"Target kita sudah tercapai dan klien puas, kenapa wajahmu masih saja seperti benang kusut? Jangan bilang kau belum sarapan?"
William mendudukkan diri pada kursi kosong yang bersebrangan setelah meletakkan berkas dalam map berwarna merah di atas meja Gamma. Lelaki itu lantas menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuhnya seraya menatap sang sahabat yang terlihat cukup muram, meski terlihat datar dan tenang.Seusai meeting yang diadakan pagi ini, William dan Gamma harus membahas rencana mereka ke depannya untuk sebuah proyek lanjutan yang telah selesai mereka garap.Sementara Gamma yang mendapat pertanyaan hanya menjawab dengan dengusan. "Memang belum sarapan," katanya seraya meraih map merah dan membukanya.Sejenak pria yang telah berusia kepala tiga itu mencermati isi dari addendum yang telah disetujui William dan kini membutuhkan persetujuan dirinya. Tangannya lalu bergerak mengambil pulpen bersiap untuk membubuhkan tanda tangannya."MDi tempat lain, di saat yang sama.Serra mematung ketika tangannya menarik gagang pintu berkelir cokelat. Wanita itu baru saja berlari karena Bel rumah ini berbunyi beberapa kali saat ia tengah asik mencuci baju. Ia pikir Gamma telah kembali, tetapi ternyata orang yang kini berdiri di depan pintu bukanlah suaminya. Kedua alisnya spontan bertemu begitu mendapati sosok tamu pria asing yang tengah berdiri menjulang di hadapannya. Sebelumnya Serra belum pernah bertemu dengannya karena memang ia belum mengenal tetangga sekitar rumah ini.Terlalu banyak dan membutuhkan waktu yang lama. Pun waktunya seharian kemarin ia gunakan untuk mengurus Gamma yang sedang sakit.Pria yang berdiri dihadapannya itu memiliki kulit putih namun tak sebersih suaminya karena memiliki tato naga hitam di lengan kiri. Membuat Serra menelan ludahnya kasar , membayangkan jika saja pria itu berniat jahat atau menyakitinya. Meski memiliki Wajah yang tampan, tetap saja Serra begi
Serra benar-benar menuruti permintaan Gamma. Ia rela menahan kantuk, demi menanti sang suami yang sudah hampir setengah jam berada pada area pribadinya. Bahkan, Serra sudah selesai merapikan baju dalam koper Gamma yang masih tertinggal di kamarnya, karena Bi Sumi meninggalkannya di sana. Kelalaian yang bisa menyulut amarah seorang Gamma Pranadipta. Akan tetapi, bagi Serra hal itu menguntungkan, karena kemarin Serra tak harus merepotkan diri melanggar perintah suami untuk tidak memasuki kamar pribadinya saat lelaki itu sakit dan membutuhkan pakaian untuk berganti. Ah, jangan tanyakan bagaimana cara Serra mengganti pakaian yang Gamma kenakan kemarin. Sampai saat ini Serra tidak bisa tidur jika mengingat kepingan kenangan itu. Dimana ia harus melepas baju dan celana yang digunakan Gamma. Untungnya, Serra bisa mengendalikan dirinya.Hampir sepuluh menit Serra tenggelam dalam lamunannya. Hingga detik ini pria itu belum turun juga. Entah apa yang dilakukannya, Serra ti
Gamma kira Serra akan meminta sesuatu hal yang berwujud materi atau benda seperti kebanyakan wanita. Tapi ternyata diluar jangkauan pikirannya, jika wanita itu meminta untuk memeluk tubuhnya saja. Sederhana, namun berhasil membuat Gamma mendadak kehilangan seluruh kosa katanya.Alasan mengapa Serra ingin memeluknya pun Gamma tidak bisa menebakknya.Apakah itu Bawaan bayi? Entahlah tapi Gamma merasa aneh dengan permintaan itu. Sisi liarnya kemudian mengintervensi. Mencoba membuat konspirasi dalam kepalanya jika itu hanya bentuk strategi yang dilakukan Serra untuk meraih sesuatu darinya. Betulan ngidam atau hanya alasan untuk mencari kesempatan?"Memelukku?" Gamma akhirnya membuka suara setelah beberapa detik diam berkutat dengan isi kepalanya.Wanita itu pun mengangguk, nampak ragu, dan tidak yakin. Ia menggigit bibir bawahnya tanda kegugupan telah mendominasi dalam diri, akan tetapi tindakan itu justru membuat pikiran nakal Gamma beraksi kembali. Oh, God! "Eh, tapi .... Lupakan sa
Usai pemeriksaan kandungan bersama dokter, Serra melangkahkan kaki dengan ragu di depan poli klinik obgyn. Kedua matanya bergerak ke kanan dan ke kiri memindai suasana di sekelilingnya, mencari sebuah lorong yang menghubungkan poli tempat periksa para ibu hamil itu dengan tempat tujuannya. Setelah menemukannya, ia bergegas membawa langkahnya ke sana melewati deretan wanita yang perutnya mulai membuncit.Beberapa bulan lagi perutnya akan membesar sama seperti mereka. Sungguh ia tak sabar ingin merasakan tendangan demi tendangan yang dilakukan buah hatinya, mengajaknya berbincang, dan melakukan aktivitas bersamanya. Serra lalu menggeser tubuhnya saat rombongan petugas kesehatan mendorong sebuah brankar yang berisi seorang ibu hamil tua sedang kesakitan berpapasan denganya, ia memberi ruang agar mereka bisa berjalan terlebih dahulu.Poli ini memang ramai, apalagi tidak sedikit yang datang bersama pasangan masing-masing menambah padatnya ruang tunggu yang hanya beruk
