tapi lama-kelamaan dering itu memecah fokus yang telah ia bangun sejak William meninggalkannya. Pria itu mendesah, ia jengah, lantas tangannya terulur mengambil ponsel berwarna putih yang layarnya sedang menyala dengan dering yang begitu nyaring. Tertulis sebuah nama pada sang pengirim panggilan.Madam Lily. Ada perlu apa perempuan itu dengan Serra? Sementara ia tahu jika istrinya sedang sibuk di kamar mandi. "Serra!" panggil Gamma tetapi tidak ada jawaban dari Serra. Hanya ada suara gemericik air shower yang sedang diguna