Serra memandang pantulan dirinya di cermin. Bibir tipis itu terbuka sedikit, mengatur napas yang tak beraturan. Kini ia telah berdiri di depan wastafel pada kamar mandi rumah sakit. Ia baru saja mengeluarkan isi perutnya karena mendadak mual. Berulang kali Serra menghela napas panjang dan membuangnya secara perlahan. Berusaha menetralkan gejolak perut yang tiba-tiba saja menyerangnya, padahal beberapa hari terakhir ia tidak merasakannya sama sekali. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua jam lamanya di kamar Rena, Serra pamit untuk pulang. Ia harus menyelesaikan tugasnya sebagai seorang istri, jangan sampai Gamma datang tetapi ia belum pulang. Walaupun sebenarnya Serra tidak rela meninggalkan Rena dalam keadaan seperti itu sendirian. Namun, ia belum bisa berbuat lebih selama Gamma belum mengetahui segala sesuatu tentang hidupnya. Rumit. Bahkan kepala Serra rasanya mau pecah karena ada banyak hal yang harus ia pikirkan.Namun, yang masih menjadi pertan
"Jadi sebenarnya kau ini lulusan ahli gizi?” Serra menghentikan dorongan trolinya begitu sampai pada rak berisi susu dan yoghurt. Tangannya terulur meraih satu kotak susu berukuran satu liter dan mengamati kandungan bahan yang tertera pada tabel kemasannya. Sementara Bian hanya mengikuti kemana langkah Serra bergerak. Lima belas menit yang lalu, kedua manusia itu tiba di sebuah supermarket besar yang tak jauh dari komplek perumahan mereka. “Kau benar. Aku bekerja di rumah sakit sekitar dua tahun saja, selepas itu aku memilih resign,” jawab Bian yang juga melakukan hal yang sama dengan Serra. Bedanya pria itu hanya membawa satu keranjang belanja yang sudah berisi dengan sabun, shampoo dan juga beberapa camilan lainnya. Wanita itu lalu meletakkan sekotak susu kedelai pada trolinya, selanjutnya menatap Bian dengan serius. “Lalu, kenapa kau lebih memilih mengelola restaurant, bukankah di rumah sakit kau mendapatkan gaji dan tunjangan yang tetap dan lumayan besar, tanpa harus menanggung
Kedua tangan kekar yang tadinya bersedekap kini telah terurai, berganti bersembunyi pada saku celana. Pria itu menegakkan tubuhnya berdiri tegap menjulang di hadapan Serra.Namun kedua netra Gamma masih tak melepaskan pandangan dari istrinya, mengunci pergerakan wanita itu hingga tak bisa berkutik, seakan menuntut penjelasan mengapa ia bisa pulang bersama laki-laki lain.Jangan berpikir bahwa Gamma buta dan tuli, walau gerbang rumah mereka tertutup, pria itu mendengar semua percakapan antara Serra dengan laki-laki asing itu. Juga melihat interaksi dua insan itu melalui sela-sela pagar besi yang terbuka.Lalu apa-apaan tadi? Lelaki itu bilang istrinya cantik? Berani-beraninya pria itu menggoda istrinya! Jika saja Gamma gegabah maka bisa dipastikan layangan bogem mentah itu tak akan terhindarkan untuknya. Harusnya lelaki itu bersyukur karena masih selamat dari amukan Gamma.Sementara Serra yang ditatap sedemikian rupa mendadak begidik ngeri. Wanita itu menggigit bibirnya sendiri dan ber
"SHIT!"Umpatan dalam bahasa asing itu lolos dari bibir Gamma, begitu ia menapaki kamar pribadinya. Pria itu lantas melemparkan jasnya ke tempat tidur secara sembarang dan membuka kancing kemejanya menuju kamar mandi. Tangannya buru-buru menyambar Keran cartridge berbahan stainless steel itu, menarik pengatupnya dan membiarkan air mengalir dari sana. lalu kedua tangan kekarnya menangkup air dan membasuh wajahnya beberapa kali. Gamma lantas menatap pantulan dirinya di cermin yang berukuran kurang lebih dua meter itu. Tangannya meremas udara bersamaan dengan matanya yang terpejam Sempurna. "ARGH! SHIT!" Sejurus kemudian lelaki itu melayangkan hantaman cukup keras pada sebuah kabinet berlapis marmer di hadapannya.Rahang pria itu mengatup rapat. Membiarkan nyeri menyelimuti buku-buku jarinya."Apa yang kau lakukan hari ini, Gamma?!" Pria itu meremas rambutnya sendiri melampiaskan kekesalan yang datang terlambat itu.